Rabu, 30 Januari 2008

Komentar Kritis atas Pemikiran Ibnu Rusyd (3)

KEAZALIAN TUHAN DAN ALAM

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)

3.3. Visi Etis Pemikiran Ibnu Rusyd

Keseluruhan pemikiran Ibnu Rusyd sebagaimana pernah saya sampaikan di atas, tidak hanya sebatas debat berkepanjangan mengenai bernalar, akan tetapi produk seorang pemikir besar yang mampu melahirkan dan menjadikan bagian sistem pemikirannya tetap memiliki relevansi untuk kehidupan manusia dewasa ini. Pemikiran Ibnu Rusyd, bagaimanapun bisa menjadi salah satu landasan pemikiran manusia masa kini dalam rangka memecahkan persoalan kehidupan sekarang dan memiliki ‘daya raba’ bagi kemungkinan-kemungkinan masa depan.

Hal yang patut diberi aksentuasi dalam kaitannya dengan praktik hidup manusia bahwa dalam seluruh struktur ciptaan, manusia merasa diri berada di puncak ciptaan atau lebih tepatnya, manusia menganggap diri sebagai mahkota ciptaan. Untuk itu, pemahaman realitas secara tuntas pun mengandaikan pengetahuan yang mendalam atas manusia terlebih dahulu. Hal itu didasarkan pada pemahaman juga bahwa rumitnya struktur ini tercermin secara adequate dalam diri manusia. Kesadaran semacam inilah yang memicu munculnya pemahaman bahwa manusia harus ditempatkan sebagai pusat dan tujuan akhir hidup manusia (B. Wiliam L., Dictionary of Philosophy and Religion: Estern and Western Thought, Humanities Press Inc, New Jersey England, 1980,hlm.17).

Pola pandang seperti di atas, sebenarnya pola pandang antroposentrisme yang membuat manusia cenderung bersikap mensubordinasikan alam semesta. Manusia semacam memperoleh “mandat” religius untuk menahklukkan alam semesta. Lebih parah, mandat seperti itu, kemudian dilegitimasi oleh refleksi filosofis yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat jagat raya. Kata antroposentrisme diturunkan dari kata Yunani, yaitu antropos (manusia) dan kentron(pusat). Jika kita bertolak dari arti kedua kata di atas, kita akan mengolaborasi beberapa kontruksi pengertian terminology antroposentrisme. Pertama, antroposentrisme dipahami sebagai pandangan yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya pusat dan merupakan muara/tujuan akhir alam semesta. Kedua, antroposentrisme diartikan sebagai pandangan yang menilai bahwa nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang nilai-nilai manusia itu. Antroposentrisme sendiri berakar dalam tradisi filsafat maupun religius. Antrposentrisme filosofis memperoleh justifikasi dari akal budi manusia (lih. Lorens Bagus,Op.Cit.,hlm.60).

Lebih lanjut, ilmu dan teknologi tampaknya mengafirmasi visi religius danfilosofis dengan menekankan kapasitas rasio manusia untuk mengontrol alam melalui eksplorasi ilmiah guna menguak semua misteri dan merenggut semua sakralitas alam semesta. Dari fenomena kecenderungan di atas, alam semesta teramcam ‘luluh-lantak’, jika manusia tidak mengubah tingkah-laku dan pola pandangnya terhadap semesta alam. Bertolak dari tuntutan semacam itu, maka pemikiran Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan memunculkan kesadaran baru bagi manusia dewasa ini. Kesadaran baru ini serentak menjadi dasar langkah preventif dalam rangka mengganti visi yang bertendensi menahklukkan alam semesta menjadi visi yang lebih bertendensi memelihara dan melestarikan alam semesta. Menurut hemat saya, kesadaran baru yang muncul dari pemikiran Ibnu Rusyd antara lain sebagai berikut:

1. Kalau Ibnu Rusyd melihat alam semesta bersifat azali, maka sikap hormat, cinta, dan kagum pada Tuhan mengandaikan sikap hormat, cinta, dan kagum juga tehadap alam semesta. Alam itu sakral. Kesakralannya terletak pada fakta bahwa alam semesta memiliki dinamika internal, bisa beroperasi tanpa intervensi pihak eksternal. Tanpa intervensi manusia, alam semesta mampu mengembangkan dirinya, sehingga segala sesuatu yang ‘melekat’ padanya tetap eksis. Berkat dinamika itu pula, manusia bisa menimba nafas dan mempertahankan kehidupannya. Visi Ibnu Rusyd semacam itu berdampak positif terhadap penempatan diri manusia terhadap alam semesta. Alam bukanlah bagian yang terpisah dengan manusia, tetapi menjadi bagian yang integral dari eksistensinya, bahkan menjadi faktor penentu utama eksistensinya. Tanpa daya dukung alam semesta, manusia sendiri terancam punah. Karena itu, alam semesta tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernyawa karenanya alam semesta juga tidak boleh dirusak dan dikuasai. Sebaliknya, alam semesta harus dihormati dan manusia mesti menyatu dengan alam semesta. Keyakinan dasar seperti ini sebenarnya dapat kita temukan dan saksikan dalam cara hidup masyarakat suku tertentu. Lebih dari sekedar perasaan , bahwa mereka merupakan bagian dari alam bahkan alam dipandang sebagai tempat berlindung sekaligus sebagai tempat yang menjamin kehidupan, sebab alam adalah ibu yang mengayomi dan memberi rasa aman kepada anak manusia. Misalnya, dalam pola pandang suku-suku Irian Jaya. Mereka melihat bahwa tanah mempunyai beberapa segi. Tanah itu sakral, tempat hidup manusia. Karena itu mereka sangat menghormati tanah.( Lihat Erari, Karel P., Our Land In Irian Jaya as Theologi Problem, Sout is Asia Graduate School of Theology, Singapore, 1997,hlm.373-388).

2. Ibnu Rusyd dalam teori emanasinya menyatakan bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan sejak keazalian. Alam semesta melimpah dari Tuhan dengan disertakan padanya creative power yang memampukan alam semesta memiliki potensi di dalam dirinya. Creative Power dipahami sebagai kekuatan Tuhan yang mendasari alam semesta. Dengan demikian, Tuhan harus dilihat sebagai prinsip dasar dari segala sesuatu. Kebijaksanaan religius pun menerima bahwa Tuhan adalah prinsip dasar segala sesuatu. Di balik tatanan kosmos yang megah ini diyakini tersembunyi kekuatan atau energi kreatif yang mengoperasikan totalitas aktivitas alam semesta ( bdk. Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, Orbis Books, Maryknoll, New York,1997,hlm.142.146). Makna asumsi di atas menyiratkan imanensi(kehadiran Tuhan) dalam dunia. Tuhan hadir untuk menata semesta ini. Dia bukan sekedar figure pencipta, lalu pergi, tetapi sebagai roh dunia ini. Itu berarti, Tuhan hadir (ada) dalam kosmos lewat creative power yang disertaka_Nya dalam alam semesta dan alam semesta ada bersama Tuhan juga lewat creative power. Ini adalah visi Ibnu Rusyd. Visi Ibnu Rusyd ini harus dibedakan dari visi panteisme yang menandaskan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Dalam Phanteisme, Tuhan identik dengan segala sesuatu. Tuhan tidak ada bedanya dengan kuda, batu, tanah, udara dan lain-lainnya. Dengan kata lain, Tuhan adalah kuda, batu, tanah dan udara. Konsekuensinya, alam semesta bukan lagi ciptaan, tetapi Tuhan itu sendiri. Pantheisme sangat berbeda dengan Ibnu Rusyd. Dalam perspektif Ibnu Rusyd, Tuhan dan alam semesta sama-sama independen. Kehadiran Tuhan dalam alam semesta hanya dapat dipahami lewat creative power. Sebaliknya, alam semesta yang imanen mempunyai makna transenden karena ia melimpah dari Tuhan yang azali dengan creative power yang disertakan padanya. Bagi kita, yang hidup bermandikan berbagai macam pandangan yang cenderung menjustivikasi penghancuran alam semesta, visi Ibnu Rusyd itu bisa menjadi undangan untuk mengusahakan keselamatan alam semesta, sebab dalam alam semesta tersimpan creative power Tuhan sendiri sebagai tanda kehadiran-Nya di alam semesta ini. Jika Tuhanhadir dalam alam semesta lewat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia mengabaikan begitu saja alam semesta.

3. Kalau Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai tanda kehadiran Tuhan lewat creative power, maka dalam konteks kehidupan religius, menjadi panggilan tersendiri bagi institusi religius untuk menggali secara bijaksana seluruh nilai fundamental yang tersembunyi di balik dogma serta doktrin-doktrinnya, sehingga mampu memperbesar apresiasi manusia akan alam semesta. Misalnya, Agama Kristen sendiri memiliki konsep sakramen. Sakramen adalah tanda dan kehadiran rahmat Allah bagi manusia, tanda konkrit berupa obyek material bahkan event yang memungkinkan manusia bersentuhan dengan dengan realitas Ilahi. Pemikiran Ibnu Rusyd, bila ditinjau dengan standard logika religius kristiani, maka segala sesuatu yang ada di alam semesta ini harus dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mengagumkan dan membahagiakan, karena alam semesta memberi kehidupan yang berasal dari Tuhan. Visi Ibnu Rusyd mengakui perbedaan antara pencipta dengan ciptaannya. Tuhan yang transenden dapat dipahami berkat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia tidak dengan perantaraan alam semesta. Bumi dan segala potensi yang ada di alam semesta ini harus kita lestarikan. Memporak-porandakan alam semesta sama artinya dengan memporak-porandakan Tuhan. Sebaliknya, merawat dan melestarikan alam semesta merupakan perwujudan bakti sejati kepada Tuhan.

Semoga dengan visi etis pemikiran Ibnu Rusyd ini membantu sikap dasar manusia dalam rangka menempatkan dirinya dalam alam semesta ini, yaitu mengambil bagian dalam totalitas eksistensi alam semesta. Manusia bukan lagi ‘yang berada di puncak’ melainkan ‘yang berdiri di antara’. Karena menurut Ibnu Rusyd, manusia tidak akan pernah dapat berdistansi dengan alam semesta, karena manusia merupakan bagian dari alam semesta yang bersifat azali, sebagaimana Tuhan adalah Azali.

Tidak ada komentar: