Sebuah Seni Menempatkan Dekorasi Natal dalam Hati.
Oleh:Ant. Dwi Wahyudi
“Hidup adalah perjalan satu arah. Perasaan sukses telah berhasil membuat banyak cabang justru merupakan isyarat bahwa kita telah jauh dari kebenaran hakiki. Hanya jika kita mampu menutup kembali seluruh cabang yang pernah kita buat, dan tinggal jalan satu arahlah yang kita lihat, di situ kita telah menemukan kembali kebenaran hakiki yang sempat jauh tersesat,hampir hilang bahkan nyaris tidak dikenali lagi”.
Kutipan di atas sekedar ilustrasi yang saya buat, yang saya harapkan mampu membantu para pembaca yang budiman, memahami pentingnya makna kesederhanaan yang tersirat dalam peristiwa natal. Makna kesederhanaan yang sama , yang juga akan kita perlukan untuk mendapatkan kebenaran hakiki, yang kadang tanpa kita sadari telah hilang, pergi dan menjauh dari kita.
Saya pribadi lebih condong untuk mendifinisikan kebenaran hakiki sebagai kebenaran komunal Gereja, yang tentunya tertuang/dapat ditemukan dalam dogma, doktrin dan tradisi Gereja, yang jauh hari telah kita dengar dari mulut ke mulut dan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sehingga jauh direlung hati kita sebenarnya telah menjadi nilai yang kuat terpatri. Hanya saja, kebenaran komunal yang saya maksud toh dalam prakteknya kerapkali berbenturan dengan ‘kesombongan’ kita, yang tidak mau terikat dengan nilai-nilai komunal Gereja lagi , bahkan memutuskan diri untuk keluar dari dalamnya sehingga nilai-nilai kebenaran komunal Gereja yang sebenarnya telah terpatri, tidak kita jadikan lagi pedoman arah dalam kehidupan kita. Nilai-nilai itu akhirnya hilang dan kita terbuai dengan nilai-nilai baru yang kita temukan, yang justru kita jadikan pedoman hidup kita , yang biasanya jauh dari keterikatan dengan nilai-nilai kebenaran komunal Gereja.
Dengan kelahiran Yesus anak Maria, yang kita sebut dengan peristiwa natal pada akhirnya, ‘kesombongan’ kita terasa didobrak. Kita diajak untuk menghentikan pembuatan cabang dan menutup cabang yang pernah kita buka dengan mengenakan dandanan kesederhanaan sehingga memungkinkan kita kembali untuk menghayati hidup sebagai perjalanan satu arah. Banyak para penulis yang lebih tertarik untuk berkutat dengan tema-tema terkait sejarah Natal, berspekulasi dan memperdebatkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus atau bukan. Tetapi dalam bentuk yang berbeda, saya ingin menyuguhkan yang terkecil (yang kerap kita abaikan) dari keagungan perayaan natal yang saya yakin dapat dijadikan jendela untuk mengintip, mencari dan menemukan kebenaran hakiki sebagaimana yang saya pahami di atas. Yang sederhana saja, tentang dekorasi kandang natal.
Dalam literatur Sejarah Gereja ada yang mencatat bahwa St.Fransiskus dari Asisi adalah orang pertama dalam Gereja yang dipercaya sebagai pencetus dibuatnya kandang Natal. Dekorasi kandang natal yang pertama di buat di Gereja Greccio, dekat Asisi, Italia. Dikisahkan bahwa pada awal mulanya, Beliau hanya meletakkan tiga tokoh dalam kandang natal, yaitu Yesus, Maria dan Yosef. Namun dalam tahun-tahun selanjutnya, Beliau terinspirasi untuk menambahkan tokoh-tokoh lain (malaikat, gembala, domba, tiga raja dari timur) yang berada disekitar kisah kelahiran sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius dan Injil Lukas. Dan tak lama kemudian, karya Sang Santo menjadi tradisi yang tersebar di seluruh Eropa.
Kita hanya mampu berspekulasi bahwa dengan dekorasi kandang natalnya, tentu Santo Fransiskus dari Asisi bermaksud menggambarkan situasi dan kondisi sebenarnya dari peristiwa kelahiran tersebut, yaitu kesederhanaan/ kebersahajaan. Cukup dengan lampu tempel yang redup untuk dijadikan penerangan dan bukan dengan lampu pijar/lampu listrik. Cukup dengan berbaring dalam palungan dalam sebuah kandang domba dan bukan dibaringkan dalam tempat tidur yang lux di salah satu rumah sakit kota. Cukup dengan iringan suara jangkrik dan binatang-binatang lainnya dan bukan dengan iringan sebuah lagu yang merdu dengan alat musik yang modern. Cukup dengan keheningan yang mencekam tanpa perayaan dan bukan dengan hingar-bingar pesta pora penyambutan. Cukup dijaga oleh para gembala dan bukan dijaga oleh polisi ataupun tentara. Cukup dengan seorang ayah yang sekedar berprofesi sebagai tukang kayu, bukan raja, pegawai atau pun pengusaha besar. Cukup dengan seorang ibu yang berasal dari kampung, tidak berpendidikan dan bukannya dengan seorang Ibu yang berasal dari kota, berpendidikan dan dari universitas ternama. Kesederhanaan Natal yang seperti itulah yang saya rasa berusaha digambarkan oleh Santo Fransiskus dari Asisi dengan dekorasi natal yang dibuatnya.
Memang, dekorasi natal sekarang menjadi sebuah dekorasi perayaan yang ‘wuah’, sebuah perayaan yang megah dan sedemikian sudah dilumuri ornamen-ornamen kemodernan yang luar biasa, menjadi sesuatu yang elegant sehingga pesan kesederhanaan dari sebuah perayaan natal terabaikan dan nyaris tidak ditemukan lagi.Tema-tema natal menjadi iklan-iklan dunia bisnis yang diharapkan mampu mengeruk tumpukan uang dolar. Lampu tempel berubah jadi lampu listrik yang berwarna-warni, palungan berubah menjadi spring bad mewah khusus bagi bayi , suara jangkrik tidak lagi diperhitungkan dan diganti dengan iringan musik band dengan lagu-lagu kontemporer. Sosok Yosef sang ayah telah diganti dengan pakaian mewah, mengalahkan seorang raja yang sedang duduk di singgasana. Maria pun tampil sebagai sosok Ibu yang dibayangkan semacam pernah mengikuti kursus-kursus privat tentang kecantikan. Berpose ala mojang priyangan, berpakaian tangtop, berpenampilan cantik dan menarik. Kesan bahwa Maria adalah gadis kampung, lugu dan sederhana tidak diketemukan lagi. Para gembala penjaga yang bersenjatakan seruling bambu pun kalo perlu diganti dengan polisi ataupun tentara dengan persenjataan laras panjang dan siap tembak di tempat. Maklum, dunia kita tidak sedamai waktu Yesus Kristus dilahirkan sekian ribu tahun yang silam. Justru sekarang moment natal kerapkali malah menjadi arena orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, yang mengatas-namakan kebenaran, untuk uji coba nuklir. Inilah gambaran dekorasi kandang natal produck kemodernan , yang identik dengan kemajuan berpikir manusia dewasa ini dalam segala aspek kehidupan.
Mungkin gambaran dekorasi natal produk kemodernan yang saya buat akan terkesan mengada-ada dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi toh saya ingin menyampaikan bahwa sering kali kita kesulitan untuk menangkap pesan natal dari sebuah dekorasi kandang natal modern. Saya pun juga ingin menyampaikan bahwa ada kecenderungan dari kita manusia-manusia modern ini, keluar dari kebenaran-kebenaran komunal yang sebenarnya sudah ada dan sudah kita tahu, bahkan sudah saya singgung di atas bahwa kebenaran komunal itu sendiri sebenarnya telah ‘terpatri’ dalam lubuk hati kita terdalam. Korban dari kecenderungan ini bukan hanya pesan sederhana dari sebuah dekorasi kandang natal yang akhirnya hilang, tetapi dalam banyak sektor dan rung lingkup keimanan kita, termasuk nilai-nilai yang ada yang tidak kita hiraukan lagi dengan dalih dan alasan yang beragam.
Terlepas fenomena itu terjadi, terlepas ada kecenderungan-kecenderungan bahwa kita pernah mencoba untuk keluar dari kebenaran hakiki yang saya pahami sebagai kebenaran-kebenaran komunal Gereja, tetapi dalam lubuk hati kita yang terdalam sebenarnya kebenaran hakiki itu sudah terlanjur terpatri. Yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauh mana kita berkehendak untuk belajar rendah hati. Karena di dalam kerendahan hati, bersemayamlah kesederhanaan. Nah, kesederhanaan inilah yang kita perlukan untuk menjaga kebenaran hakiki yang telah kita miliki. Kesederhanaan inilah yang harus kita bangun dalam kehidupan keberimanan kita. Kesederhanaan inilah yang memungkinkan kita untuk menjadi umat yang patuh, tunduk dan taat kepada otoritas wewenang mengajar Gereja. Tidak usah aneh-aneh, tidak ‘neko-neko’, tidak ‘sak udele dhewe’, kata orang Jawa.
Kesederhanaan dekorasi kandang natal adalah media bagi kita. Media yang memungkinkan kita belajar bersikap dan berbuat pada tempatnya di dalam kesederhanaan. Kesederhanaan dekorasi natal adalah jalan satu arah yang memungkinkan kita sampai kepada kebenaran hakiki. Kesederhanaan dalam dekorasi kandang natal itulah, yang juga Allah pergunakan sebagai media untuk masuk ke dalam kebesaran, keagungan dan semarak kemuliaan. Mendandani Bayi Yesus dengan kain lampin, meletakkannya di dalam palungan, mendandani maria dengan kesederhanaan gadis kampung, mengembalikan baju Yosef sepantasnya seorang tukang kayu, mengganti lampu listrik yang telah kita rubah menjadi lampu tempel, mengikat domba dalam patok-patok yang disediakan di dalam kandang, mempercayakan kepada para gembala keamanan lingkungan sekitar kandang, dan menempatkan miniatur dekorasi kandang natal ini ke dalam hati kita. Biarlah Dia lahir setiap hari dalam kesederhanaan di dalam hati kita. Dan biarkanlah kelahiran itu terang memancar bersama kerlip bintang kejora yang gemilang nun jauh di sana, di dalam lubuk hati kita yang terdalam.
Inilah yang saya maksud dengan sebuah seni menempatkan dekorasi natal dalam hati kita, agar dengan kesederhanaan yang dipantulkan dari sebuah kandang natal yang kita tempatkan, kita semua dapat menemukan kembali kebenaran hakiki yang kadang tanpa kita sadari ternyata menjadi kabur , kosong, telah hilang, dan pergi jauh meninggalkan kita. Kesederhanaan dekorasi kandang natal adalah seruan agar kita bersedia untuk kembali kepada kebenaran yang hakiki. Dan mengalami natal sebagai pesan kesederhanaan memungkinkan kita masuk ke dalam misteri inkarnasi. Saya mengucapkan Selamat Natal, semoga Sang Bayi Mungil yang manis tetap bertahta di hati kita, dalam sebuah kesederhanan dekorasi natal yang telah kita persiapkan, untuk menerangi hidup serta semesta tercinta ini.