Minggu, 23 Desember 2007

SELAMAT NATAL 2007

KESEDERHANAAN TITIK BALIK KE ARAH KEBENARAN HAKIKI

Sebuah Seni Menempatkan Dekorasi Natal dalam Hati.

Oleh:Ant. Dwi Wahyudi

“Hidup adalah perjalan satu arah. Perasaan sukses telah berhasil membuat banyak cabang justru merupakan isyarat bahwa kita telah jauh dari kebenaran hakiki. Hanya jika kita mampu menutup kembali seluruh cabang yang pernah kita buat, dan tinggal jalan satu arahlah yang kita lihat, di situ kita telah menemukan kembali kebenaran hakiki yang sempat jauh tersesat,hampir hilang bahkan nyaris tidak dikenali lagi”.

Kutipan di atas sekedar ilustrasi yang saya buat, yang saya harapkan mampu membantu para pembaca yang budiman, memahami pentingnya makna kesederhanaan yang tersirat dalam peristiwa natal. Makna kesederhanaan yang sama , yang juga akan kita perlukan untuk mendapatkan kebenaran hakiki, yang kadang tanpa kita sadari telah hilang, pergi dan menjauh dari kita.

Saya pribadi lebih condong untuk mendifinisikan kebenaran hakiki sebagai kebenaran komunal Gereja, yang tentunya tertuang/dapat ditemukan dalam dogma, doktrin dan tradisi Gereja, yang jauh hari telah kita dengar dari mulut ke mulut dan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sehingga jauh direlung hati kita sebenarnya telah menjadi nilai yang kuat terpatri. Hanya saja, kebenaran komunal yang saya maksud toh dalam prakteknya kerapkali berbenturan dengan ‘kesombongan’ kita, yang tidak mau terikat dengan nilai-nilai komunal Gereja lagi , bahkan memutuskan diri untuk keluar dari dalamnya sehingga nilai-nilai kebenaran komunal Gereja yang sebenarnya telah terpatri, tidak kita jadikan lagi pedoman arah dalam kehidupan kita. Nilai-nilai itu akhirnya hilang dan kita terbuai dengan nilai-nilai baru yang kita temukan, yang justru kita jadikan pedoman hidup kita , yang biasanya jauh dari keterikatan dengan nilai-nilai kebenaran komunal Gereja.

Dengan kelahiran Yesus anak Maria, yang kita sebut dengan peristiwa natal pada akhirnya, ‘kesombongan’ kita terasa didobrak. Kita diajak untuk menghentikan pembuatan cabang dan menutup cabang yang pernah kita buka dengan mengenakan dandanan kesederhanaan sehingga memungkinkan kita kembali untuk menghayati hidup sebagai perjalanan satu arah. Banyak para penulis yang lebih tertarik untuk berkutat dengan tema-tema terkait sejarah Natal, berspekulasi dan memperdebatkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus atau bukan. Tetapi dalam bentuk yang berbeda, saya ingin menyuguhkan yang terkecil (yang kerap kita abaikan) dari keagungan perayaan natal yang saya yakin dapat dijadikan jendela untuk mengintip, mencari dan menemukan kebenaran hakiki sebagaimana yang saya pahami di atas. Yang sederhana saja, tentang dekorasi kandang natal.

Dalam literatur Sejarah Gereja ada yang mencatat bahwa St.Fransiskus dari Asisi adalah orang pertama dalam Gereja yang dipercaya sebagai pencetus dibuatnya kandang Natal. Dekorasi kandang natal yang pertama di buat di Gereja Greccio, dekat Asisi, Italia. Dikisahkan bahwa pada awal mulanya, Beliau hanya meletakkan tiga tokoh dalam kandang natal, yaitu Yesus, Maria dan Yosef. Namun dalam tahun-tahun selanjutnya, Beliau terinspirasi untuk menambahkan tokoh-tokoh lain (malaikat, gembala, domba, tiga raja dari timur) yang berada disekitar kisah kelahiran sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius dan Injil Lukas. Dan tak lama kemudian, karya Sang Santo menjadi tradisi yang tersebar di seluruh Eropa.

Kita hanya mampu berspekulasi bahwa dengan dekorasi kandang natalnya, tentu Santo Fransiskus dari Asisi bermaksud menggambarkan situasi dan kondisi sebenarnya dari peristiwa kelahiran tersebut, yaitu kesederhanaan/ kebersahajaan. Cukup dengan lampu tempel yang redup untuk dijadikan penerangan dan bukan dengan lampu pijar/lampu listrik. Cukup dengan berbaring dalam palungan dalam sebuah kandang domba dan bukan dibaringkan dalam tempat tidur yang lux di salah satu rumah sakit kota. Cukup dengan iringan suara jangkrik dan binatang-binatang lainnya dan bukan dengan iringan sebuah lagu yang merdu dengan alat musik yang modern. Cukup dengan keheningan yang mencekam tanpa perayaan dan bukan dengan hingar-bingar pesta pora penyambutan. Cukup dijaga oleh para gembala dan bukan dijaga oleh polisi ataupun tentara. Cukup dengan seorang ayah yang sekedar berprofesi sebagai tukang kayu, bukan raja, pegawai atau pun pengusaha besar. Cukup dengan seorang ibu yang berasal dari kampung, tidak berpendidikan dan bukannya dengan seorang Ibu yang berasal dari kota, berpendidikan dan dari universitas ternama. Kesederhanaan Natal yang seperti itulah yang saya rasa berusaha digambarkan oleh Santo Fransiskus dari Asisi dengan dekorasi natal yang dibuatnya.

Memang, dekorasi natal sekarang menjadi sebuah dekorasi perayaan yang ‘wuah’, sebuah perayaan yang megah dan sedemikian sudah dilumuri ornamen-ornamen kemodernan yang luar biasa, menjadi sesuatu yang elegant sehingga pesan kesederhanaan dari sebuah perayaan natal terabaikan dan nyaris tidak ditemukan lagi.Tema-tema natal menjadi iklan-iklan dunia bisnis yang diharapkan mampu mengeruk tumpukan uang dolar. Lampu tempel berubah jadi lampu listrik yang berwarna-warni, palungan berubah menjadi spring bad mewah khusus bagi bayi , suara jangkrik tidak lagi diperhitungkan dan diganti dengan iringan musik band dengan lagu-lagu kontemporer. Sosok Yosef sang ayah telah diganti dengan pakaian mewah, mengalahkan seorang raja yang sedang duduk di singgasana. Maria pun tampil sebagai sosok Ibu yang dibayangkan semacam pernah mengikuti kursus-kursus privat tentang kecantikan. Berpose ala mojang priyangan, berpakaian tangtop, berpenampilan cantik dan menarik. Kesan bahwa Maria adalah gadis kampung, lugu dan sederhana tidak diketemukan lagi. Para gembala penjaga yang bersenjatakan seruling bambu pun kalo perlu diganti dengan polisi ataupun tentara dengan persenjataan laras panjang dan siap tembak di tempat. Maklum, dunia kita tidak sedamai waktu Yesus Kristus dilahirkan sekian ribu tahun yang silam. Justru sekarang moment natal kerapkali malah menjadi arena orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, yang mengatas-namakan kebenaran, untuk uji coba nuklir. Inilah gambaran dekorasi kandang natal produck kemodernan , yang identik dengan kemajuan berpikir manusia dewasa ini dalam segala aspek kehidupan.

Mungkin gambaran dekorasi natal produk kemodernan yang saya buat akan terkesan mengada-ada dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi toh saya ingin menyampaikan bahwa sering kali kita kesulitan untuk menangkap pesan natal dari sebuah dekorasi kandang natal modern. Saya pun juga ingin menyampaikan bahwa ada kecenderungan dari kita manusia-manusia modern ini, keluar dari kebenaran-kebenaran komunal yang sebenarnya sudah ada dan sudah kita tahu, bahkan sudah saya singgung di atas bahwa kebenaran komunal itu sendiri sebenarnya telah ‘terpatri’ dalam lubuk hati kita terdalam. Korban dari kecenderungan ini bukan hanya pesan sederhana dari sebuah dekorasi kandang natal yang akhirnya hilang, tetapi dalam banyak sektor dan rung lingkup keimanan kita, termasuk nilai-nilai yang ada yang tidak kita hiraukan lagi dengan dalih dan alasan yang beragam.

Terlepas fenomena itu terjadi, terlepas ada kecenderungan-kecenderungan bahwa kita pernah mencoba untuk keluar dari kebenaran hakiki yang saya pahami sebagai kebenaran-kebenaran komunal Gereja, tetapi dalam lubuk hati kita yang terdalam sebenarnya kebenaran hakiki itu sudah terlanjur terpatri. Yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauh mana kita berkehendak untuk belajar rendah hati. Karena di dalam kerendahan hati, bersemayamlah kesederhanaan. Nah, kesederhanaan inilah yang kita perlukan untuk menjaga kebenaran hakiki yang telah kita miliki. Kesederhanaan inilah yang harus kita bangun dalam kehidupan keberimanan kita. Kesederhanaan inilah yang memungkinkan kita untuk menjadi umat yang patuh, tunduk dan taat kepada otoritas wewenang mengajar Gereja. Tidak usah aneh-aneh, tidak ‘neko-neko’, tidak ‘sak udele dhewe’, kata orang Jawa.

Kesederhanaan dekorasi kandang natal adalah media bagi kita. Media yang memungkinkan kita belajar bersikap dan berbuat pada tempatnya di dalam kesederhanaan. Kesederhanaan dekorasi natal adalah jalan satu arah yang memungkinkan kita sampai kepada kebenaran hakiki. Kesederhanaan dalam dekorasi kandang natal itulah, yang juga Allah pergunakan sebagai media untuk masuk ke dalam kebesaran, keagungan dan semarak kemuliaan. Mendandani Bayi Yesus dengan kain lampin, meletakkannya di dalam palungan, mendandani maria dengan kesederhanaan gadis kampung, mengembalikan baju Yosef sepantasnya seorang tukang kayu, mengganti lampu listrik yang telah kita rubah menjadi lampu tempel, mengikat domba dalam patok-patok yang disediakan di dalam kandang, mempercayakan kepada para gembala keamanan lingkungan sekitar kandang, dan menempatkan miniatur dekorasi kandang natal ini ke dalam hati kita. Biarlah Dia lahir setiap hari dalam kesederhanaan di dalam hati kita. Dan biarkanlah kelahiran itu terang memancar bersama kerlip bintang kejora yang gemilang nun jauh di sana, di dalam lubuk hati kita yang terdalam.

Inilah yang saya maksud dengan sebuah seni menempatkan dekorasi natal dalam hati kita, agar dengan kesederhanaan yang dipantulkan dari sebuah kandang natal yang kita tempatkan, kita semua dapat menemukan kembali kebenaran hakiki yang kadang tanpa kita sadari ternyata menjadi kabur , kosong, telah hilang, dan pergi jauh meninggalkan kita. Kesederhanaan dekorasi kandang natal adalah seruan agar kita bersedia untuk kembali kepada kebenaran yang hakiki. Dan mengalami natal sebagai pesan kesederhanaan memungkinkan kita masuk ke dalam misteri inkarnasi. Saya mengucapkan Selamat Natal, semoga Sang Bayi Mungil yang manis tetap bertahta di hati kita, dalam sebuah kesederhanan dekorasi natal yang telah kita persiapkan, untuk menerangi hidup serta semesta tercinta ini.

Rabu, 19 Desember 2007

Komentar Kritis atas Pemikiran Ibnu Rusyd (2)

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Ruzyd dalam Rentang Sejarah).

3.2 Redefinisi dan Tafsir atas Pemikiran Ibnu Rusyd

Pada bagian ini, saya akan mencoba menafsir ide pokok dalam konsep keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd. Penafsiran yang akan saya lakukan tentunya serentak menunjukkan kritik atas pemikiran Ibnu Rusyd dan merumuskan kembali pemikirannya secara baru, suatu cara pandang baru terhadap diri manusia, alam, dan keterkaitannya dengan Tuhan. Lebih lanjut, pemahaman saya atas pemikiran Ibnu Rusyd akan membantu saya juga dalam melihat serta memahami visi etis Ibnu Rusyd.

3.2.1.Tinjauan Baru atas Teori Emanasi Ibnu Rusyd

Masalah bagaimana alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan, Ibnu Rusyd menjelaskannya dengan teori emanasi.Persoalan kemudian yang muncul menurut saya, teori emanasi Ibnu Rusyd tidak begitu menampakkan apakah alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan karena kehendaknya, ataukah alam yang melimpah dari Tuhan itu terjadi dengan sendirinya, tanpa kehendak-Nya, sehingga Ia adalah Tuhan yang terpaksa berbuat sesuatu tanpa kehendak dan pilihan. Ibnu Rusyd dalam hal ini ngambang dalam memberikan penjelasan atas teorinya. Dalam teori emanasinya, alam melimpah dari Tuhan karena Ia Mahasempurna. Kalaupun muncul pemahaman akan adanya kehendak dalam teori emanasinya, itu pun sebagai konsekuensi pemaparannya atas kesempurnaan Tuhan. Baginya, kesempurnaan Tuhan harus dilihat dari sisi perbuatannya secara azali, karena sejak saat itulah kehendaknya sudah berlaku. Jika kesempurnaan Tuhan tidak dilihat dari sisi perbuatannya sejak azali, maka ada saat di mana Tuhan menganggur pada zaman tertentu. Hal ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan sifat kesempurnaan Tuhan. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd nenyatakan dalam teorinya bahwa dari Yang Esa haruslah beragam yang melimpah. Menurut hemat saya, pemahaman Ibnu Rusyd semacam ini kemungkinan didasarkan pada suatu pemahaman akan fakta alam semesta ini yang sangat beragam. Sehingga tidak tergambar kemungkinan bahwa alam ini hasil perbuatan Tuhan, jika dari Yang Esa hanya satu yang melimpah.

Berseberangan dengan teori emanasi Ibnu Rusyd, persoalan dari yang Esa haruslah hanya satu yang melimpah merupakan suatu persoalam yang sudah disepakati oleh kalangan filsuf klasik. Para filsuf sepakat bahwa pinsip atau dasar alam semesta alam ini haruslah satu. Maka, dari Yang Esa haruslah satu yang melimpah. Dua dasar ini telah diakui kebenarannya dalam kalangan para filsuf klasik, dan atas dasar itu barulah mereka mempertanyakan dari mana asalnya keberagaman alam semesta ini (Lih. Dr. Ahmad Daudy, Op. Cit., hlm 30).

Segala sesuatu melimpah dan dijadikan dari Prinsip Pertama (Tuhan). Alam semesta sebagai totalitas telah dijadikan oleh Tuhan dengan kekuatan sehingga meresap di dalamnya. Dengan begitu, jadilah alam semesta sebagai suatu kesatuan yang sesuai dengan perbuatan Tuhan. Karena kalao tidak dipahami demikian, maka tidak ada aturan dan ketertiban di alam ini. Menurut hemat saya, kekuatan yang meresap dalam alam semesta itu tidak lain adalah creative power yang disertakan dalam proses emanasi yang memungkinkan alam semesta memiliki potensi untuk berubah roman dan bersalin rupa.

Perihal penyebab keberagaman realitas particular di alam semesta ini, Ibnu Rusyd melihat bahwa Tuhan sendiri yang memunculkan keberagaman sejak azali dan dengan tindakan yang serentak. Menurut hemat saya, rupanya pemikiran Ibnu Rusyd harus dipahami bahwa antara alam dan Tuhan terdapat perbedaan kualitas yang besar, walaupun alam sendiri bersifat azali. Perbedaan itu tampak pada Sebab (Tuhan) yang membuat alam ini berwujud. Dengan begitu, rupanya alam ini azali dari perspektif zaman mengingat wujudnya ada bersama Tuhan. Adapun dari sudut zat, alam ini baru, karena munculnya alam ini berasal dari Penyebabnya( Tuhan ), Zat Azali.

Lebih lanjut, Ibnu Rusyd dalam teori emanasinya menyatakan bahwa alam semesta terjadi karena suatu keharusan mutlak. Kalo emanasi dipahami sebagai keharusan mutlak, sebenarnya harus dikatakan bahwa Tuhan telah mengikatkan diri dengan alam semesta. Dengan begitu, Tuhan sebenarnya tidak independen lagi. Pemahaman seperti ini sebenarnya dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa pemikiran Ibnu Rusyd ditemukan ketidak-konsitenan. Di satu sisi, pemikiran Ibnu Rusyd secara jelas menyatakan bahwa Tuhan itu independen. Tetapi di sisi lain, pemikirannya dapat memunculkan kesan bahwa Tuhan tidak independen dengan mengikatkan Diri dengan alam semesta.

Dengan demikian, dari teori emanasi ini, saya dapat menyimpulkan bahwa Ibnu Rusyd tidak pernahmampu mengelak dari setiap tuduhan bahwa teori melimpahnya itu akan membawa penganutnya pada keyakinan bahwa alam ini azali serta menafikan kehendak dan kebebasan Tuhan, jika alam ini tercipta karena suatu keharusan mutlak.

3.2.2 Tinjauan Baru atas “Penggerak Pertama”.

Dalam proses penciptaan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa bukan Tuhan yang telah menciptakan alam semesta secara langsung. Posisi Tuhan terhadap alam semesta hanyalah sebagai perantara. Posisi sebagai perantara inilah yang menyebabkan adanya gerak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Tuhanlah yang menjadi sumber gerak, akan tetapi bukan Tuhan yang bekerja menjadikan alam semesta. Tuhan sebagai sumber penggerak tidak bergerak dan tidak ada penggeraknya. Tuhan adalah Penyebab Pertama dan sebagai Penggerak Pertama. Dari urain singkat di atas, pemahaman Ibnu Rusyd bahwa Tuhan sebagai Penggerak Pertama sebenarnya ia ingin memahami hakikat alam dan Tuhan secara lain. Ibnu Rusyd ingin mengukuhkan keyakinannya bahwa alam semesta azali, tidak berawal dan tidak berkesudahan. Alam semesta tidak diciptakan dalam waktu (enam) hari), tetapi di luar waktu (enam hari). Alam tidak diciptakan dari kekosongan, dari tiada menjadi ada, tetapi alam semesta diciptakan dari “ada” menjadi “ada yang lain”. Alam semesta juga bukan diciptakan dari bahan tertentu, karena alam semesta merupakan keseluruhan dari bahan yang ada.

Menurut hemat saya, selain tendensi di atas, sebenarnya dalam pemikirannya Ibnu Rusyd tetap berada dalam haluan hukum normal alam semesta. Satu-satunya Sebab yang bukan merupakan akibat dari sebab sebelumnya bagi Ibnu Rusyd adalah Tuhan. Dia adalah substansi yang memungkinkan eksistensi segala sesuatu. Eksistensi segala sesuatu menjadi tidak mungkin tanpa dimungkinkan oleh sebab yang bukan merupakan akibat dari Sebab sebelumnya, yaitu Tuhan. Begitu Sebab itu bekerja, akibat pun mengikuti (menjadi ada) sehingga sesuai dengan hukum normal alam semesta.

Dengan mengikuti hukum normal alam semesta seperti di atas, sebenarnya atribut “Penggerak Pertama” bagi Tuhan, dalam konsepsi Ibnu Rusyd, masih tetap dapat menunjukkan kesinambungan antara Tuhan dengan alam semesta. Dengan kata lain, Ibnu Rusyd tetap mampu menunjukkan bahwa Tuhan tetap terlibat di dalam alam semesta, termasuk mengendalikan realitas particular di dalamnya.

3.2.3 Tinjauan Baru atas Pengetahuan Tuhan dan Realitas Partikular di Alam Semesta.

Dalam konsepsinya, Ibnu Rusyd memahami Tuhan sebagai Akal Tertinggi. Karena Tuhan adalah akal yang Tertinggi, maka pengetahuan dari Akal Tertinggi itu haruslah pengetahuan akan hal tertinggi pula. Hal ini dimaksudkan agar ada persesuaian antara yang mengetahui dengan yang diketahui. Karena itu, sangatlah tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada Zatnya-Nya sendiri. Pengetahuan Tuhan akan zat-Nya itulah yang menjadi sebab pengetahuan Tuhan secara universal. Hal ini mengandaikan bahwa pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal particular tidaklah mungkin.

Dari uraian di atas, penulis melihat bahwa Ibnu Rusyd tidak bisa begitu saja membebaskan diri dari tuduhan bahwa dia telah membatasi pengetahuan Tuhan sebatas zat-Nya belaka, tanpa mau peduli akan realitas particular. Ibnu Rusyd telah “memenjarakan” pengetahuan Tuhan sebatas yang bersifat universal belaka, yaitu struktur alam, prinsip-prinsip dasar yang terletak pada inti segala sesuatu. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd tidak ubahnya sebagai ‘durjana’ bagi kaum agamis. Bagi kaum agamis, Tuhan mesti mengetahui semua peristiwa keseharian, karena Dialah yang akan memberikan pahala dan siksa. Tuhan adalah Dia yang mendengarkan dos-doa serta Dia yang menaruh perhatian besar atas alam semesta. Tetapi apakah persoalannya semudah itu? Tidak adakah interpretasi lain yang timbul dari pemikiran Ibnu Rusyd?

Untuk memahami persoalan di atas, saya akan menganalogkan dua pandangan managemen dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Pertama, salah satu pandangan managemen menuntut seorang menejer untuk mengetahui semua hal dalam organisasinya dan bertanggung-jawab atas segala hal yang terjadi. Konsekuensinya, seorang menteri akan dipecat apabila pegawainya melakukan pelanggaran. Kedua, pada tahun 1990-an, model baru ini misalnya, seorang menteri hanya bertyanggung-jawab atas organisasi secara umum dalam suatu departemen dan tidak ada pelaksanaan harian.

Dari analog di atas, saya cenderung mensejajarkan pemikiran Ibnu Rusyd dalam analogi kedua, yang lebih longgar atas tanggung jawab. Seorang menejer memang digambarkan sebagai yang tidak tahu mengenai organisasinya, tetapi bukan berarti karena ketidak-mampuannya, melainkan karena hal itu tidak penting untuknya. Yang lebih penting adalah kebijaksanaan dan penyelenggaraannya, dan bukan tetekbengek pelaksanaan semua segi kebijaksanaan tersebut. Memang, saya sadar sepenuhnya bahwa pemahaman ala menejer yang fana itu tidak dapat diterapkan begitu saja bagi Tuhan dalam pemikiran Ibnu Rusyd. Akan tetapi, bertolak dari analog di atas, saya bermaksud untuk masuk lebih jauh ke dalam pemikiran Ibnu Rusyd, sehingga persoalan yang dimunculkan sebagai konsekuensi pemikirannya dapat didekati secara lebih proporsional.

Seperti diungkapkan oleh Ibnu Rusyd, pada satu sisi, pengetahuan Tuhan mirip dengan pengetahuan manusia. Akan tetapi di sisi lain, pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Tuhan dikatakan mirip dengan pengetahuan manusia karena pengetahuan Tuhan mengandung pernyataan-pernyataan yang ia sadari sebagai pernyataan yang logis dan benar. Sementara pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia karena Tuhan menciptakan objek-objek pengetahuan-Nya dan mempunyai akses terhadap semua obyek itu secara berbeda dengan manusia. Tuhan tidak harus mencari tahu akan apa yang bakal harus terjadi atau belajar mengenai objek-objek pengetahuan-Nya. Dengan segera mengetahui semua yang mesti diketahui, tanpa Dia harus mengetahui semua yang manusia ketahui.

Dari gagasan Ibnu Rusyd di atas, akhirnya dapat dipahami pernyataan awalnya bahwa pengetahuan Tuhan hanya bersifat universal. Tuhan tidak mengetahui hal-hal particular. Dalam konteks ini, rupanya Ibnu Rusyd bukan bermaksud membatasi pengetahuan Tuhan atau bahkan secara keji bermaksud memenjarakan pengetahuan Tuhan di balik jeruji. Akan tetapi, Ibnu Rusyd memiliki tendensi untuk menghindari pemaksaan jenis pengetahuan manusia dalam memahami pengetahuan Tuhan. Hal ini tentunya lebih didasarkan pada suatu pemahaman bahwa memaksakan jenis pengetahuan manusia tidak ubahnya memaksakan keterbatasannya kepada Tuhan. Kecenderungan semacam itulah menurut hemat saya yang berusaha dihindari oleh Ibnu Rusyd, karena pemaksaan keterbatasan manusia pada manusia kepada Tuhan sungguh-sungguh merusak ketuhanan-Nya.

Lebih jauh saya melihat bahwa kemahakuasaan Tuhan tidak harus berarti mengetahui segala hal. Kemahakuasaan Tuhan tidak bisa begitu saja diukur dengan pengetahuann-Nya akan segala sesuatu , termasuk obyek-obyek yang remeh dan sementara. Kemahakuasaan Tuhan harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum yang mengatur alam semesta ini secara azali, yaitu zat-Nya sendiri. Dalam konteks pemahaman seperti inilah, konsepsi Ibnu Rusyd atas pengetahuan Tuhan dan realitas particular dapat dipahami secara lebih bijaksana.

3.2.4.Tinjauan Baru atas Keazalian Alam dan Tuhan Menurut Ibnu Rusyd

Dalam pemikiran Ibnu Rusyd, antara alam dan Tuhan tidak bisa dipisahkan. Dalam proses penciptaan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan alam secara langsung. Posisi Tuhan terhadap alam adalah sebagai pengantara pada benda. Posisi sebagai pengantara inilah yang menyebabkan adanya gerak. Dengan demikian, Tuhan merupakan sumber gerak, akan tetapi bukan Tuhan yang menjadikan alam semesta secara langsung.

Menurut hemat saya, pola pandang Ibnu Rusyd atas alam dan Tuhan di atas, memang benar-benar menghilangkan peran Tuhan, karena Tuhan hanya dilihat sebagai penyebab tidak langsung. Tidaklah cukup berbicara ikhwal Tuhan, jika yang dimaksud “Tuhan” berbeda dengan Tuhan yang dipahami dalam agama-agama. Bahasa tentang Tuhan, betul-betul menggambarkan Tuhan, dan bukan bahasa baru tentang ketuhanan yang dirampingkan, aturan-aturan tertentu mestinya ditaati.

Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut Al-Falasifah mengungkapkan bahwa aturan yang paling penting adalah Tuhan harus dipahami sebagai pelaku hakiki (The Real Agent). Tuhan sebagai pelaku sejati haruslah Tuhan yang bisa membuat keputusan sendiri, mengerjakan sesuatu yang dikehendaki-Nya sesuai dengan kesanggupan-Nya sendiri, dan memiliki pengaruh langsung terhadap alam semesta. Jika Tuhan yang dimaksud adalah pelaku hakiki, Dia pasti mempunyai kekuatan bertindak dengan cara apapun yang Ia kehendaki (Oliver Leaman, Op. Cit., hlm.28).

Tetapi persoalannya, apakah bisa begitu saja menghakimi pemikiran Ibnu Rusyd hanya berdasarkan penggalan pemikiran? Ibnu Rusyd sendiri jelas-jelas menyatakan bahwa Tuhan hanyalah menyebabkan gerak pada akal pertama saja. Sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya, yang menimbulkan berbagai peristiwa di alam semesta ini disebabkan oleh akal-akal yang lain. Akal-akal yang lain yang dimaksudkan sebenarnya adalah creative power yang menyertai alam semesta, baik secara keseluruhan maupun realitas particular yang ada di alam semesta. Dengan begitu, harus dipahami bahwa Tuhan pun dalam konsepsi Ibnu Rusyd tetap memiliki keterlibatan terhadap alam semesta lewat creative power yang disertakan-Nya.

Menurut saya, creative power dalam konsepsi Ibnu Rusyd sebenarnya dapat disejajarkan dengan élan vital dalam pemikiran evolusi kreatif Henri Bergson. Bagi Bergson, apabila kita memperhatikan apa yang disingkapkan oleh intuisi kepada kita, maka kita tidak hanya sebatas menemukan duree dan perkembangan yang terus-menerus, melainkan juga suatu élan vital, suatu energi hidup atau pendorong hidup. Bergson menduga bahwa élan vital ini meresapi seluruh proses evolusi dan menentukan semua cirri evolusi yang penting. Elan vital inilah yang dipahami Bergson sebagai penyebab yang melalui bermacam-macam variasi akhirnya menghasilkan jenis-jenis baru. Henri Bergson adalah seorang filsuf berkebangsaan Perancis (1859-1941). Ia menolak secara tegas evolusi ala mekanisme dan menolak juga evolusi ala finalisme. Mekanisme adalah suatu pandangan yang mengintepretasikan evolusi sebagai perkembangan yang bersifat mekanis. Sementara finalisme adalah suatu pandangan yang memahami proses evolusi di mana evolusi memiliki suatu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Lih. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Perancis, Jakarta, Gramedia, 1985,hlm.262).

Sementara Ibnu Rusyd memahami creative power sebagai potensi kreatif Tuhan yang juga memiliki energi hidup dan mendorong hidup yang disertakan pada alam semesta dalam proses emanasi, sehingga alam semesta memiliki potensi untuk memunculkan keberagaman, berubah muka dan bersalin roman sepanjang zaman dan tiada henti-hentinya. Perbedaannya, creative power Ibnu Rusyd yang senantiasa bergerak terus-menerus ini tidak memiliki arah gerakan atau tujuan. Sementara Bergson rupanya evolusi kreatifnya memiliki arah evolusi yang mengambil tiga jurusan: kehidupan tumbuhan, kehidupan imajinatif dan kehidupan intelijen, yang masing-masing diwujudkan pada taraf tumbuh-tumbuhan, serangga dan vertebrata (ibid).

Kalaupun dipahami sebagai evolusi kreatif sebagaiman Bergson memahami teorinya sebagai teori evolusi kraetif, demikian juga Ibnu Rusyd rupanya berbicara teori evolusi kreatif, kendati evolusinya tidak memiliki arah, karena evolusinya bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Rusyd pun sangat berbeda dengan teori evolusi Darwin. Darwin memandang evolusi realitas selalu menuju suatu karakter dan bentuk yang sempurna. Sedangkan Ibnu Rusyd, evolusi bukan pada soal perubahan bentuk dan karakter realitas, dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna, melainkan soal adanya creative power pada alam semesta yang menyertai dan mendorong setiap realitas untuk membentuk karakternya sendiri. Darwin dalam bukunya, Survival of the Fittest menyatakan bahwa yang kuat akan hidup terus, sementara yang lemah akan mati. Dari sudut teori evolusi, setiap realitas, khususnya mahluk hidup selalu berevolusi menuju sesuatu yang lebuh sempurna, dalam arti yang lebih kuat. Variasi-variasi yang cocok supaya organisme dapat hidup terus dipilih dan diwariskan kepada generasi berikut. Sedangkan variasi lain ditinggalkan(lih. Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 223. Lih juga Oliver Leaman, Op.Cit., hlm.262). Menurut saya, pola pandang Darwin seperti di atas susah dipahami Ibnu Rusyd untuk melihat keberagaman alam semesta.

Keberagaman yang diakibatkan oleh creative power yang ada di alam semesta ini rupanya dalam pemikiran Ibnu Rusyd harus dipahami sebagai keberagaman yang diresapi oleh hanya satu substansi. Hal ini tampak dalam uraiannya tentang akal aktif (active intellect) dengan akal pasif (Receptive Intellect). Akal aktif adalah sumber dari segala jiwa alam semesta yang bersifat satu dan universal. Sementara akal pasif merupakan jiwa yang berkuasa sehari-hari dalam alam semesta yang berasal dari akal aktif yang satu dan universal.

Dengan uraian seperti di atas, saya memahami bahwa Ibnu Rusyd mau mengatakan bahwa keberagaman yang merupakan fakta alam semesta sebenarnya hanya diresapi oleh substansi yang satu dan univesal. Konsekuensinya, apa yang menyertai individu-individu bukanlah akal mereka sendiri lagi melainkan akal ilahi. Akan tetapi dalam hal ini, rupanya Ibnu Rusyd tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya secara terbuka, karena pernyataan itu akan memiliki implikasi bahwa segala yang ada itu pun Tuhan. Atau lebih tepatnya, segala pluralitas, yaitu manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, juga pikiran dan perasaan tidaklah mandiri lagi. Itu semua hanya bentuk beradanya Tuhan, modus-modus, atau cara beradanya substansi yang satu itu. Terjatuh ke dalam pemahaman seperti itulah yang rupanya mau dihindari oleh Ibnu Rusyd.

Dalam konteks inilah, menurut penulis, keberatan terhadap pemikiran Ibnu Rusyd patut diajukan. Di satu sisi, Ibnu Rusyd berhasrat untuk tetap pada pendiriannya bahwa alam dan Tuhan itu sama-sama independen tanpa mengartikecilkan keterlibatan Tuhan dalam alam semesta lewat creative power. Tetapi di sisi lain, toh implikasi pernyataannya bahwa alam semesta ini yang diresapi oleh substansi yang universal, satu dan sama ternyata menjatuhkan pemahamannya sampai tingkat mengidentikkan alam semesta dengan Tuhan.

Selasa, 18 Desember 2007

Komentar Kritis atas Pemikiran Ibnu Rusyd

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)


Inti konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd merupakan suatu upaya untuk memahami dan menyelami hakikat alam semesta, Tuhan dan manusia itu sendiri sebagai satu kesatuan antara yang spiritual dan material secara menyeluruh.Hakikat ketiga realitas itu identik dengan relasi hakiki antara ketiganya. Saya bermaksud untuk melihat secara kritis pemikiran Ibnu Rusyd, baik pandangannya maupun isi pokok konsepnya perihal keazalian alam dan Tuhan. Dengan berlandaskan pemikiran serta pemahaman Ibnu Rusyd, saya juga berupaya sedemikian rupa untuk melihat secara baru hakikat alam dan Tuhan dalam kaitannya dengan manusia sebagai satu kesatuan yang menyeluruh antara yang spiritual dan yang material. Dan dalam konteks ini, saya meminjam pemikiran Ibnu Rusyd untuk saya jadikan “pisau bedah”, dalam rangka menemukan makna hidup sehingga hidup dialami terasa lebih bermakna. Hal ini tetap mengandaikan suatu kesepakatan bahwa kehidupan yang tidak dikaji merupakan kehidupan yang tidak layk untuk dijalani.

Pemahaman Ibnu Rusyd sebagaimana telah saya paparkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, akhirnya juga berhasil membawa saya ke dalam suatu penafsiran baru atas alam dan Tuhan, terutama dalam kaitannya dengan praktek hidup manusia dewasa ini. Pemahaman saya terhadap konsep keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd pun, lebih lanjut mendorong saya untuk memahami alam dan Tuhan dari perspektif etis-ekologis. Karena menurut hemat saya, pespektif etis-ekologis perlu ditempatkan sebagai yang utama di saat bumi ini terancam ‘carut-marut’ dalam waktu yang singkat, apabila manusia tidak dapat menempatkan diri secara benar dalam kaitannya dengan relasi hakiki antar manusia itu sendiri, Tuhan dan alam semesta.

3.1. Karakter Pemikiran Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang filsuf abadi dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan beliau berhasil menempati posisi khusus dalam sejarah pemikiran dunia. Dalam rentang waktu yang cukup lama, filsafatnya dikaji secara mendalam di bumi eropa. Alhasil, pemikiran Ibnu Rusyd melahirkan sejumlah pengikut fanatik, yang dengan gagah berani dan tangguh mempertahankan serta membela pemikiran serta mazhabnya.

Seperti halnya filsuf-filsuf Islam lainnya, Ibnu Rusyd merasa perlu untuk mengusahakan paduan pemikiran antara filsafat Yunani dan filsafat Islam yang telah tersurat dalam Al-Qur’an. Dalam pemahaman ini, produk pemikiran Ibnu Rusyd merupakan hasil perpaduan antara ajaran Agama Islam dengan Filsafat Yunani. Fenomena ini sebenarnya merupakan suatu hal yang muskil, tetapi juga asli dalam Filsafat Islam( Dr. Ahmad Daudy, Op.Cit., hlm. 8).

Konsep keazalian alam dan Tuhan Ibnu Rusyd sendiri menampilkan suatu pemikiran yang menurut hemat saya sangat cemerlang, mendalam, rasional dan unik. Hal ini muncul sebagai buah upaya Ibnu Rusyd untuk menampilkan hakikat keharmonisan antara konsepsi ajaran filosofis yang berlandaskan akal dengan konsepsi ajaran Islam yang berlandaskan wahyu. Konsepsi Ibnu Rusyd, atas alam dan Tuhan ini, tidak lain sebenarnya lahir dari upayanya yang mendalam untuk mengintegrasikan pemaknaan iman dan akal budi.

Persoalan mendasar perihal keazalian alam dan Tuhan menurut Ibnu Rusyd sebenarnya bersumber pada kombinasi fundamental antara informasi teologis dengan informasi filosofis. Ibu Rusyd, dalam petualangan pemikirannya, berupaya menemukan titik koherensi terdalam, antara ide yang berkarakter teologis dengan ide yang berkarakter filosofis. Upaya ini sendiri didasarkan pada keyakinan Ibnu Rusyd sendiri bahwa Filsafat dan agama laksana dua saudara kembar yang tidak mungkin dipisahkan. Keyakinan ini diungkapkan dan dipertegas, saat Ibnu Rusyd berhadapan dengan pemikiran Al Gazali yang cenderung menolak filsafat secara berlebihan.(Lih. H. Zainal Abidin Ahmad, Op.Cit., hlm. 156-157.Bdk.Prof. K. Hitti, Op.Cit., hal. 580). Filsafat dan agama sama sekali tidak bertentangan menurut Ibnu Rusyd, bahkan tetap memiliki koherensi di dalam ide-idenya sejauh konsep-konsep teologis (Al-Qur’an) dipandang secara alegoris. Baginya, Al-Qur’an tidak bisa dipahami hanya dengan pola piker tertentu saja, atau hanya ditangkap berdasarkan arti literalnya. Makna Al-Qur’an musti dirasa secara rasional dan filosofis dibalik rangkaian kata-kata alegorisnya.

Menurut pemahaman saya, bagaimanapun logika pemikiran Ibnu Rusyd ini merupakan suatu logika yang konsumtif dalam memahami serta mencermati isi Al-Qur’an. Artinya, Ibnu Rusyd melihat isi Al-Qur’an bukan tanpa tujuan bagi hidup manusia. Al-Qur’an begitu kaya akan makna yang mendasar sehingga perlu dikonsumsi demi perkembangan hidup manusia itu sendiri.Nah, bila Al-Qur’an syarat dengan makna hidup yang mesti dikonsumsi manusia, maka ayat-ayat Al-Qur’an mesti diolah lebih dahulu agar dapat dikonsumsi sesuai kebutuhan manusia. Di sinilah letak titik hermeunetik filsafat yang mampu mengolah makna Al-Qur’an menjadi makanan bagi hidup manusia.

Sesuatu yang tidak bisa dibantah adalah bahwa setiap manusia dianugerahi akal sehat. Ibnu Rusyd justru mencoba mengangkat makna Al-Qur’an ini yang penuh dengan kata-kata alegoris ke tataran rasional yang berdasarkan pada akal sehat. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat menyulut suatu implikasi etis yang jauh lebih mendalam. Suatu pola pikir, pola sikap dan tanggung-jawab manusia terhadap dirinya sendiri maupun realitas di luar dirinya, yaitu alam dan Tuhan Apa yang dinamakan “makna” Al-Qur’an (makna konsep) sejauh konsep itu mendorong pola pikir dan pola sikap tertentu.

Inti konsep keazalian alam dan Tuhan dalam Pemikiran Ibnu Rusyd adalah bahwa alam dan Tuhan itu memiliki hakikat yang sama, yakni azali, kekal, abadi. Namun demikian ada perbedaan mendasar antara keazalian alam dengan keazalian Tuhan. Keazalian Tuhan tanpa sebab selain dari diri-Nya sendiri, sedangkan keazalian alam dimugkinkan karena alam teremanasi dari Tuhan. Karena alam teremanasi dari Tuhan, bukan diciptakan dari kekosongan, bukan dari benda lain, maka alam memiliki hakikat yang sama dengan Tuhan, yakni asali, abadi. Dengan demikian alam sebenarnya merupakan emanasi Tuhan yang berpartisipasi dalam hakikat Tuhan yang abadi. Ibnu Rusyd sendiri memahami Tuhan lebih sebagai “Penyebab Utama”, dan bukan sebagai Pencipta. Sebagai Penyebab Utama, Tuhan menyertakan Creative Power bagi alam semesta melalui emanasi, sehingga alam semesta sebenarnya tidak hanya disebabkan, tetapi Tuhan sebagai Penyebab Utama juga telah menjadikan alam semesta sebagai instrumen penyebab. Dengan begitu, Tuhan dalam hal ini tidak dapat dikatakan turut campur tangan secara langsung dalam peristiwa partikular yang terjadi di alam semesta(B. Lewis, dkk., Op. Cit., hlm 914-915).

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan di atas memunculkan beberapa kesan:

Pertama, karakter pemikiran Ibnu Rusyd tergolong pantheisme, yakni aliran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah prinsip impersonal, yang berada di luar alam, tetapi identik dengannya. Dalam pandangan ini, secara empiris, segala sesuatu memang berbeda satu sama lain, tetapi pada hakikatnya sungguh-sungguh identik dengan Tuhan sendiri. Alam semesta merupakan cerminan dari Tuhan (Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Grameda Pustaka Utama, 1996, hlm.774-775).

Namun demikian, pantheisme bukanlah aliran yang tepat dikenakan bagi pemikiran Ibnu Rusyd. Hal utama yang perlu diberi aksentuasi dalam pikiran Ibnu Rusyd bahwa secara kualitatif alam semesta berbeda dengan Tuhan. Tuhan merupakan Zat yang berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan alam disebabkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan. Dengan demikian, antara alam dan Tuhan tetap memiliki perbedaan secara kualitatif.

Alam itu azali karena Tuhan menjadikan alam sebagai instrumen penyebab dengan menyertakan creative power, sehingga mamampukan alam dalam dirinya memiliki potensi untuk berubah. Oleh karena itu, tepatlah pemahaman Ibnu Rusyd bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak digerakkan. Dengan uraian seperti di atas, pemahaman Ibnu Rusyd akan keazalian alam dan Tuhan tidak pernah jatuh ke dalam kontradiksi internal. Tuhan bagi Ibnu Rusyd tetap sebagai Tuhan yang tak berubah dan tunggal. Tuhan tidak pernah melebur dalam dunia. Tuhan tetaplah Tuhan yang independen, sebagaimana alam juga independen berkat creative power yang disertakan dalam dirinya. Dengan kualitas zat yang berbeda, Tuhan menyertai alam semesta dengan creative power, sehingga Tuhan tetap memiliki keterlibatan dalam alam semesta, tetapi serentak eksistensi Tuhan sebagai penyebab tidak langsung berada di luar alam semesta. Creative Power yang berasal dari Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta juga memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri, untuk berubah muka, berganti roman sepanjang zaman dan tiada henti-hentinya. Dalam konteks ini, alam semesta tidak dapat begitu saja dilihat sebatas cerminan Tuhan, karena alam pun memiliki kesadaran di dalam dirinya sendiri. Pemaparan Ibnu Rusyd semacam itu mau memberi tekanan akan adanya kesadaran manusiawi. Berbeda dengan pantheisme, rupanya pantheisme harus terjatuh ke dala kontradiksi internal. Di satu sisi, ajaran pantheisme membawa ke dalam suatu pemahaman akan ketiadaan kesadaran manusiawi. Di sini lain, pantheisme tidak dapat menutup mata akan adanya fakta bahwa manusia memiliki kesadaran. Manusia juga memiliki kesadaran untuk menentukan dirinya sendiri, tanpa sepenuhnya harus bergantung pada sesuatu di luar dirinya.

Bagi Ibnu Rusyd, mausia tidak akan pernah memiliki kesadaran pribadi, kalau manusia tidak independen dalam eksistensinya. Dengan begitu, kesadaran manusiawi hanya dimungkinkan apabila substansi independen dan tidakselalu harus bergantung dengan realitas di luar dirinya. Menurut hamat saya, tekanan yang diberikan oleh Ibnu Rusyd semacam ini tidak sedikit pun bermaksud untuk mengadakan pemisahan yang total antara alam dengan Tuhan. Akan tetapi, Ibnu Rusyd lebih jauh mau memberi tendensi bahwa alam pun memiliki creative power dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam semesta juga diberi hak untuk menentukan dirinya sendiri tanpa harus selalu menggantungkan diri dengan realitas di luar dirinya. Alam semesta diberi hak untuk menggunakan otaknya sendiri dan tidak harus selalu bergantung pada Tuhan, kendati harus disadari juga bahwa alam semesta memiliki otak tiada lain disebabkan oleh Tuhan.

Kedua, karakter pemikiran Ibnu Rusyd termasuk panentheisme(Yunani; Pan dan Theos yang berarti semua dalam Tuhan. Lih. Lorenz Bagus, Ibid.,hlm. 770-771).Panentheisme sendiri merupakan pandangan yang mengajarkan bahwa seluruh realitas merupakan bagian dari eksistensi Tuhan. Kaum panentheis dalam kosmologinya meyakini bahwa dunia adalah ciptaan yang terbatas dalam keadaan Allah yang tak terbatas; dan bahwa seluruh alam merupakan suatu organisme ilahi yang terkonstitusi sedemikian, hingga organisme yang lebih tinggi berunsurkan organisme yang lebih rendah.

Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai yang azali, abadi dan tak terbatas, yakni karena alam semesta disebabkan oleh yang Azali, yaitu Tuhan. Keazalian Tuhan memang dilihatnya sebagai yang lebih utama dibandingkan dengan keazalian alam.Akan tetapi kalo menurut hemat saya, Ibnu Rusyd tidak bermaksud untuk berpikir secara hirarkis, artinya Ibnu Rusyd tudak bermaksud untuk mengungkapkan keazalian alam lebih utama dibandingkan dengan keazalian Tuhan. Demikian juga sebaliknya, keazalian Tuhan tidak pernah bermaksud untuk “memenjarakan” keazalian alam, sehingga alam semesta harus dipahami sebagai eksistensi yang terbatas di dalam keberadaannya dengan Tuhan yang tak terbatas. Tuhan juga tidak tampak sebagai otoritas yang merasa diri perlu untuk mengatur alam, sehingga alam harus dipahami sebagai organisme ilahi yang terinstitusi sedemikian rupa, yang harus “menginduk” pada organisme yang lebih tinggi. Apakah dengan pemahaman ini mampu mengukuhkan pemikiran Ibnu Rusyd ke dalam panentheisme?

Menurut hemat saya, relasi antara alam dan Tuhan dalam konsep Ibnu Rusyd bercorak dialektis, suatu relasi timbal-balik yang tak terpisahkan , tanpa adanya suatu pemahaman baru yang memunculkan kesan mereduksi alam di satu pihak, dan Tuhan di pihak lain. Dalam batas tertentu, keduanya independen dalam eksistensinya. Tidak ada konsep ‘mana yang lebih tinggi’ yang merasa perlu untuk mengatur yang lebih rendah. Alam dalam konsep Ibnu Rusyd sekali lagi disertai oleh creative power Tuhan. Creative Power Tuhan inilah yang memungkinkan alam semesta bebas menentukan dirinya sendiri dalam relasinya dengan Tuhan. Creative power yang disertakan oeh Tuhan inilah, rupanya yang mendorong Tuhan untuk lebih bersikap toleran terhadap segala peristiwa yang terjadi di dalam alam semesta. Creative power yang juga memungkinkan pemahaman ada bersama Tuhan bagi realitas alam semesta sebagai totalitas.

Menurut hemat saya, pemahaman Ibnu Rusyd seperti di atas sangat mendukung pola pandang bahwa hanya dari Tuhanlah dilahirkan segala sesuatu yang baik. Tuhan tidak pernah menyebabkan hal-hal yang kurang baik, bahkan yang tidak baik, karena Tuhan tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu sendiri. Kalaupun dalam fakta muncul sesuatu yang kurang baik bahkan tidak baik, karena sudah dari keazalian Tuhan memberi substansi kreatif yang memungkinkan alam semesta bebas menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, creative power yang disertakan Tuhan dalam seluruh realitas alam semesta senenarnya memunculkan pemahaman baru akan Tuhan yang menaruh kepercayaan yang besar terhadap alam semesta sebagai totalitas. Namun demikian, apakah setiap realitas yang menjadi bagian alam semesta sebagai totalitas itu sungguh berpartisipasi di dalam Tuhan yang tidak lain adalah Kebaikan Sempurna itu? Dalam konteks pemahaman ini saya secara pribadi optimis sekali bahwa pemikiran Ibnu Rusyd sangat adequate menjawab fenomena “ganjil’ yang terjadi dalam alam semesta ini.

Ketiga, pemikiran Ibnu Rusyd tergolong deisme. Istilah deisme sendiri diperkenalkan oleh Laelius dan Faustus Socinus pada abad ke XVI. Istilah ini sekarang digunakan untuk menunjuk pada suatu gerakan pemikiran abad XVII dan XVIII, terutama di Inggris. Gerakan ini sangat berupaya menggantikan wahyu dengan cahaya akal. Inti pemikirannya, aliran ini meyakini bahwa satu Tuhan pencipta dunia, setelah itu lepas tangan dalam fungsinya yang sekarang (Lorenz Bagus, Ibid., hlm.152-153). Memang, dalam konsepnya, Ibnu Rusyd memunculkan suatu pemahaman bahwa Tuhan adalah penyebab Pertama. Sebagai Penyebab Pertama, Tuhan hanyalah penyebab gerak akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya dalam alam semesta bukanlah akibat langsung dari Tuhan. Alam semesta memiliki potensi kreatif yang memungkinkan alam semesta bergerak secara independen tanpa campur tangan Tuhan.

Sepintas lalu, konsep Ibnu Rusyd di atas memang memberi kesan seolah-olah ia memandang Tuhan sebagai Penyebab Utama yang dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya tidak bertanggung-jawab. Tuhan muncul dalam pemahaman yang cenderung ‘cuci tangan’ setelah menyebabkan segala sesuatu.Tetapi kesan negatif atas pemikiran ini, rupanya harus dibuang jauh-jauh, mengingat dalam konsepnya, Ibnu Rusyd tetap membuka pemahaman akan keterlibatan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Kembali dalam konteks ini, creative power yang ada dalamalam semestalah yang membawa lampu pencerahan dalam pemikiran Ibnu Rusyd.

Menurut hemat saya, creative power yang ada dalam alam semesta, merupakan isyarat bahwa Tuhan menurut Ibnu Rusyd bukanlah Tuhan yang pasif, cuci tangan dan meninggalkan alam semesta begitu saja, tetapi Tuhan yang aktif-kreatif dalam alam semesta berkat creative power yang juga Dia sertakan dalam alam semesta. Sebagaimana alam semesta ini melimpah dari Tuhan, demikian juga creative power yang melimpah dari Tuhan niscaya kalo keberadaanya selain dari Tuhan sendiri. Artinya, keberadaan creative power dalam alam semesta harus dipahami sebagai substansi “tangan-tangan” Tuhan sendiri yang bergerak secara aktif-kreatif dalam suatu gerakan yang tidak langsung. Hal ini harus tetap didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta memiliki potensi pada dirinya sendiri, tidak lain karena creative power yang disertakan Tuhan. Tanpa creative power, potensi alam semesta praktis tidak dapat dipahami.

Saya sendiri cenderung melihat konsep Ibnu Rusyd tentang keazalian alam dan Tuhan ini sebagai konsep yang sangat unik. Begitu unik pemikiran Ibnu Rusyd sehingga sulit sekali untuk dikategorikan secara tepat dengan aliran-aliran tertentu. Ibnu Rusyd selalu ada posisi ‘antara’ di samping aliran-aliran lainnya. Tidak bertendensi ekstrem kanan, maupun kiri. Relasi alam dan Tuhan yang dibangun oleh Ibnu Rusyd lebih sebagai relasi yang bersifat imanen, tetapi serentak relasi yang transenden. Secara actual, memang Tuhan tidak bertindak secara langsung tetapi dengan creative power, Tuhan ada bersama alam semesta, turut serta dalam proses kehidupan di dalamnya, kendati tidak secara langsung. Imanensi yang tampak dalam konsep Ibnu Rusyd ini, tetap tidak mampu menghapus kenyataan bahwa Tuhan transenden: independen, lebih tinggi,unggul, agung, dan melampaui alam semesta.

Pemikiran Ibnu Rusyd tetap berbeda dengan ajaran panentheisme dalam hal relasi antara alam dan Tuhan. Memang, panentheisme memunculkan pemahaman akan adanya relasi transenden dan imanen. Akan tetapi, panentheisme tidak memiliki kejelasan, apakah dalam konsepnya, panentheisme juga menggunakan pemahaman “perantara”, seperti Ibnu Rusyd dengan creative power dalam konsepnya (lih. Lorenz Bagus, Ibid. hlm.770-771). Creative power dalam konsep Ibnu Rusyd harus dipahami sebagai ‘utusan’ dan Tuhan ‘yang mengutus’. Kalau Tuhan dikatakan sebagai ‘yang mengutus’, dalam hal ini Tuhan tidak datang dengan sendirinya, melainkan lewat utusannya. Creative power bukan Tuhan sendiri, tetapi harus dilihat dan dipahami sebagai ‘wakil’ Tuhan.

Kamis, 13 Desember 2007

Catatan Pemikiran Ibnu Rusyd (3)

LANJUTAN…

KEAZALIAN ALAM DAN TUHAN

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah).


2.3.1. Hakikat Ruang dan Waktu

Cara Ibnu Rusyd menopang pandangannya perihal hakikat ruang dan waktu ialah dengan memerikan hakikat ruang dan waktu secara berbeda. Pemahaman Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu sama sekali tidak bermaksud untuk menyangkal eksistensi waktu umum (ordinary time), seperti yang kita pahami, yang berdetak seiring terciptanya alam semesta ini. Akan tetapi, keadaan waktu umum itu, sebagai konsekuensi atas pemikirannya, Beliau lihat sebagai karya ciptaan yang eksistensinya berada dalam kekekalan dan bukan sebagai karya ciptaan yang diciptakan pada saat tertentu. Ruang dan waktu tidak diciptakan di dalam waktu enam hari, melainkan di luar waktu 6 (enam) hari. Eksistensi ruang dan waktu beliau pahami sebagai ada bersama Tuhan dan bukan sebagai ada pada saat tertentu, di mana Tuhan merasa perlu untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Untuk itulah, amat sulit bagi Ibnu Rusyd untuk membayangkan bahwa eksistensi ruang dan waktu itu baru ada setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan, atau Tuhan ada lebih dulu, kemudian barulah eksistensi ruang dan waktu menyusul (Ibid.hlm.66).

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan dalam alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak permulaan sebagai kontinuitastransformatif, tanpa adanya proses penyelangan waktu. Dengan kata lain, hakikat ruang dan waktu sebagai bagian dari totalitas alam semesta diciptakan Tuhan tanpa adanya durasi waktu. Eksistensi Tuhan harus selalu dipahami sebagai eksistensi yang membawa konsekuensi akan adanya eksistensi ruang dan waktu. Ruang dan waktu bukanlah realitas susulan, yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak untuk menciptakan alam semesta sebagai totalitas. Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri merupakan karakter khusus yang kerap kali beliau pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (Spatialized form). Karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (penerjemah Musa Kazhim), Bandung, Mizan, 2002,hlm. 37).

Untuk memperkuat pemikirannya di atas, dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd mebuat tiga kategori eksistensi realitas. Pertama, eksistensi realitas yang berasal dari tindakan pelaku lain, yaitu segala macam perubahan yang terjadi dalam perjalanan alam semesta. Kedua, eksistensi realitas yang tidak berasal selain dari dirinya sendiri dan terjadi di luar waktu. Kategori ini hanya pantas dikenakan pada Tuhan. Ketiga, kategori eksistensi yang berada di antara kategori pertama dan kedua, yang tidak berasal dari eksistensi lain dan tidak pula terjadi di dalam waktu, yaitu alam secara keseluruhannya.

Dengan demikian, harus dikatakan bahwa alam semesta tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dari bahan tertentu, karena alam itu sendiri merupakan keseluruhan bahan yang ada. Alam semesta pun tidak dapat dipahami sebagai yang tercipta dalam waktu, karena waktu merupakan ukuran perubahan alam semesta. Perubahan alam semesta itu hanya dapat dipahami setelah alam semesta itu bereksistensi. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi Ibnu Rusyd untuk memahami konsepsi ruang dan waktu tanpa eksistensi ruang dan waktu ada bersama Tuhan dan alam semesta. Hal itu didasarkan pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu itu sendiri merupakan bagian dari totalitas alam semesta, bahkan ruang dan waktu itu merupakan alam semesta itu sendiri, yang eksistensinya ada bersama Tuhan (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Op.Cit., hlm.37).

Dalam keterkaitannya dengan ruang dan waktu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam semesta tidak dapat dipahami dalam dua kutub yang saling bertentangan, yaitu pemahaman bahwa alam semesta ini diciptakan secara langsung, tetapi serentak alam semesta juga bersifat abadi, azali. Ibnu Rusyd secara tegas menandaskan bahwa pertentangan ekstrem semacam itu mustahil terjadi.Dengan tetap berpegang teguh pada konsepsinya tentang alam semesta secara keseluruhan, Ibnu Rusyd secara mengagumkan melontarkan pemikirannya bahwa segala sesuatu yang ada di luar waktun (abadi) mustahil terwujud oleh sesuatu selain dirinya sendiri, dan segala sesuatu yang tercipta di luar dirinya niscaya terbatas.

Dari uraian di atas, dalam konteks ruang dan waktu, tampak jelas bahwa Ibnu Rusyd dalam konsepsinya berupaya konsisten dengan gagasan keazalian alam dan Tuhan. Konsepsi Ibnu Rusyd perihal ruang dan waktu ternyata mampu mengantar pada suatu pemahaman bahwa ruang dan waktu merupakan kontinuitas transformatif yang bereksistensi sejak keabadian, karena alam semesta itu sendiri bersifat abadi, tanpa permulaan dan tiada akan berkesudahan. Jika alam semesta dipahami sebagai yang azali, maka mustahil jika alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari, karena waktu itu sendiri adalah ukuran perubahan alam semesta. Bagi Ibnu Rusyd, penciptaan alam semesta dalam kurun waktu enam hari merupakan isyarat bahwa eksistensi alam semesta terbatas (finite). Sementara, alam semesta menurut Ibnu Rusyd tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai kontinuitas transformatif yang bersifat azali. Oleh karena semesta alam tidak berawal dan berakhir, maka ruang dan waktu pun tiada berawal dan tiada berakhir. Dengan kata lain, keberadaan ruang dan waktu harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan dan alam semesta.

2.3.2. Waktu dan Keputusan Tuhan

Ibnu Rusyd rupanya tidak hanya menelorkan konsepsi tentang ruang dan waktu, melainkan beliau juga menyatakan bahwa dalam peristiwa penciptaan tidaklah mungkin terjadi jeda waktu (gap in time), antara pertimbangan dan pelaksanaan tindakan Tuhan secara actual. Robert L. Arington dalam bukunya “A Companion to the Philosophers” mensitir gagasan Ibnu Rusyd dan menuliskannya sebagai berikut:

“Averoes replies that are important differences between God and human beings as agents. We can decide to do something and than do it, yet for God there is no time between His decision and His action, and indeed the very notion of God making decision implies that He has changed His mind about something, which involve change in unchangeable being. An Omnipotent God does not need to think about what to do before acting, since there is no accessity for Him to wait in order to bring something about. Why should God create the world at one particular time since all times are the same for Him? How could God create the world at a particular time since the world was created and motion started there was no time?” (Robert L. Arington, A Companion to the Pilosophers, Malden, USA, Blackwell Publisher Inc.,1999, hlm.667-8).

Pemahaman Ibnu Rusyd akan ketiadaan jeda waktu, sebagaimana tampak juga dalam kutipan di atas, tidak lain merupakan konsekuensi logis atas konsepsi dan argumentasinya perihal ruang dan waktu; serta pemahaman beliau yang tanpa sekat dan batas atas Al-Qur’an, terutama dari Surat Hud ayat 7. Ibnu Rusyd melihat bahwa alam semesta merupakan realitas tercipta yang sangat layak. Karenanya, tak ada satu pun alasan yang bisa menjelaskan tertundanya tindak penciptaan oleh Tuhan, wujud yang Mahakuasa dan Mahasempurna itu ( Oliver Leman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit., hlm.65-66).

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jeda antara pertimbangan dan pelaksanaan suatu tindakan actual oleh Tuhan sangatlah mustahil. Kalaupun ada jeda waktu sebelum alam semesta diciptakan, waktu itu sendiri tidak sama dengan waktu yang kita pahami, tidak sama dengan waktu particular yang kita pahami sekarang. Hal ini harus didasarkan kembali pada suatu pemahaman bahwa waktu itu sendiri pada hakikatnya merupakan ukuran perubahan peristiwa yang terjadi dalam alam semesta. Oleh karena waktu merupakan ukuran perubahan peristiwa dalam alam semesta, maka sebelum alam semesta ini tercipta, waktu itu tidaklah bermakna, karena belum ada perubahan dalam alam semesta. Atau jika tidak ada waktu sebelum penciptaan alam semesta, waktu permulaan alam semesta pun tiada bermakna.

Ibnu Rusyd juga menambahkan bahwa di dalam persoalan pertimbangan Tuhan untuk menciptakan atau tidak menciptakan alam semesta, Tuhan tidak dihadapkan pada pilihan tertentu. Dalam penciptaan semesta alam, Tuhan lebih dihadapkan pada kemungkinan menciptakan kehidupan dengan segala sesuatu yang terkait di dalamnya. Segala sesuatu yang terkait di dalam penciptaan harus dipahami sebagai baik adanya. Kalo segala sesuatu itu baik adanya bagi alam semesta, seperti “keberadaan” kita ini lebih baik dari pada “ketiadaan” kita , maka sangatlah mungkin bahwa keberadaan alam semesta dengan masa yang lebih panjang adalah lebih baik (Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, Op.Cit.,hlm 66). Selain itu, rupanya Ibnu Rusyd kembali mau menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak pernah bertindak atau bertobat secara langsung dalam lingkup ruang dan waktu. Juga dalam hal penciptaan alam semesta, Tuhan tidak pernah dapat dikaitkan dengan suatu pilihan tertentu, bahkan harus dikatakan bahwa Tuhan tidak pernah membuat keputusan secara kekal.

Zat yang bersifat kekal tidaklah mungkin menjadi sebab kejadian-kejadian temporal dan tidak kekal, tidak azali. Tetapi seluruh rangkaian atau peristiwa yang bersifat abadi benar-benar disebabkan oleh apa yang ada yang bersifat kekal, yang juga bertindak secara menyeluruh. Zat yang bersifat kekal semacam inilah, yang bagi Ibnu Rusyd, hanya pantas dikenakan bagi Tuhan. Tuhan benar-benar merupakan Penyebab Pokok, dalam artian bahwa Dia menyebabkan dan mendatangkan apa yang disebabkan serentak dengan keberadaannya sendiri. Demikian juga halnya dengan waktu, karena waktu merupakan bagian alam semesta, maka waktu pun harus dipahami sebagai yang azali, karena keberadaannya serentak dengan keberadaan Tuhan.

2.4. Keazalian Alam: Konsekuensi Logis Hubungan Alam dengan Tuhan

Dari teori emanasi yang pernah saya paparkan sebelum topik pembahasan ini, tampak bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan ada begitu saja, bukan juga diciptakan dari ketiadaan. Karena alam semesta ini melimpah dari atau meleleh dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan atau dari zat lainnya, maka mesti diterima bahwa alam semesta dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat mutlak dan harus. Dengan kata lain, hubungan alam semesta dengan Tuhan itu bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada berakhir.

Dasar pemikiran yang menunjukkan adanya hubungan alam semesta dengan Tuhan yang bersifat harus dan mutlak ini diuraikan oleh Ibnu Rusyd dengan ide yang begitu cemerlang. Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini pada dasarnya azali, tanpa permulaan dan tanpa berkesudahannya. Karena itu, yang azali tidak hanya Tuhan, melainkan juga alam semesta. Hanya saja, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazaliaan alam semesta. Keazalian Tuhan adalah keazalian tanpa sebab selain dari Tuhan itu sendiri. Sedangkan keazalian alam semesta adalah keasalian yang disebabkan oleh sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri, yaitu Tuhan yang azali. Namun, keazalian Tuhan di sini juga sudah sejak kekal meresap ke dalam alam semesta, dan bahkan telah menjadi hakikat alam semesta, yakni alam yang azali (Drs. H. Hasbulah Bahkry, SH., Op. Cit. hlm.70).

Untuk memperkuat pendapatnya, Ibnu Rusyd mengajukan argumentasi yang rasional, dengan berlandaskan pada pemahaman akan hubungan sebab-akibat. Dia mengatakan bahwa seandainya alam semesta ini tidak azali, ada awal dan akhir, maka semesta ini selalu hadits, baru. Kalo alam semesta ini hakikatnya baru, maka mesti ada yang menjadikannya baru. Lalu, yang menjadikan alam semesta ini baru harus ada pula yang menjadikannya. Kalo dipahami seperti ini, maka alam semesta ini tidak akan ditemukan penyebabnya, karena penalaran semacam ini tidak akan pernah ada habisnya, tidak akan pernah memberikan jawaban rasional yang dapat dipahami. Keadaan yang berantai-rantai demikian itu, dengan tiada putus-putusnya, akan menjadi hal yang tidak akan pernah dapat diterima secara rasional. Jadi, mustahil kalo alam semesta itu baru, hadits. Alam semesta ini memang sesungguhnya azali, kekal, tiada berawal, dan tiada berkesudahan, sesuatu yang sejak kekal hingga kekal diresapi proses kekal, proses yang terus-menerus.

Selain argumentasi yang telah diuraikan di atas, Ibnu Rusyd juga mengajukan argumentasi mengenai keazalian alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini dalam kaitannya dengan pengetahuan Tuhan terhadap realitas alam semesta ini. Ibnu Rusyd melihat hubungan antara Tuhan dan alam semesta kendati tidak secara detail dan Tuhan tidak memiliki hubungan secara langsung dengan realitas-realitas particular di alam semesta ini. Dalam kaitannya dengan persoalan hubungan antara Tuhan dan alam semesta, sudah merupakan keharusan bagi Tuhan bahwa alam semesta Dia harus mengemanasikan alam semesta sejak keazalian. Segala sesuatu yang teremanasi dari Tuhan memiliki hakikat Tuhan dalam konteks waktu, yakni keazalian.

Karena Tuhan dengan alam semesta ini ada hubungan yang bersifat harus dan mutlak, maka alam semesta sudah merupakan keharusan terdalam alam semesta, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Bahkan keterkaitan ini sesungguhnya bersifat azali. Jadi, keazali alam semesta dan keazalian Tuhan tidak bisa dipisahkan, kendati keazalian keduanya berbeda. Khususnya keazalian alam semesta, tidaklah mungkin kalau tidak dalam keterkaitannya dengan Tuhan yang azali.

2.5. Rangkuman

Kata azali harus dipahami dalam keterkaitannya dengan penciptaan, ruang, Tuhan, dan alam. Kata azali berarti abadi, kekal, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Keazalian sendiri merupakan wadah di mana form dan wujud dengan semua karakter dari segala sesuatu terbentuk dan ada. Dikatakan demikian, karena dalam keazalian ini apa pun tidak akan pernah musnah, selalu azali sebab berada dalam wadah yang azali, yaitu keazalian.

Ibnu Rusyd sendiri memahami waktu sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai ukuran perubahan alam semesta dan eksistensi waktu itu sendiri sudah ada sejak keazalian sebagai kontinuitas transformatif tanpa adanya penyelangan waktu. Ruang dan waktu disebabkan oleh Tuhan tanpa adanya durasi. Ruang dan waktu bukan merupakan realitas susulan yang keberadaannya baru kemudian setelah Tuhan berkehendak menciptakan alam semesta ini.Kontinuitas transformatif waktu itu sendiri bagi Ibnu Rusyd merupakan karakter khusus, yang kerap kali ia pergunakan sebagai isyarat bentuk yang meruang (spatialized form), karena dalam bentuk itulah, kodrat perubahan alam mungkin terjadi dan bentuk berjasad pun dapat dialami.

Menurut Ibnu Rusyd, setiap benda memiliki kemungkinan untuk berubah, karena setiap benda bernyawa. Karena benda bernyawa, maka benda itu pun berakal sesuai sesuai dengan keadaan dan bentuknya sendiri. Hal ini berarti, akal itu sendiri pun mempunyai daya untuk mengenal dirinya sendiri dan hal-hal lain dengan keberadaannya. Akal di sini merupakan isyarat gerak yang menimbulkan perubahan, berganti roman dan bersalin rupa sepanjang zaman dan tiada akan pernah berkesudahan. Gerak yang terus-menerus dan tiada akan berkesudahan ini senantiasa menjadikan apa yang bersifat potensi menjadi wujud yang nyata dan potensi itu tetap menjadi hakikat terdalam dari alam semesta. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd melihat bahwa peristiwa “jadi” dan “musnah”, yang merupakan fakta hidup sehari-hari, tidak lain sebagai akaibat dari gerakan azali. Karena gerakan bersifat azali, maka peristiwa “jadi” dan “musnah” pun akan bersifat azali pula. Hanya dengan cara demikian, maka alam semesta tidak akan pernah mengalami apa yang dikatakan sebagai kekosongan. Dasar pemikiran Ibnu Rusyd mengenai keazalian alam semesta, dalam konteks ini, tidak lain merupakan semua gerak , energi, dan creative power dalam alam semesta itu sendiri, yang aktif secara terus-menerus; tanpa diketaui awalnya dan tiada akan berkesudahan. Persoalan pergantian wujud itu sendiri merupakan persoalan yang terkait dengan hakikat realitas semesta alam dengan creative power yang disertakan Tuhan bagi alam semesta itu sendiri, yang secara terus-menerus menimbulkan gerak azali. Creative Power, yang ada dalam tiap wujud itu tentunya dalam alur pemikiran Ibnu Rusyd ada dan aktif hanya dalam keterkaitannya dengan creative power yang Universal, Pertama, dan Tunggal, yaitu Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakikat alam semesta merupakan creative power yang menimbulkan proses terus-menerus dalam alam semesta. Karenanya, alam semesta ini dikatakan bersifat azali, tiada berawal dan tiada berkesudahan, kekal dan abadi.

Hubungan alam semesta dengan Tuhan sendiri harus dipahami sebagai hubungan yang bersifat harus dan mutlak. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan, bukan diciptakan dari ketiadaan. Dengan kata lain, hubungan antara alam dan Tuhan tersebut bersifat azali, abadi, sudah dari kekal hingga kekal, tiada berawal dan tiada akan berakhir. Jadi, alam semesta dikatakan azali karena dikaitkan dengan Tuhan. Alam semesta terkait dengan Tuhan karena alam semesta teremanasi dari Tuhan melalui gerak yang ditimbulkan Tuhan sejak azali, tiada berawal dan tiada akan berkesudahan. Sesuatu yang diemanasikan harus dipahami mutlak berada dalam keterkaitan dengan yang mengemanasikannya. Dengan demikian, alam semesta yang teremanasi dari Tuhan mutlak dan menjadi keharusan terdalam alam semesta itu, untuk berada dalam keterkaitan dengan Tuhan yang azali. Alam semesta harus dipahami sebagai ada bersama Tuhan. Eksistensi alam semesta dan Tuhan itu bersifat azali, karenanya keazalian alam dan Tuhan tidak akan pernah bisa dipisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

ABIDIN AHMAD, ZAINAL. 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd. Jakarta:Bulan Bintang

AMIN HOESIN, Oemar. 1964. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang

BAKRY, Hasbullah. 1978. Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tinta Mas

Daudy, Ahmad. 1984. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang

LEAMAN, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan

----------------------2002. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. (Penerjemah Musa Kazhim). Bandung: Mizan

HITTI,Philip K. 1956. History of The Arab. New York: Princeton University Press

JURJI, Edward J. 1990. The Great Religious of The Modern World. New Jersey: Princeton University Press.

ARRINGTON, Robert L. 1999. A Companion to Philosophers. Malden:Blackwell Publisher Inc.

Shushtery, A.M.A. 1938. outlines of Islamic Culture. Vol.II. Bangalore City: The Bangalore Press.