Rabu, 30 Januari 2008

Komentar Kritis atas Pemikiran Ibnu Rusyd (3)

KEAZALIAN TUHAN DAN ALAM

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)

3.3. Visi Etis Pemikiran Ibnu Rusyd

Keseluruhan pemikiran Ibnu Rusyd sebagaimana pernah saya sampaikan di atas, tidak hanya sebatas debat berkepanjangan mengenai bernalar, akan tetapi produk seorang pemikir besar yang mampu melahirkan dan menjadikan bagian sistem pemikirannya tetap memiliki relevansi untuk kehidupan manusia dewasa ini. Pemikiran Ibnu Rusyd, bagaimanapun bisa menjadi salah satu landasan pemikiran manusia masa kini dalam rangka memecahkan persoalan kehidupan sekarang dan memiliki ‘daya raba’ bagi kemungkinan-kemungkinan masa depan.

Hal yang patut diberi aksentuasi dalam kaitannya dengan praktik hidup manusia bahwa dalam seluruh struktur ciptaan, manusia merasa diri berada di puncak ciptaan atau lebih tepatnya, manusia menganggap diri sebagai mahkota ciptaan. Untuk itu, pemahaman realitas secara tuntas pun mengandaikan pengetahuan yang mendalam atas manusia terlebih dahulu. Hal itu didasarkan pada pemahaman juga bahwa rumitnya struktur ini tercermin secara adequate dalam diri manusia. Kesadaran semacam inilah yang memicu munculnya pemahaman bahwa manusia harus ditempatkan sebagai pusat dan tujuan akhir hidup manusia (B. Wiliam L., Dictionary of Philosophy and Religion: Estern and Western Thought, Humanities Press Inc, New Jersey England, 1980,hlm.17).

Pola pandang seperti di atas, sebenarnya pola pandang antroposentrisme yang membuat manusia cenderung bersikap mensubordinasikan alam semesta. Manusia semacam memperoleh “mandat” religius untuk menahklukkan alam semesta. Lebih parah, mandat seperti itu, kemudian dilegitimasi oleh refleksi filosofis yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat jagat raya. Kata antroposentrisme diturunkan dari kata Yunani, yaitu antropos (manusia) dan kentron(pusat). Jika kita bertolak dari arti kedua kata di atas, kita akan mengolaborasi beberapa kontruksi pengertian terminology antroposentrisme. Pertama, antroposentrisme dipahami sebagai pandangan yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya pusat dan merupakan muara/tujuan akhir alam semesta. Kedua, antroposentrisme diartikan sebagai pandangan yang menilai bahwa nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang nilai-nilai manusia itu. Antroposentrisme sendiri berakar dalam tradisi filsafat maupun religius. Antrposentrisme filosofis memperoleh justifikasi dari akal budi manusia (lih. Lorens Bagus,Op.Cit.,hlm.60).

Lebih lanjut, ilmu dan teknologi tampaknya mengafirmasi visi religius danfilosofis dengan menekankan kapasitas rasio manusia untuk mengontrol alam melalui eksplorasi ilmiah guna menguak semua misteri dan merenggut semua sakralitas alam semesta. Dari fenomena kecenderungan di atas, alam semesta teramcam ‘luluh-lantak’, jika manusia tidak mengubah tingkah-laku dan pola pandangnya terhadap semesta alam. Bertolak dari tuntutan semacam itu, maka pemikiran Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan memunculkan kesadaran baru bagi manusia dewasa ini. Kesadaran baru ini serentak menjadi dasar langkah preventif dalam rangka mengganti visi yang bertendensi menahklukkan alam semesta menjadi visi yang lebih bertendensi memelihara dan melestarikan alam semesta. Menurut hemat saya, kesadaran baru yang muncul dari pemikiran Ibnu Rusyd antara lain sebagai berikut:

1. Kalau Ibnu Rusyd melihat alam semesta bersifat azali, maka sikap hormat, cinta, dan kagum pada Tuhan mengandaikan sikap hormat, cinta, dan kagum juga tehadap alam semesta. Alam itu sakral. Kesakralannya terletak pada fakta bahwa alam semesta memiliki dinamika internal, bisa beroperasi tanpa intervensi pihak eksternal. Tanpa intervensi manusia, alam semesta mampu mengembangkan dirinya, sehingga segala sesuatu yang ‘melekat’ padanya tetap eksis. Berkat dinamika itu pula, manusia bisa menimba nafas dan mempertahankan kehidupannya. Visi Ibnu Rusyd semacam itu berdampak positif terhadap penempatan diri manusia terhadap alam semesta. Alam bukanlah bagian yang terpisah dengan manusia, tetapi menjadi bagian yang integral dari eksistensinya, bahkan menjadi faktor penentu utama eksistensinya. Tanpa daya dukung alam semesta, manusia sendiri terancam punah. Karena itu, alam semesta tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernyawa karenanya alam semesta juga tidak boleh dirusak dan dikuasai. Sebaliknya, alam semesta harus dihormati dan manusia mesti menyatu dengan alam semesta. Keyakinan dasar seperti ini sebenarnya dapat kita temukan dan saksikan dalam cara hidup masyarakat suku tertentu. Lebih dari sekedar perasaan , bahwa mereka merupakan bagian dari alam bahkan alam dipandang sebagai tempat berlindung sekaligus sebagai tempat yang menjamin kehidupan, sebab alam adalah ibu yang mengayomi dan memberi rasa aman kepada anak manusia. Misalnya, dalam pola pandang suku-suku Irian Jaya. Mereka melihat bahwa tanah mempunyai beberapa segi. Tanah itu sakral, tempat hidup manusia. Karena itu mereka sangat menghormati tanah.( Lihat Erari, Karel P., Our Land In Irian Jaya as Theologi Problem, Sout is Asia Graduate School of Theology, Singapore, 1997,hlm.373-388).

2. Ibnu Rusyd dalam teori emanasinya menyatakan bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan sejak keazalian. Alam semesta melimpah dari Tuhan dengan disertakan padanya creative power yang memampukan alam semesta memiliki potensi di dalam dirinya. Creative Power dipahami sebagai kekuatan Tuhan yang mendasari alam semesta. Dengan demikian, Tuhan harus dilihat sebagai prinsip dasar dari segala sesuatu. Kebijaksanaan religius pun menerima bahwa Tuhan adalah prinsip dasar segala sesuatu. Di balik tatanan kosmos yang megah ini diyakini tersembunyi kekuatan atau energi kreatif yang mengoperasikan totalitas aktivitas alam semesta ( bdk. Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, Orbis Books, Maryknoll, New York,1997,hlm.142.146). Makna asumsi di atas menyiratkan imanensi(kehadiran Tuhan) dalam dunia. Tuhan hadir untuk menata semesta ini. Dia bukan sekedar figure pencipta, lalu pergi, tetapi sebagai roh dunia ini. Itu berarti, Tuhan hadir (ada) dalam kosmos lewat creative power yang disertaka_Nya dalam alam semesta dan alam semesta ada bersama Tuhan juga lewat creative power. Ini adalah visi Ibnu Rusyd. Visi Ibnu Rusyd ini harus dibedakan dari visi panteisme yang menandaskan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Dalam Phanteisme, Tuhan identik dengan segala sesuatu. Tuhan tidak ada bedanya dengan kuda, batu, tanah, udara dan lain-lainnya. Dengan kata lain, Tuhan adalah kuda, batu, tanah dan udara. Konsekuensinya, alam semesta bukan lagi ciptaan, tetapi Tuhan itu sendiri. Pantheisme sangat berbeda dengan Ibnu Rusyd. Dalam perspektif Ibnu Rusyd, Tuhan dan alam semesta sama-sama independen. Kehadiran Tuhan dalam alam semesta hanya dapat dipahami lewat creative power. Sebaliknya, alam semesta yang imanen mempunyai makna transenden karena ia melimpah dari Tuhan yang azali dengan creative power yang disertakan padanya. Bagi kita, yang hidup bermandikan berbagai macam pandangan yang cenderung menjustivikasi penghancuran alam semesta, visi Ibnu Rusyd itu bisa menjadi undangan untuk mengusahakan keselamatan alam semesta, sebab dalam alam semesta tersimpan creative power Tuhan sendiri sebagai tanda kehadiran-Nya di alam semesta ini. Jika Tuhanhadir dalam alam semesta lewat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia mengabaikan begitu saja alam semesta.

3. Kalau Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai tanda kehadiran Tuhan lewat creative power, maka dalam konteks kehidupan religius, menjadi panggilan tersendiri bagi institusi religius untuk menggali secara bijaksana seluruh nilai fundamental yang tersembunyi di balik dogma serta doktrin-doktrinnya, sehingga mampu memperbesar apresiasi manusia akan alam semesta. Misalnya, Agama Kristen sendiri memiliki konsep sakramen. Sakramen adalah tanda dan kehadiran rahmat Allah bagi manusia, tanda konkrit berupa obyek material bahkan event yang memungkinkan manusia bersentuhan dengan dengan realitas Ilahi. Pemikiran Ibnu Rusyd, bila ditinjau dengan standard logika religius kristiani, maka segala sesuatu yang ada di alam semesta ini harus dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mengagumkan dan membahagiakan, karena alam semesta memberi kehidupan yang berasal dari Tuhan. Visi Ibnu Rusyd mengakui perbedaan antara pencipta dengan ciptaannya. Tuhan yang transenden dapat dipahami berkat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia tidak dengan perantaraan alam semesta. Bumi dan segala potensi yang ada di alam semesta ini harus kita lestarikan. Memporak-porandakan alam semesta sama artinya dengan memporak-porandakan Tuhan. Sebaliknya, merawat dan melestarikan alam semesta merupakan perwujudan bakti sejati kepada Tuhan.

Semoga dengan visi etis pemikiran Ibnu Rusyd ini membantu sikap dasar manusia dalam rangka menempatkan dirinya dalam alam semesta ini, yaitu mengambil bagian dalam totalitas eksistensi alam semesta. Manusia bukan lagi ‘yang berada di puncak’ melainkan ‘yang berdiri di antara’. Karena menurut Ibnu Rusyd, manusia tidak akan pernah dapat berdistansi dengan alam semesta, karena manusia merupakan bagian dari alam semesta yang bersifat azali, sebagaimana Tuhan adalah Azali.

Senin, 28 Januari 2008

Selamat Jalan Jenderal Besar


”Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri

Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh sribu
Tanah air jaya sakti”

Minggu, 27 Januari 2008, tepatnya di Bulan Suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat dikejutkan sebuah berita perihal wafatnya Bapak Soeharto, mantan presiden ke-2 Republik Indonesia. Sudah barang tentu berita yang dilansir oleh media cetak dan elektronik tentang tokoh controversial tersebut mengundang tanggapan beragam di tengah kalangan masyarakat. Sebagian merasa sedih dan bermuram durja seraya berdoa atas kepergiannya, tetapi sebagian lagi (terutama lawan-lawan politiknya) bersorak-sorai sambil berkata: “Selamat jalan bapak koruptor!”.

Terlepas bagaimana masyarakat menanggapi kepergian Pak Harto, saya tertarik dengan sebuah artikel yang saya baca dari Ensiklopedi Tokoh Indonesia tentang Pak Harto. Mudah-mudahan dengan artikel di bawah ini mampu membantu kita semua mendudukkan kepemimpinan Pak Soeharto secara proporsional, sehingga kita secara pribadi tetap memiliki itikad baik untuk membuka pintu maaf bagi Pak Soeharto.

Haji Muhammad Soeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah sosok nama besar yang memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Namun, akhirnya ia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik.

Saat ia baru meletakkan jabatan, ada rumor yang berkembang. Seandainya Pak Harto mendengar hati nurani isteri yang dicintainya, Ibu Tien Soeharto, yang konon, sudah menyarankannya berhenti sepuluh tahun sebelumnya, pasti kepemimpinnya tidak berakhir dengan berbagai hujatan yang memojokkannya seolah-olah ia tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.

Ia memang seperti kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto meninggal dunia(Minggu 28 April 1996). Pak Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan hal seperti ini. Banyak pria (pemimpin) yang justru ‘kuat’ didukung keberadaan isterinya. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.

Pak Harto tidak segera mencari pengganti isterinya. Kesepiannya seperti teratasi atas dorongan pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Ia menghabiskan waktunya dalam mengemban tugas beratnya sebagai presiden. Apalagi beberapa pembantunya memberinya laporan dan harapan yang mendorongnya untuk tetap bertahan sebagai presiden. Bahkan, bersama pembantunya (menterinya) BJ Habibie, ia bisa berjam-jam berbicara. Tak jarang para staf harus menyediakan mie instan jika menunggui pertemuan mereka itu.

Rakyat bangsa ini tentu masih ingat. Seusai Pemilu 1997 dan sebelum Sidang Umum MPR, Maret 1998, para pembantunya, di antaranya Harmoko, selaku Ketua Umum DPP Golkar, menyatakan akan tetap mencalonkan Soeharto sebagai presiden 1998-2003. Tapi, justeru pada HUT Golkar ke-33, Oktober 1997 itu, HM Soeharto mengembalikan pernyataan itu untuk dicek ulang: Apakah rakyat sungguh-sungguh masih menginginkannya menjadi presiden?

Setelah berselang beberapa bulan, tepatnya tanggal 20 Januari 1998, tiga pimpinan Keluarga Besar Golkar atau yang lazim disebut Tiga Jalur Golkar, yakni jalur Golkar/Beringin (Harmoko), jalur ABRI (Feisal Tanjung) dan jalur birokrasi (Yogie SM), datang ke Bina Graha menyampaikan hasil pengecekan ulang keinginan rakyat dalam pencalonan HM Soeharto sebagai Presiden RI.

Saat itu mereka melaporkan bahwa “ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko mengumumkan kepada pers usai melapor kepada Pak Harto. "Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.

Menurut Harmoko, Jenderal TNI (Purn) H Muhammad Soeharto, setelah menerima hasil pengecekan itu, menyatakan bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden RI masa bhakti 1998-2003. Selain mengumumkan kesediaan Pak Harto dipilih kembali sebagai Presiden RI, menurut Harmoko, Keluarga Besar Golkar juga membuat kriteria untuk calon Wakil Presiden, antara lain memahami ilmu pengetahuan dan industri. Pernyataan ini mengarah kepada BJ Habibie.

Dari hasil pengecekan yang dilakukan oleh keluarga besar Golkar itu, masih menurut Harmoko, Soeharto menghargai kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut walaupun harus ada pengorbanan bagi kepentingan keluarga. Tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara, Haji Muhammad Soeharto tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sebagai patriot dan pejuang bangsa.

"Dengan adanya kepercayaan rakyat ini tidak membuat Bapak Haji Muhammad Soeharto bersikap 'tinggi glanggang colong playu.' Itu istilah Pak Harto yang artinya tidak meninggalkan tanggung jawab dan mengelak dari kepercayaan rakyat tersebut demi kepentingan negara dan bangsa," tegas Harmoko.

Tapi, ternyata itulah awal sebuah tragedi pengkhianatan digulirkan. HM Soeharto memang terpilih kembali menjadi Presiden periode 1998-2003 pada Sidang Umum MPR, 1-11 Maret 1998. Didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.

Namun, komponen mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat terus melancarkan demonstrasi meminta Presiden Soeharto dan Wapres BJ Habibie turun serta Golkar dibubarkan. Saat itu, Pak Harto masih terlihat yakin bahwa demonstrasi itu akan surut dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Maka pada awal Mei 1998, ia berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Saat berangkat, di bandara Halim Perdanakusuma, ia dilepas Wakil Presiden BJ Habibie, Fangab Feisal Tanjung, juga Ketua Harian ICMI Tirto Sudiro dan sejumlah menteri lainnya yang sebagian diantaranya kemudian mengkhianatinya.

Sementara, sepeninggal Soeharto, dalam beberapa hari kemudian, suasana Jakarta semakin mencekam. Selain akibat demonstrasi mahasiswa makin marak, juga tersiar isu terjadi sesuatu misteri dalam tubuh ABRI. Misteri itu diwarnai arah pengelompokan dalam tubuh militer itu. Selain banyak aktivis pro demikrasi ‘hilang’ entah kemana, juga diisukan ribuan anggota militer ‘menghilang’ dari kesatuannya memembawa persenjataan lengkap dan amunisi cadangan.

“Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, adalah suatu tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabannya. Apakah suatu power game sedang dimainkan di Indonesia? Siapa yang bermain dengan kelompok bersenjata, serta bagaimana peta kekuatan gerakan sipil? Adalah sesuatu yang harus kita analisa bersama,” tulis sebuah majalah ketika itu. Beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tetap misterius.

Suasana makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas Trisakti.

Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya. Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya. Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam suasana berkabung.

Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu, Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiawa datang!”

Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan.

Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir. Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.

Setiba di Jakarta, HM Soeharto kemudian mengundang beberapa tokoh masyarakat, di antaranya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, tanpa Amien Rais dan Adi Sasono, untuk membicarakan pembentukan Komite Reformasi. Ia juga berencana merombak kabinetnya menjadi Kabinet Reformasi. Ia menawarkan reformasi secara gradual untuk mencegah terjadinya keguncangan.

Ia juga menerima rombongan rektor Universitas Indonesia. Mereka ini datang untuk meminta Presiden Soeharto berhenti dengan hormat. HM Soeharto mempersilahkan mereka menyampaikan aspirasi itu melalui MPR. Demonstrasi mahasiswa pun akhirnya terpusat ke gedung MPR/DPR. Mereka menduduki gedung legislatif itu.

Harmoko, yang menjabat Ketua MPR dan pimpinan MPR lainnya menampung desakan mahasiswa yang meminta Pak Harto turun. Di hadapan para mahasiswa itu, Harmoko menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Harmoko seperti tak terpengaruh atas pernyataannya saat meminta kesediaan Pak Harto untuk dicalonkan kembali menjadi presiden jauh hari sebelum SU MPR.

Pernyataan Harmoko ini kemudian dijelaskan (dibantah) Pangab Jenderal Wiranto sebagai bukan pernyataan institusi tapi lebih merupakan pernyataan pribadi.

HM Soeharto tentu dengan cermat terus mengikuti perkembangan itu. Sampai sore tanggal 20 Mei 1998, tampaknya ia masih yakin akan bisa mengatasi keadaan secara damai dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet menjadi Kabinet Reformasi. Tapi keinginan baik Pak Harto ini disambut dingin berbagai kalangan bahkan tragisnya ditolak sebagian pembantunya (menteri) yang dibesarkannya.

Rupanya inilah detik-detik terakhir ia menjabat presiden. Hari itu, Rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19:30, Pak Harto menerima Mantan Wakil Presiden Sudharmono di kediaman Jalan Cendana 8 Jakarta. Saat itu, menurut Sudharmono, Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII.

Sekitar setengah jam berikutnya, pukul 20.00, Wakil Presiden B.J. Habibie menghadap Pak Harto. Lalu sekitar pukul 20:30, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto yang sedang bersama Wakil Presiden B.J. Habibie di ruang tamu kediaman Jalan Cendana 8 itu. Di hadapan Wakil Presiden BJ Habibie, Presiden Soeharto meminta Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final: Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi.

Saat itu, Presiden Soeharto menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya besok hari, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden Soeharto juga minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan.

Kemudian Wakil Presiden B.J Habibie pulang. Sementara itu, sebanyak empat belas orang menteri membuat pernyataan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang direncanakan Pak Harto. Mereka itu adalah para menteri yang sebelumnya dibesarkan Pak Harto.

Lalu, sekitar pukul 21:00, setelah BJ Habibie pulang itu, Saadillah Mursyid mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Pak Harto. Dalam kesempatan itu, Saadillah Mursyid melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Saadillah juga melaporkan adanya informasi bahwa empat belas orang menteri yang direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet. Setelah itu, Saadillah pulang.

Tapi sekitar pukul 21:40, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto lagi. Saadillah bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para menteri. Saadillah terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika ditanyakan, barulah ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto menunggu di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi.

Sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998 itu, HM Soeharto mempersilakan Saadillah duduk di sebelahnya. Kursi hanya ada satu, di situ HM Soeharto duduk. Lalu Saadillah dipersilahkan menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi, agar bisa lebih dekat.

Setelah hening sejenak, kemudian HM Soeharto mengatakan: “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.“

Lalu, kepada Saadillah sebagai Menteri Sekretaris Negara, diminta untuk mempersiapkan empat hal. Pertama, konsep ‘Pernyataan Berhenti dari jabatan Presiden RI’; Kedua, memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi dengan Presiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana Merdeka; Ketiga, memberitahu Wakil Presiden BJ Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung; Keempat, memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998 pukul 09:00.

Saadillah pun segera memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua Mahkamah Agung melalui telepon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Lalu, bersama-sama staf, Saadillah segera mulai melakukan penyusunan naskah Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan, Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Soenarto Soedharmo, ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal. Sementara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri Sekretaris Negara, memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata negara.

Konsep disusun secara bersama-sama, sebagaimana layaknya suatu pekerjaan staf. Bukan hasil kerja orang perorangan. Setelah konsep diteliti dan dikoreksi beberapa kali, pada pukul 03:00 menjelang subuh tanggal 21 Mei 1998 naskah Pernyataan telah siap untuk diajukan kepada Presiden.

Naskah diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Ajudan menaruh naskah itu di meja kerja Presiden.

Pagi harinya, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”

“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“

Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.

Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.

Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu.

HM Soeharto pun ‘diasingkan’ dari Golkar yang dibesarkannya. Elit-elit Golkar malah yang duluan teriak agar Soeharto ditahan karena kejahatan-kejahatan yang dituduhkan kepadanya selama memerintah. Golkar yang sebelumnya lebih didonimasi pengaruh ABRI tampak bergeser lebih didominasi elit-elit ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Penyebutan nama orang secara eksplisit – mantan Presiden Soeharto – dalam pasal ini tampak tendensius, absurd dan sangat diwarnai sifat subjektivitas politik serta di luar kelaziman sistem ketatanegaraan Indonesia. Bukankah sebaiknya format suatu Tap MPR merupakan garis-garis umum dari suatu kebijakan negara? Jadinya, pasal ini seperti hendak diposisikan hanya berlaku kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi tidak berlaku bagi mantan presiden yang lainnya.

Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Kendati Pak Harto tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa mereka ini mengkhianatinya. Tapi sikapnya yang sampai hari ini belum bersedia menerima kunjungan BJ Habibie dan beberapa mantan menteri dan elit Golkar lainnya bisa dipahami berbagai pihak sebagai indikasi ke arah itu.

Pak Harto pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Ia pun akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Ia menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan.

Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianat, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justeru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa. Satu di antaranya adalah Saadillah Mursyid, mantan Menteri Sekretaris Negara. Saadillah menyatakan: “Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Qur‘an, Surah Ar Ra’ad ayat 25).”

Selamat jalan Jenderal Besar, selamat jalan Bapak Pembangunan. Sebagai bangsa yang besar, pantang bagi kami untuk melupakan semangat perjuanganmu, jasa serta pengabdianmu bagi negeri tercinta ini, Republik Indonesia. Dan Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memperhitungkan amal serta kebaikanmu.Amin

Jumat, 25 Januari 2008

MEMILIH UNTUK TIDAK MENJADI PEMARAH



Amarah tidak dapat disangkal merupakan masalah bagi semua orang. Kapanpun dan di manapun dia siap datang dan menyergap. Wajah kita merah tegang, kening mengernyit, mata melotot, mulut berteriak dan berceracau, jantung berdetak, tangan gemetar dan telapak tangan mengepal, saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Saat kita bekerja di perusahaan pun, kita kerap kali mendengarkan bagaimana bos mencaci dan mengumpat ‘tai-lah, anjing-lah, keparat-lah, goblok-lah, tolol-lah’. Juga diantara karyawan pun kerap terjadi saling gesek dan gosok, yang kemudian berakhir saling tendang, adu tonjok dan adu jotos. Bahkan melampaui dua kondisi di atas, beberapa peristiwa tragis yang pernah terjadi dapat kita sebutkan di sini, diantaranya: seorang pemuda menghabisi nyawa sebuah keluarga, ibu tega membunuh tiga anaknya, ibu menikam suaminya, suami membunuh istrinya, anak didik menikam gurunya, dan masih banyak kasus tragis lainnya, yang kesemuanya tentu kita sepakat bahwa amarah-lah yang menjadi biang keladinya. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang lain yang dapat kita buat selain melampiaskan kemarahan kita dengan mengumpat, memukul, melempar benda, membanting pintu, berdiam diri,merasa jengkel, dendam, benci dan kecewa saat terjadi sesuatu yang menyulut amarah? Memang, amarah adalah sebuah pilihan, pilihan yang buruk, sementara banyak pilihan baik yang ditawarkan kepada kita.

Beberapa teks Kitab Suci dapat kita jadikan refrensi untuk memahami amarah, sebelum kita sampai pada beberapa alternatif preventif yang dapat kita kerjakan:

Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh (Pengkhotbah 37:8).

Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan (Amsal 15:18)

Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan pemarah, supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri (Amsal 22:24-25).

Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran (Amsal 10:12).

Hai Saudara-Saudari yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1:19-20).

Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu (Kolose 3:8).

Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa mengumpat adalah orang bebal (Amsal 16:32).

Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketentraman, daripada makan daging serumah disertai dengan perbantahan (Amsal 17:1)

Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu (Mazmur 37:8).

Orang yang tidak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya (Amsal 25:28).

Teks-teks di atas lebih mengacu pada kemarahan manusiawi; yang tidak terkendali dan raibnya kesabaran, yang bersumber dari kebencian, kedengkian dan kejengkelan, sebagai pengugkapan kekecewaan dan untuk membinasakan orang lain, egois dan berperilaku destruktif, bermaksud untuk memutus hubungan dan melukai, pelanggaran terhadap diri sendiri dan pada mereka yang menentang kehendak kita. Kemarahan manusiawi semacam itulah yang berbanding terbalik dengan kemarahan Allah; terkendali dan bertujuan, tanpa kebencian, tanpa kedengkian atau tanpa kejengkelan, tidak egois, sebagai ungkapan kepedulian, untuk memperbaiki atau membatasi, terhadap ketidak adilan dan bukan untuk memutuskan serta mengacu pada setiap ketidak-patuhan yang disengaja. Dengan demikian, dalam konteks inilah kita diajar untuk tidak gampang mengatakan bahwa kemarahan kita adalah kemarahan yang membangun. Kita mesti berhati-hati jangan sampai istilah ‘kemarahan yang membangun’ justru akan menjadi ladang subur bagi nafsu egoisme dan amarah kita.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah alternatif preventif semacam apa yang dapat menguatkan kehendak kita untuk memilih tidak menjadi pemarah, sehingga kita tidak setiap kali harus jatuh ke dalam lembah amarah yang tidak berujung. Ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian serius kita semua:

  1. Belajar menertibkan pikiran kita

Amzal 10:19 mengatakan: “ makin banyak berbicara, makin banyak kemungkinan berdosa; orang yang dapat mengendalikan lidahnya adalah bijaksana”. Orang Jawa bilang: “Ojo waton njeplak”. Artinya jangan asal bunyi “asbun”. Mempertimbangkan segala sesuatunya, dampak dari omongan kita, menjadi factor penting yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum berbicara. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk, yang kurang enak, yang akhirnya kita sesali, lantaran perkataan yang kita keluarkan tampa pemikiran yang matang.

  1. Belajar mengutarakan ‘ganjalan’ yang masih tertinggal kepada orang yang tepat dan jangan menundanya lebih lama.

Bahwa celakalah apabila kanker ganas yang kita derita, kita biarkan dan tidak kunjung kita obati. Sama halnya dengan kemarahan, semakin kita timbun, maka akan semakin berpotensi menimbulkan letupan yang lebih jahat dan ganas. Maka melatih diri untuk tidak menarik diri dan menutup mulut dari persoalan yang kita hadapi jauh lebih bijaksana. Dengan menutup mulut dan menarik diri dari masalah yang kita hadapi, bukanlah jaminan bahwa masalah itu akan keluar dari diri kita.” Kalau kalian marah janganlah kemarahan itu menyebabkan kalian berdosa . Jangan marah sepanjang hari, supaya Iblis tidak mendapat kesempatan” (Efesus 4:26-27).

  1. Belajar menerima teguran,cacian dan tamparan daripada dihancurkan oleh pujian.

‘Orang yang tidak mau dididik menjadi miskin dan hina; orang yang mengindahkan nasihat akan dihormati (Amsal 13:18). ABS ‘Asal Bapak Senang’ menjadi sebuah istilah yang popular di kalangan kita yang sebenarnya mencerminkan bahwa ada kecenderungan untuk mengemas sesuatu yang sebenarnya tidak/kurang layak biar seolah-olah menjadi layak sehingga menyenangkan atasan. Budaya ‘membungkus’, budaya ‘seolah-olah’, adalah tipuan yang sangat menghancurkan. Ok beres, oke aman dan terkendali, sementara kenyataannya kacau dan semrawut. Dalam konteks ini, akan jauh lebih baik kalo kondisi sebenarnya yang kacau dan semrawut disampaikan apa adanya sehingga dapat dicari alternatif solusi untuk mengatasinya. Maka, di sinilah perlunya kita terbuka pada teguran, dan tidak melulu berharap pada pujian terus menerus yang dalam batas-batas tertentu justru dapat menghancurkan kita. “Teguran orang arif kepada orang yang mau mendengarnya, seperti cincin emas atau perhiasan kencana (Amsal 25:12).

  1. Belajar mengungkapkan harapan-harapan yang ingin orang lain lakukan

Dalam hal ini, sandi tidak cukup, bahasa verbal yang dituntut. “Ngomong dong, siapa yang tahu kalo ngak ngomong?”, begitu kurang lebih kalimat yang sering kita dengar. Bicara bahwa saya tidak suka orang lain membicarakan topik tertetu yang saya tidak mau, itu jauh lebih baik dibandingkan kita memaksakan diri untuk mendengarkan sementara hati kita sebenarnya tak mau. Terus terang akan apa yang kita harapkan orang lain mengerjakannya, itu intinya. Berbagilah perihal masalah kita dengan orang yang kita rasa tepat, sehingga kasusnya tidak kronis dan berubah menjadi letupan-letupan emosional.

  1. Belajar menghadapi masalah yang muncul dan lupakan masa lalu.

Kerapkali penyakit yang muncul ‘mengungkit-ungkit masa lalu’. ‘Wah, dulu dia begitu, sekarang dia berbuat begitu lagi’, keluh seseorang. Yang dulu lupakan, dan hadapi masalah yang sekarang saja. Kita focus pada masalah sekarang yang kita hadapi, masa lalu hanya akan mengaburkan persoalan yang sekarang dan masa lalu hanya akan menjadi pertanda bahwa persoalan yang sekarang kurang kuat.

  1. Hindari situasi menang dan kalah.

Dalam banyak kasus, kita tidak selalu dihadapkan pada kenyataan kalah atau menang. Misalnya dalam dunia olah raga, kadang hanya kita temukan istilah kedudukan seimbang. Atau dalam sebuah perkara di pengadilan, tidak ada yang kalah dan juga tidak ada yang menang, dg kata lain mereka menemuh jalur kompromi. Demikian untuk persoalan yang kita hadapi, bukan soal kalah atau menang pertama-tama, tetapi solusi atas masalah yang kita hadapi itu yang perlu dipecahkan bersama.

  1. Belajar menyadari bahwa ini persoalan yang serius

Hilangkan kecenderungan untuk bergurau tidak pada tempatnya. Bergurau pada saat yang tepat akan tampak jenaka, tetapi bergurau tidak pada tempatnya bisa berakibat bencana. Kita banyak belajar dari kasus yang ada, bahwa bergurau yang berlebihan justru membuat persoalan meruncing. Kita maunya bergurau, tetapi apakah orang lain mau kita ajak bergurau. Mau atau tidaknya bukan tergantung dari kwalitas guraan saja, tetapi juga akan ditentukan oleh karakter seseorang, situasi dan kondisi yang juga akan turut mempengaruhi.

  1. Jangan membesar-besarkan masalah yang ada

Melihat dan membahas masalah yang ada secara proporsional, ini kuncinya. Tindakan membesar-besarkan masalah hanya akan membuat persoalan semakin bias dan hanya akan meninggalkan benang kusut yang tidak akan pernah terurai. Mengetahui kasus secara persis akan sangat membantu kita untuk menyampaikan suatu persoalan secara porposional. Belum tentu apa yang kita dengar, seperti itu kebenaran kasus yang terjadi. “Ojo antem kromo”, kata orang Jawa.

  1. Belajar mengemukakan keluhan seobyektif mungkin

Jangan membiasakan diri untuk langsung datang dan memaki-maki. Belajar menginventaris rasa kecewa, kepedihan dan keluhan lebih bijaksana. Baru kemudian sampaikanlah dengan tetap memegang itikad yang baik. Inventarisasi apa yang harus kita sampaikan pun akan membantu kita focus pada persoalan yang ada.

  1. Carilah jalan keluar yang terbaik

Berkutat terus menerus dengan perasaan tidak enak, tertekan dan kecewa tanpa ada upaya untuk mencari solusinya sebenarnya hanyalah membuang-buang energi yang besar. Sayang, energi harus kita buang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menghasilkan seseatu pun bagi kita selain kehancuran. Adalah lebih baik, energi yang ada kita pergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat; bermanfaat untuk kita, masyarakat, dan dalam konteks besar bangsa dan negara ini.

  1. Belajar mendengar dan beri kesempatan lawan untuk berbicara

Penyakit yang sering menghinggapi kita sering kali ketidak-mauan kita untuk sejenak mendengarkan orang lain. Ironisnya, kita cenderung memaksa orang lain untuk mengikuti perkataan dan harapan kita. Sungguh kecenderungan yang sangat tidak terpuji. Padahal, hanya dengan mendengarkan orang lain bicara, di situ kita akan mengetahui kenapa dia berbuat seperti itu sehingga menjadikan kita paham dengan kasus yang ada. Dengan mendengar mungkin kita juga akan sampai pada kesadaran bahwa ternyata dalam kasus ini hayalah salah pengertian.

Dengan alternatif-preventif seperti di atas, kita akan mampu menempatkan sebuah persoalan pada tempatnya dengan ukuran yang proporsional dan dari sudut pandang yang obyektif. Dalam terang keseluruhan bahwa menjadi panggilan kita untuk mencintai sesama sebagaimana Tuhan mencintai kita.

Selasa, 22 Januari 2008

O, TANÖ NIHA…!!!


PERJALANAN KE NEGERI LANGIT LAPIS SEMBILAN (3)

Note: Singkatnya kami sekeluarga udah sampai ke tempat tujuan ‘Negeri Langit Lapis Sembilan’ dengan selamat. Tetapi inilah bagian cerita yang sangat berat bagi kami. Bukan hanya rasa bahagia yang akhirnya kami rasakan, tetapi ‘tumpleg bleg’, campur-aduk tidak karuan. Bahagia ada, sedih ada, terharu ada, bahkan sampai perasaan takut pun muncul. ‘Tumpleg bleg’, campur aduk, semuanya ada intinya.

Sampai Bandara Binaka kami sempat kebingungan juga, nich. Kok belum ada keluarga yang ngejemput. Hubang-hubungin ke nomer-nomer penjemput ngak masuk ‘teu ayak sinyal’. Yah udahlah, kami tunggu sambil ngeliat-ngeliat seputar Bandara Binaka, ngobrol sana-sini dengan penumpang yang lain yang memiliki itikad baik untuk sekedar membagi keramahan dengan kami. “Bang, mau ke mana?”, tanya salah seorang Bapak kepadaku. Ngak biasa juga sih dipanggil ‘abang’, hari-hari kan dipanggil ‘mas’. “Oh, saya Pak. Saya mau ke…”, begitu saya kebingungan ngejawab pertanyaan Bapak itu. Saya hanya tahu ke Nias, tapi orang tua tinggal di Nias bagian mana, daerah apa kan saya ngak tahu. “ Say, mama teh bumina dimana?”, tanyaku sama istriku. “Di Lolo Moyo, Tuhemberua, Mas”, jawab istriku. Saya rasa bahasa sunda titik temu untuk ngatasin kebingungan saya. Nanya ke istri pakai bahasa Indonesia ketahuan sama bapak itu kalo aku ngak tahu rumah orang tua ‘malu donk’. Pakai Bahasa Jawa, istriku yang ngak tahu. Yah, amannya pakai Bahasa Sunda aja, dech. Antara aku dan istriku sama-sama tahu, dan yang penting nich, supaya Bapak itu ngak ngerti kalo aku sebenarnya ngak tahu daerah mamaku. Supaya aku tetap jadi manusia biasa dan bukan manusia ‘aneh’ di mata bapak itu. Eee.., ini mah strategi aja, tapi harus aku catat, lain kali hal-hal kayak ginian saya harus tau. “Oh, tadi nanyak apa,Pak?”, tanyaku seolah-olah tidak dengar pertanyaan bapak itu tadi. “ Abang mau pergi ke mana?”, jawab bapak itu. “Ooo…, kami mau ke Mama,Pak. Di Lolo Moyo, Tuhemberua”, jawabku. Wah, gawat.., hampir aja aku kelabakan bilang ‘Lolo Moyo’. “O…, Lolo Moyo, Tuhemberua”, sambung bapak itu. “Yah Pak, tapi kami lagi nunggu jemputan. Dari tadi menunggu kok ngak datang-datang. Kami hubungi ngak bisa sambung”, tambahku. “O…, kalo sinyal tidak masuk, berarti mereka ada dalam perjalanan ke sini. Ditunggu aja Bang”, kata bapak itu.

Sementara Dibyo sudah tidak sabar melihat rumah neneknya, tiba-tiba muncullah mobil warna biru laut, yang penumpang di dalamya udah tidak asing lagi bagi istriku. “ Itu adikku Mas, Ama Lucky!”, kata istriku. Syukurlah, penantian kami tidak sia-sia. Ama lucky datang bersama dengan istri dan satu anaknya “Muri”, beserta sopir. “Loh, kok sopir ini kayak orang Jawa juga. Kenapa nyasar di sini itu ‘orang’’, pikirku dalam hati. “Yah, namanya juga cari hidup, Mas. Beginilah, terdampar di mana-mana”, jawab Mas sopir itu saat aku tanya sejarahnya sampai ke Nias. Ternyata itu orang, bawaan Papa Sakhi dan Tante dari Palembang. Jawa yang hidup di Palembang gitu ceritanya. Sementara Dibyo dan mamanya masuk ke dalam mobil, saya dan yang lainnya memasukkan barang bawaan kami dan memastikan bahwa kami siap menuju ke Lolo Moyo, Tuhemberua. Kebahagiaan kedua anak kami mengiringi perjalanan kami itu. “Papa-Papa, mana rumahnya nenek, kok lama amat sih?”, tanya Dibyo padaku. “Sabar Io…, baru 10 menit udah bilang lama’, jawabku. Memang, perjalanan dari Bandara Binaka ke Tuhemberua kurang lebih memakan waktu 30 menit. Jalan raya yang tampak lengang (ngak kayak Bandung yang muacet-cet), jalan yang berlekuk, pepohonan yang menghijau dan yang menarik perhatian saya, banyak ibu-ibu dan anak-anak kecil tampak sibuk bekerja di kebun-kebun milik mereka sepanjang perjalanan yang kami lalui. Ngak tahu ya, ini kebetulan ataukah memang seperti itu etos kerja di Nias. Ibu-Ibu dan anak-anak yang dominan kelihatan di kebun-kebun mereka. Bapak-Bapaknya ke mana ya? Ok, mungkin itu hanyalah kebetulan saja di hari itu. “Papa-papa, laut…, itu lautttt..!”, teriakan Dibyo secara tiba-tiba. Memang, pulau ini begitu nyata dikelilingi oleh lautan. Maklum Dibyo tidak pernah melihat laut selama ini selain dari tv. Habis, di Padalarang laut tidak ada, yang ada hanyalah gunung. Maka setiap kali lihat laut ‘histeris-lah’ dia. Dan yang menarik, disepanjang jalan terdapat panggung-pabnggung kecil yang nanti akan mereka pakai untuk menjajakan ikan hasil tangkapan dari laut. Tetapi sepertinya kami udah kesiangan sehingga tinggal tempatnya saja, sementara ikan dan pedagangnya udah tidak ada lagi. “ Ya udahlah kalo gitu, kita langsung pulang dulu aja. Biar mereka istirahat dulu dan biar berjumpa dengan mama dulu. Belinya ikan nanti sore saja. Sekarang juga udah kesiangan”, begitu kata Ama Lucky. Akhirnya pencarian ikan kami tanguhkan dan langsung kita menuju rumah. Memang, sepertinya mereka dari rumah membawa misi agar jemput sekalian beli ikan. Ya udahlah, lagian kami udah tidak sabar untuk bertemu dengan mama di rumah.

Tidak lama kemudian sampailah kami di rumah Mama. Wow, rumah itu sangat indah posisinya, ada diatas jalan dan bertrap tiga, bangunan satu, bangunan dua dan bangunan tiga. Tampak ramai sih jelas, karena mama tinggal bersama 2 anaknya, Ama Lucky dengan Ina Lucky berikut Lucky dan Muri-nya, Ama Cleo dengan Ina Cleo dan Cleonya, serta yang dekat-dekat dengan situ Ama Hengky dengan Ina Hengky, berikut Hengky dan Teguh (wah.., Teguh, kayak nama orang Jawa saja) yang saya rasa juga turut meramaikan rumah itu dari hari ke hari. Apalagi Papa Sakhi Palembang dan keluarga kan udah duluan di rumah mama. “Hallo, bagaimana perjalanannya?”, begitulah mereka sapa kami begitu melihat kami turun dari mobil jemputan. “Wah, sangat menyenangkan”, begitu jawaban istriku. “Ayuk, kalian langsung aja makan”, kata mama. Wah, begitu denger makan, langsung pikiran saya ke ‘benda haram’ itu ‘ada ngak ya”. Begitu sampai di meja makan, saya langsung lirik ke kiri dan lirik ke kanan, sampai akhirnya ketemu juga yang aku cari ‘benda haram’. “Asyiklah, haram teu naon-naon, yang penting nikmatttt…”, begitu pikirku dalam hati. Kami akhirnya asyik makan sambil cerita ke sana kemari, entah tentang Bandung, entah tentang anak-anak di perjalanan, entah tentang Nias yang dulu dan sekarang dan sebagainya dan sebagainya. Tetapi satu hal yang sudah kami tetapkan sebelum kami berangkat ke Nias, hari pertama kami di Nias, kami akan menengok makam keluarga. Di sanalah, ‘leluhur’ istri saya di makamkan termasuk ayahandanya. Yah, mungkin ini tindakan kami yang controversial juga ‘mengunjungi makam’. Tetapi apa boleh buat, kami tahu apa yang kami lakukan. Sebaliknya, kami salah dan kurang bersyukur, kalo rasa bhakti dan rasa cinta kami harus berhenti sampai makam dan tulang belulang saja. Tidak…, rasa bhakti dan rasa cinta kami terhadap orang yang telah ‘ditakdirkan’ pernah hidup bersama kami tak kan pernah berhenti, bahkan ibarat sudah menjadi tulang-belulang yang berserakan dalam kubur pun, tetap akan kami pungut, kumpulkan dan kami rawat. Sejauh darah yang mengalir dalam diri ini adalah bagian dari dia , sejauh itu juga kami akan mengucap syukur bagi Tuhan Sang Empunya Hidup dan Mati, seraya berdoa bagi dia yang kini sudah di alam baka. “ Naik, naik ke puncak gunung. Tinggi-tinggi sekali. Kiri-kanan kulihat smua. Banyak pohon cemara. Kiri-kanan kulihat semua. Banyak pohon cemara”, begitulah kami berjalan mendaki bukit keluarga menuju ke tanah pemakaman di daerah lerengnya. Wuih, capek juga nich. Di Bandung tidak pernah olah raga, sementara di Nias harus langsung menaiki sebuah bukit. Weleh-weleh…, betis, paha dan pinggang kami nih yang rasanya setengah ampun. Apalagi saya mendaki sambil ngegendong Io. Habis, Io juga ingin ngeliat di mana kakeknya disemayamkan. Kira-kira kami sampai di pekuburan sekitar 15 menitlah. Sebuah kuburan keluarga yang luasnya kira-kira 15 x 6 m2, dan berpenghuni sekitar 6 atau 7 kerabat yang udah meninggal dan dikuburkan di situ. Kami bersih-bersih, sambil mereka menceritakan siapa nisan yang pertama, kedua, ketiga dan sebagainya. Termasuk bagaimana mereka sewaktu mereka masih hidup. Menarik, dan sangat senang saya mendengarnya. Yang tidak kalah menariknya, kedatangan kami bak disambut oleh harumnya bunga kamboja. Padahal nich, saya tidak bermaksud nakut-nakutin, di sekitar makam itu tidak ada pohon kamboja. Dari mana ada harum bau kamboja? Yahhh.., kami ambil hikmah positifnya aja bahwa kedatangan kami disambut dengan baik. “ Pa, kakeknya Io di mana. Kok ngak ada. Kakek Io udah mati?”, tanya Dibyo. “ Itu rumah kakek Io, jauhhh di dalam sana kakek Io beristirahat”, jawabku sambil mengarahkan telunjukku ke arah gundukan batu yang paling ujung. “ Di dalam sana kakek Io sama siapa? Ada temennya enggak? Kasian dong kalo ngak ada temennya”, tanyanya kembali. “ Wow, kakek di dalam sana tidak sendirian, tetapi banyak temennya. Ada Tuhan Yesus, ada Santa Maria, ada Santo Yosef, Santa Theresia, ada para Malaikat dan Malaikat Agung dan bersama penghuni surga lainnya”, begitu saya menjawabnya. Yeach…, kami harus segera turun bukit nich, rencana kami dari Bandung yang penting udah kami laksanakan. “ Menengok makam papa”. Ini hari pertama kami di Nias.

Bersambung….

Jumat, 18 Januari 2008

O, TANÖ NIHA…!!!

PERJALANAN KE NEGERI LANGIT LAPIS SEMBILAN (2)

Note: Sabar ya, aku ini orang ‘gajian’. Karena terima gaji dari orang lain itulah, maka aku kan ngak bisa suka-suka, kan? Mimpi sih, bisa ngaji diri sendiri, tapi itu belum menjadi kenyataan…doain yack!! So, harus cari celah di sela-sela kesibukan harianku. Ada celah waktu sedikit aja…, pasti aku gunakan untuk corat-coret ‘sak udelku dhewe. Rak yo apik to, daripada ngerumpi ngalor-ngidul ngak ada juntrungnya. O iya, NROCOS terus, kapan ceritanya….?!!


MEDAN-NIAS

Wah, kemarin sampai mana ya? Ntar yah, aku inget-inget dulu (udah agak-agak pikun,nich..). Nah, inget nih sekarang. Polonia-Medan…, naik taxi ke rumah saudara istriku yang di Medan…terakhir sampai di rumah dan tidur di sana,ya?!!! Ok, so pasti kami sangat lelah. Bayangin saja dari Bandung ke Jakarta, dari Jakarta sampai ke Medan. Wuih, jarak sejauh itu…pasti capeklah, yaw. Makanya, begitu sampai kami bersih-bersih badan (mandi maksud saya), ngasih makan bubur Haga, main sebentar sambil nyuapin Dibyo, sesudahnya gantian kami yang makan dan ‘bleg’… kami semua tertidur lelap tanpa mimpi. Tapi sebelum berangkat bubuk, kami dah sepakat bahwa esok hari akan bangun pkl. 04.00 WIB. Hihhh, ngebayangin dinginnya ngueri juga. Tapi apa boleh buat, ngurus anak-anak sebelum keberangkatan ini yang memakan waktu panjang, belum mbaliknya ke Bandara Polonia . Sementara pesawat yang akan kami tumpangi ke Bandara Binaka Nias berangkat Pkl. 06.30 Wib.

“Kukuruyuk…kukuruyuk…kukuruyukkkkk…”, begitulah ayam jantan berkokok. Ntar.., inget pelajaran membaca SD kelas 1? Artinya, hari sudah pagi. “Io, Iooo…bangun Sayang, hari udah pagi, ayuk kita lanjutin perjalanan ke rumah nenek”, begitu kami ngebangunin Dibyo. Sekali, dua kali, tiga kali tidak mempan, akhirnya kami harus berkali kali sampai dia terbangun. “ eit,eit,eitt…kok bobok lagi! Bangun Sayang, kita harus cepat, nenek udah nungguin Io sama Dede Haga dari tadi”, begitu pinta kami. Yah, tampaknya dia kecapean. Habis saking semangatnya, kemarin dari Bandung sampai Bandara Polonia maunya narikin koper-koper seberat kurang lebih 35kg. ‘Terasa pegal semua kali ya”, begitu pikirku. Seperti biasa, begitu bangun kami selalu meminta Dibyo untuk berdoa terlebih dulu, bersyukur atas istirahat semalaman dan mohon berkat untuk hari yang baru. “Ayo kita mandi, ayo, ayo…wah, airnya tidak terlalu dingin loch, segar lagi…”, begitu bersemangatnya kami untuk segera berangkat ke Bandara Polonia menuju Bandara Binaka Nias.

“Baya, Tante…kami terima kasih banyak atas sambutan dan tumpangannya sehingga kami dapat istirahat dan meneruskan perjalanan ke Nias dengan kondisi yang jauh lebih segar”, begitu kurang lebih kalimat yang kami sampaikan kepada empunya rumah. O iya, baya itu Bahasa Nias yang padanan bahasa kita ‘om’. Om-nya Tante maksud saya, bukan ‘Omplong’. Begitulah, kira-kira pkl. 05.30 Wib kami berangkat ke Bandara Polonia setelah segala sesuatunya siap. Dibyo, yang tadinya susah bangun, sekarang udah kelihatan segar, dan nampak cakep dengan kemeja warna coklat keabu-abuan ala USA ARMY. “Siap, siap..ok, kita berangkat !”, begitu saya pastikan segala sesuatunya. Sepanjang perjalanan, sepi-sepi aja karena mobil yang dipakai nganter kami sepertinya tidak dilengkapi dengan tape mobil. Kami semacam sepakat untuk diam, menikmati keindahan sepanjang jalan protocol Medan yang masih lengang, sambil menikmati kesegaran pagi yang ditawarkan kota Medan. Lumayan jauh juga jarak antara rumah yang kami tumpangi dengan Bandara Polonia Medan. Yah, kira-kira setengah jam perjalananlah. Kaloupun lebih ya paling hanya selisih beberapa menit. Tepat pukul 06.00 Wib, kami sampai di Bandara.

Tengok kiri-tengok kanan lazimnya orang kebingungan, kami mencari seseorang yang janji membeliin tiket untuk keberangkatan pagi ini. Tapi kok ngak nongol-nongol batang hidungnya. Biasa, namanya juga calo pasti masih sibuk dengan client-nya yang lain. Kata baya sih, dia itu orangnya baik, tidak terlalu ngambil untung dan orang Nias juga. Sebenarnya antara mau dan ngak mau sih, tapi ngak enak juga kalo kami tolak. Ntar kirain yang bukan-bukan. Enakan beli langsung kalo kami pikir-pikir. Tapi ya udahlah, yang penting kami sampai di Nias dengan selamat dan dapat berjumpa dengan Mama dan keluarga yang lain. Tidak selang beberapa lama, datanglah orang yang kami carai, berteriak sambil berkata: “check-in barang…, check-in barang!!”. Setelah check-in beres, harga tiket kami berikan kepada calo tersebut, kami akhirnya menuju ke ruang tunggu. Kira-kira waktu sudah nunjukin pkl. 06.15 Wib. Baru saja kami duduk, pihak Bandara Polonia sudah mengumumkan bahwa pesawat SMAC tujuan Bandara Binaka Nias segera akan diberangkatkan dan seluruh penumpang diharapkan masuk. Wah, syukurlah..makin cepat makin baik. Dibyo juga udah ngak sabaran mau naikin pesawat SMAC.

“Liat-liat Papa ,liat Mama...pesawatnya udah mau jalan!”, begitu Dibyo berteriak manakala pesawat mau persiapan untuk ‘take-off’. Wah, luar biasa indahya…terbang di antara awan-awan. Dan betul juga kata pepatah, “di atas langit ada langit”. Yah, langit berlapis-lapis kali ya…lapis sembilan kata orang Nias. Ngak tahu nih, pesawat ini udah tembus langit yang keberapa ya? Satu, dua, tiga…tetapi yang jelas belum sampai lapisan langit yang kesembilan. Aduh, kok ada tiba-tiba kulit saya terasa tertusuk benda tajam. Periksa demi periksa, O…, bukan benda tajam ternyata. Tapi kutu busuk (orang Jawa bilangnya ‘tinggi’. Bukan tinggi-tinggi sekali, tetapi kutu busuk maksudnya). ‘Liat,liat Papa…, liat Mama, ada kutu. Matiin cepat. Ionya takut”, teriakan Dibyo yang ketakutan dengan binatang-binatang kecil semacam itu. Yah, terpaksa dech, bukannya nikmati perjalanan bersama awan , tetapi nikmati perjalanan dengan kutu busuk. “itu-itu liat Mama, ada daratan di bawah sana, ada pohon-pohon kelapa”, lagi-lagi teriakan Dibyo yang sanngat dominan dalam ruang pesawat itu. Yah, payah dech orang lain yang mau nikmati perjalanan. Bisa-bisa terganggu dengan keributan-keributan yang dibuat Dibyo sepanjang perjalanan. Tetapi benar kata Dibyo, memang di kejaguan tampak hamparan daratan yang membentang hijau dan permai. “Nias itu”, tanyaku pada istriku. “Yah, rupanya sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Binaka”, jawab istriku. “Syukurlah, mudah-mudahan kita dapat mendarat dengan selamat”, sambungku.

Tak lama kemudian…”horeee…kita udah mendarat di Bandara Binaka Nias dengan selamat. Ada semacam kebahagiaan yang sulit untuk kami ungkapkan “inilah Negeri Langit Lapis Sembilan itu”.

BERSAMBUNG...

Kamis, 17 Januari 2008

O, TANÖ NIHA…!!!

PERJALANAN KE NEGERI LANGIT LAPIS SEMBILAN (1)

Note: Dengan tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk membuat cerita fiktif sekelas ‘Puteri Selendang Biru’. Tetapi dengan tulisan ini, saya sekedar bermaksud untuk mengabadikan perjalan kami sekeluarga ke Tano Niha (Pulau Nias). Di Negeri yang terkenal dengan ‘hoho’/syairnya inilah, saya mendapat informasi bahwa selain hoho, di Tano Niha pun terdapat mitos yang sangat terkenal, yaitu mitos tentang Langit Lapis Sembilan. Terlepas mitosnya seperti apa, karena saya sendiri juga belum pernah mendengarnya secara lengkap, tetapi saya merasa bahwa Negeri Langit Lapis Sembilan dapat saya jadikan julukan untuk Tano Niha, bak Belanda dengan Negeri Kincir Anginnya atau Jepang dengan Sakura/Mata Hari Terbitnya. Negeri Langit Lapis Sembilan saya harapkan mampu mewakili rasa kagum saya terhadap potensi dan keindahan alam serta kekayaan khasanah budaya yang ada di sana.

BANDUNG-JAKARTA-MEDAN

Tanggal 29 Desember 2007, kira-kira pkl. 11.00 Wib, kami sekeluarga ( saya, istri, dan kedua anak saya yang masih kecil) bergegas meninggalkan Kota Bandung, dengan menggunakan Extrans Travel, menuju Bandara Soekarno-Hatta (Jakarta). Lebih baik datang awal daripada terlambat, begitulah kira-kira prinsip kami sekeluarga. Dan sesuai yang kami rencanakan, kami pun tiba di bandara kira-kira pkl.14.30. Artinya, kami datang lebih awal beberapa jam dibandingkan jadwal penerbangan yang kami dapatkan dari maskapai Batavia Air (pkl. 18.15 Wib) tujuan Medan. Lumayan , ada cukup waktu bagi kami untuk beristirahat sebelum kami menuju ke Kota Medan, terlebih lagi ada cukup waktu untuk memperhatikan anak-anak agar tidak kena angin perjalanan nantinya. Juga yang menarik dan yang susah untuk tidak aku ceritakan, Yohanes Krisostomus Dibyo Yuwono (4th), anak kami yang pertama, begitu semangatnya ngangkutin barang-barang bawaan kami, yang untuk ukuran anak seusia itu tergolong besar dan berat, tetapi dia kuat dan penuh semangat. Begitu beraninya ia menyelinap masuk ke sana-kemari sambil membawa barang-barang, bahkan sapaan yang dilontarkan orang-orang yang mengagumi semangat dan kekuatannya pun tidak ia hiraukan lagi. Terus terang aku bangga dengan dia, tetapi pertanyaan saya waktu itu, akan tetap seperti itukah anak saya ? Oh…, saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan buat dia. Sementara Gabriello Haga Gulidane (6 bln) juga tidak kalah menariknya, dia begitu gembira dan selalu tebar senyum kepada hampir semua orang yang menaruh perhatian kepadanya. Yah, mereka berdualah yang dapat melepaskan kami dari kegalauan yang sebenarnya turut mengiringi kepergian kami ke Nias.

Saat yang kami tunggu-tunggu pun tiba, pihak bandara mengumumkan bahwa sudah waktunya kami Check-in dan pesawat tidak lama lagi akan segera diberangkatkan. “Cepet Sayang, ayo cepat..!”, begitulah saya kasih semangat kepada Dibyo agar segera memasuki pesawat setelah check-in selesai kami lakukan. Ribut dan banyak pertanyaan yang aneh-aneh, itu sudah dapat aku bayangkan sebelumnya. Yang ini apa, yang itu apa, mengapa begini dan mengapa begitu, itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus kami jawab sebelum pesawat ‘take-off’ sehingga petunjuk-petunjuk penerbangan yang disampaikan pramugari pun tidak dapat kami ikuti lagi. Untunglah ada pamflet-pamflet yang juga bisa kami baca, yang tersedia di belakang kursi duduk di depan kami. Walaupun begitu, kami tetap mengajak Dibyo untuk sejenak berdoa mohon keselamatan kepada Tuhan sebelum pesawat diberangkatkan. Andai harus tidak selamat pun, kami sudah melakukan yang terbaik , yaitu telah menyerahkan hidup dan mati kami sepenuhnya ke dalam tangan-Nya. Memang ngeri juga sih kalo terjadi ‘apa-apa’ di udara, apalagi kalo ingat ada informasi pesawatnya yang tualah, cuaca yang kurang baiklah, ada pesawat yang jatuhlah, yang itu semua akan menambah daftar panjang sebab pemicu rasa takut sebelum kita memutuskan untuk menaiki pesawat. Aneh juga ya bangsaku ini, sementara ada kecenderungan menyukai penerbangan, tetapi serentak dihinggapi penyakit ‘ketakutan’ untuk terbang. “Hei Papa-Papa, pesawatnya udah mulai jalan. Sebentar lagi terbang!”, begitu teriakan Dibyo yang nyaris seluruh penumpang dalam pesawat dapat mendengarnya. Dan begitulah, pesawat rupanya mulai persiapan ‘take-off’. Sementara sebagian besar penumpang sibuk dengan persiapan menutup mata, tetapi Dibyo justru sibuk memperlebar pintu penutup cendela pesawat. “ Lihat Papa, lihat Papa….!”, begitulah Dia mengekspresikan kekagumannya terhadap sesuatu disekitar yang dia lihat.

Wah, penerbangan dengan ketinggian 3.500 kaki rupanya cukup membuat kita sadar juga bahwa manusia bukanlah ‘apa-apa’ dibandingkan alam semesta, manusia masih lumayan dikatakan debu, padahal debu pun tidak. Begitu nyata bahwa daratan jauh lebih kecil dibandingkan dengan lautan. Sayang, karena penerbangan ini malam hari, sehingga patokan saya hanya satu, pada saat kerlap-kerlip di bawah hilang dan kita masuk ke kegelapan, itulah laut. Betul enggak sih, saya pun tidak tahu…,ini kan dugaan saya, ketinggian pesawat pun berpengaruh juga kan sehingga cahaya yang bertebaran dibawah tidak dapat terlihat lagi. Tetapi yang jelas, rasa dingin makin lama makin menusuk tulang. “ Aduh, tolong Dibyo diselimutin”, begitu pinta istriku. Kebetulan Haga sudah tertidur dari tadi di dekapan mamanya, sehingga kami dapat sedikit menghemat tenaga. Dan hampir sedikit lagi, Dibyo pun saya pastikan tertidur. Habis, ngak ada sesuatu yang menarik untuk dia lihat lagi. Lha wong gelap gulita… Situasi dipesawat pun berubah tenang dan hening, hanya raungan bunyi pesawat dan goncangan-gonjangan akibat cuaca yang kurang baiklah yang dapat kami dengar dan kami rasakan. “ngrokkkkk….gerrrrr…..,ngrokkkkk……gerrrrr……, ngrokkkkk….gerrrr….”, semuanya tertidur. Sampai akhirnya, semua yang tertidur termasuk Dibyo, dikejutkan oleh pengumuman dari pihak pramugari yang menerangkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Polonia-Medan. Tepat pukul 20.00 WIB kami tiba di Medan dengan selamat.

Kami sekeluarga rencana menginap di Medan semalam, sebelum keesokan harinya kami melalanjutkan perjalanan lagi dari Medan ke Nias. Semalam di Cianjur sih sudah biasa, lain cerita dengan semalan di Medan, rasanya seperti apa sih? Tidak lama berselang, keluarga istri saya pun datang lengkap dengan taxi sewaan dan pengawal pribadi. Sepanjang jalan kami beramah-tamah lazimnya saudara yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah. Tetapi yang menarik, dan ini pengalaman langka buat saya, tidak pernah saya jumpai di Jawa, begitu saya masuk ke dalam taxi, kami disambut dengan lagu Ave Maria. “ Ave Maria. Gratia plena. Maria Gratia Plena. Maria Gratia Plena. Ave, Ave Dominus. Dominus tecum. Benedictatu in mulieribus, et bennedictus. Et bennedictus fructus ventris. Ventris tui Jesu”, wow terasa di Belgia. Dan yang juga menarik, sepanjang jalan banyak kami temukan pedagang buah durian. Dan konon informasinya, durian di Medan murah loh…waw, alangkah lezatnya! Tetapi kami cukup menelan air liur saja lantaran masih ada hari esok pikir kami. Yang penting kami sampai dulu di rumah tujuan, ngebersihin badan, makan dan kalo masih ada waktu tersisa ‘mlaku-mlaku’ kata orang Jawa. Saat yang kami nantikan pun tiba dan sampailah kami di rumah tujuan. Ya udah, kami pun beristirahat semalem di Medan. Dan bocoran saja, semalem di Cianjur dg semalem di Medan, tidak jauh beda loch!

BERSAMBUNG.....