Kamis, 09 Oktober 2008

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman Tentang Kebenaran dan Rasionalitas


1.3.2. Pembedaan yang Tidak Adequat antara Pengalaman dan Interpretasi
Dua yang laian dari konsep kebenaran yang ditolak dapat dikelompokkan sekitar persoalan bagaimana konsep-konsep kebenaran itu berhubungan dengan pembedaan antara pengalaman dan interpretasi. Pertama, Habermas menolak konsep kebenaran objektivistik. Konsep kebenaran ini berhubungan dengan kebiasaan kita yang melihat bahwa observasi-observasi objektif yang diambil merupakan kebenaran. Habermas menyatakan bahwa kebenaran termasuk dunia pemikiran-pemikiran . Observasi tidak dapat jadi “benar” atau “tidak benar”. Kebenaran ada bukan ketika keraguan menolak secara langsung suatu observasi (untuk keraguan seperti itu, dapat digerakkan kembali oleh observasi yang diulang), tetapi ketika ada keraguan atas pernyataan dalam mana observasi diinterpretasi. Observasi-observasi (atau pengalaman-pengalaman) mengklaim diri memiliki objektivitas, tetapi bahwa objektivitas tidak identik dengan kebenaran suatu pernyataan yang menyertainya. Objektivitas dijamin oleh keberhasilan yang dapat dikontrol pada tindakan-tindakan yang dibangun atas suatu pengalaman. Pengalaman tentang struktur kategorial objek-objek menentukan objektivitas pengalaman kita. Kebenaran, bagaimanapun, tidak dapat menyatakan dirinya sendiri dalam tindakan-tindakan yang dikontrol dengan penuh keberhasilan, tetapi dalam rasio yang berhasil. Selain itu, kekuatan gambaran atas suatu pengalaman atau eksperimen-eksperimen hanya dapat membenarkan klaim kebenaran dari pernyataan proposisional dalam suatu kenyataan. Kita berpegang pada suatu pernyataan sejauh tidak ada pengalaman-pengalaman yang tidak sesuai, tetapi validasi suatu klaim kebenaran hanya mungkin dengan mengerti arti-arti rasio. Suatu pengalaman yang didasarkan atas suatu pengalaman tidak ekuivalen dengan suatu pernyataan-pernyataan yang didasarkan atas argumen-argumen. Saya hanya dapat menganggap suatu predikat yang benar berasal dari suatu objek, jika dan hanya jika setiap manusia yang lain yang akan terlibat dalam suatu debat dengan saya, akan menganggap suatu predikat yang sama berasal dari suatu objek yang sama. Ketika kebenaran suatu deskripsi atau suatu eksplanasi ada atau mungkin, semua yang lain, secara potensial, harus atau ada kemungkinan untuk menyetujuinya. Saya harus meyakinkan mereka, tidak dengan paksaan, bukan dengan menunjuk pada suatu eksperimen, tetapi dengan argumen-argumen. Dengan cara itu, mereka menjadi yakin secara rasional tentang kebenaran (Habermas menanyakan bagaimanakah kenyataan-kenyataan dihubungkan dengan objek-objek pengalaman kita. Objek-objek pengalaman- benda-benda, peristiwa-peristiwa, manusia, ucapan-ucapan- adalah mengenai di mana kita membuat pernyataan-pernyataan dan dari mana kita menyatakan pernyataan dijustifikasi suatu kenyataan. Objek-objek berhubungan dengan “mengalami”, sedangkan kenyataan-kenyataan berhubungan dengan “dinyatakan”. Saya tidak dapat mengalami kenyataan-kenyataan atau menyatakan objek-objek pengalaman. Ketika saya menyatakan suatu kenyataan, saya dapat percaya atas pengalaman-pengalaman dan hubungan diri saya sendiri dengan objek pengalaman. Objek-objek pengalaman adalah sesuatu dalam dunia, kenyataan-kenyataan tidak. Ibid hlm95).

Konsep kebenaran objektivitas berhubungan juga dengan suatu teori korespondensi. Suatu teori korespondensi tentang kebenaran menyatakan bahwa pernyataan harus sesuai dengan kenyataan.Pernyataan ini hanya mempunyai makna kalau pernyataan-pernyataan merepresentasikan objek pengalaman yang adalah sesuatu yang ada dalam dunia. Suatu teori korespondensi menyangkal dirinya sendiri. Jika kita tidak dapat menganggap arti-arti yang lain dari term tentang “realitas”, maka kita berhubungan dengan pernyataan tentang kenyataan-kenyataan, dan jika kemudian melihat dunia sebagai totalitas fakta, maka korespondensi antara pernyataan-pernyataan dengan realitas pada gilirannya hanya dibatasi oleh pernyataan-pernyataan.
Kenyataan-kenyataan dikemukakan dalam bidang diskursus hanya ketika suatu klaim validitas dihubungkan dengan suatu pernyataan menjadi topik pemikiran (reasoning). Dalam konteks tindakan-tindakan, kita memahami objek-objek pengalaman kita dan dalam konteks tindakan itu suatu pernyataan berfungsi sebagai suatu informasi tentang suatu pengalaman akan objek-objek apakah objektif atau subjektif. Dalam diskursus, suatu pernyataan berfungsi sebagai suatu ‘statement’ dengan suatu klaim validitas yang problematic, apakah benar atau tidak benar. Dalam konteks-konteks tindakan, saya bisa jadi keliru dalam pengalaman saya akan objek-objek. Dalam diskursus, saya benar atau salah berhubungan dengan klaim validitas yang dinyatakan.
Fakta-fakta adalah pernyataan-pernyataan proporsional. Pemikiran tentang objek-objek tidak sama dengan pengalaman-pengalaman atau observasi atas objek-objek. Bagaimanapun juga, seseorang mengacu pada pengalaman dalam konteks argumentasi. Tetapi, acuan pada pengalaman yang metodologis, misalnya dalam suatu eksperimen tetap tergantung pada interpretasi-interpretasi, hanya kelihatan jadi valid dalam diskursus. Pengalaman hanya dapat menyokong klaim kebenaran dari suatu pernyataan dalam diskursus. Kita bergantung pada pernyataan sejauh tidak ada pengalaman-pengalaman paksaan. Tetapi, suatu klaim kebenaran hanya dapat divalidasi oleh argumen-argumen. Suatu klim yang didasarkan atas pengalaman adalah dengan tidak mengartikan sebagai suatu klaim yang ditemukan dalam argumen-argumen. Kita mengatakan bahwa informasi dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya. Kita dapat mengukur realibilitas (hal dapat dipercaya) dengan probabilitas keyakinan-keyakinan atau pengharapan-pengharapan ketika hal itu terpenuhi. Tetapi, kebenaran tidak berkarakter informatikal, tetapi suatu pernyataan. Suatu pernyataan itu benar ketika pernyataan itu didasarkan atas pemikiran (reason) yang meyakinkan. Kondisi yang ditemukan adalah persetujuan yang potensial terhadap semua yang lain. Kebenaran suatu proposisi menunjukkan “janji” untuk mencapai consensus rasional.
Habermas juga menolak suatu konsep yang subjektivistik. Suatu konsep kebenaran dalam mana kepastian personal terhadap suatu pengalaman langsung dikatakan sebagai kebenaran. Sebagai suatu pengalaman tentang kepastian bisa didasarkan atas pemikiran (sense), tetapi ketika saya menggunakan pikiran-pikiran saya, perasaan, penciuman, pendengaran, atau penglihatan, persepsi tidak dapat, dalam dirinya sendiri dipandang sebagai suatu validitas.Bagi Habermas, klaim validitas itu hanya ketika saya membuat suatu tentang persepsi-persepsi saya bahwa saya membuat suatu klaim validitas. Saya tidak mengklaim bahwa sensasi memberikan saya kepastian. Karena itu, ada banyak klaim validitas yang tidak disertai oleh persepsi-persepsi saya bahwa saya membuat suatu klaim validitas. Saya tidak mengklaim bahwa sensasi memberikan saya kepastian. Karena itu, ada banyak klaim validitas yang tidak disertai oleh persepsi-persepsi sensoris tentang kepastian. Ketika saya mengetahui sesuatu atau ketika saya yakin tentang sesuatu, kepastian saya tidak harus didasarkan atas persepsi. Pengetahuan yang pasti dan suatu keyakinan yang solid hanya dapat didasarkan atas pemikiran-pemikiran yang dapat saya tawarkan pada counter-argumen yang lemah. Kepastian-kepastian hanya dapat didasarkan atas argumen-argumen, meskipun tentunya pendapat atau keputusan didasarkan atas persepsi-persepsi yang dapat dipakai dalam suatu argumen yang khusus. Pengetahuan hanya dapat didasarkan secara tak langsung atas persepsi-persepsi sensoris.
Kepastian juga dapat didasarkan atas suatu kepercayaan atau keyakinan. Kepastian kemudian didasarkan atas suatu interaksi dalam mana orang yang dipercayai telah terbukti benar. Suatu kepastian “keyakinan” tergantung atas suatu pengalaman dalam komunikasi. Bagi Habermas, kebenaran hanya dapat dihubungkan dengan rasio, bukan dengan kepercayaan atau keyakinan.Kebenaran (truth) dan ketepatan (rightness) tidak perlu didasarkan atas sensoris langsung atau kepercayaan begitu saja. Seseorang mengetahui sesuatu tentang suatu objek pengalaman hanya ketikadia menerima klaim kebenaran dari suatu pernyataan. Pengetahuan hanya mungkin ketika keputusan-keputusan (kritisisme atau justifikasi) itu mungkin. Seseorang yakin akan kebenaran sebagai suatu norma hanya ketika dia menerima klaim validitas dari kaidah-kaidah yang relevan.Seseorang percaya orang lain ketika dia melihat ketulusan hati orang tersebut. Ketika saya mengerti, mengetahui, percaya, kemudian saya pastikan, tetapi “kepastian-kepastian” itu berbeda dari kepastian-kepastian yang dilukiskan dengan jelas. Klaim-klaim validitas adalah intersubjektif. Suatu pengalaman konvidensi (kepercayaan) bukan pengalaman yang menetapkan basis kebenaran, kemudian suatu pernyataan bisa jadi benar untuk satu orang. Kepastian tentang sesuatu juga mungkin ada hanya bersifat subjektif. Tentu beberapa subjek telah membagikan kepastian sesuatu yang diobservasi, tetapi kemudian mereka akan harus mengatakannya dan membuat suatu pernyataan. Karena itu, mereka akan membuat suatu klaim tentang validitas, untuk ‘dicek’ secara intersubjektif. Kepastian akan selalu tetap suatu ekspresi subjektif, meskipun hal itu bisa jadi bahwa suatu pengalaman membangkitkan suatu persoalan tentang suatu klaim yang dipaksakan khusus atas validitas.

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman tentang Kebenaran


1.3 Teori tentang Kebenaran

Sebelum kita sampai pada teori kebenarannya, terlebih dahulu kita menelusuri klaim-klaim validitas kebenaran yang ditolak oleh Habermas.
1.3.1 Klaim-klaim Validitas yang Tidak Adequat
Berkaitan dengan klaim-klaim validitas Habermas dengan gigih menolak konsep kebenaran yang metafisik maupun konsep kebenaran yang positivistic. Konsep kebenaran metafisik berawal dari munculnya pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani yang menimbulkan demitologi pemikiran mitis. Melalui ungkapan-ungkapan filosofis, sang filsuf selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan tentang keapaan realitas. Dan apa yang disebut realitas itu tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Apa yang dilakukannya adalah dengan cara kembali kepada dirinya yang memandang kosmos tersebut melalui cara ‘kontemplasi’. Di sana diharapkan ditemukan kepastian mendasar atau kesesuaian dirinya dengan tertib alam semesta itu.Kemudian apa yang disebut teori dalam pemikiran filosofis adalah suatu ‘kontemplasi atas kosmos’.Dengan mengartikan teori seperti itu, Filsafat telah menarik batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang menyebabkan lahirnya ontology dalam sejarah pemikiran manusia(Budi Harddiman,F.Kritik Ideologi.Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,Yogyakarta,Kanisius,1990,hlm.21). Melalui teori, filsuf menyusun konsep-konsep tentang apa-nya realitas dan apa yang disebut hakikat realitas tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan-rumusan yang tak berubah-ubah,yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio sendiri. Maka tugas manusia hanyalah mengingat kembali apa-apa yang menjadi apriori di dalam rasionya, yakni idea-idea. Bagi Habermas, pemikiran seperti ini semakin menjadi ‘dimutlakkan’ dalam filsafat kesadaran, yakni dalam filsafat modern maupun ilmu-ilmu sosial yang diturunkannya; di mana telah dirintis oleh Rene Descartes.Dalam filsafat kesadaran, pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu disebut pengetahuan transcendental karena mengatasi pengetahuan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistoris. Filsafat kesadaran ini bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objectivitas murni. Tugas pokok filsafat di sini adalahmencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme) dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (representasionalisme). Filsafat kesadaran ini, bagi Habermas, merupakan filsafat yang berpusat pada subjek atau rasio yang berpusat pada subject.Dasar segala pengetahuan diperoleh dengan cara kembali kepada subject yang mengetahui itu sendiri yang dipahami secara psikologis maupun transcendental. Itu berarti bahwa realitas dibayangkan sebagai “realitas luar”. Bagi Habermas,pemikiran seperti ini menyempitkan dan membatasi rasionalitas dlam pernyataan logis atau tidak logis, sfisien atau inefisien. Konsep tentang kebenaran pun akhirnya hanya terbatas pada pernyataan logis-tidak logisnya. Konsep kebenaran semacam itu, bagi Habermas sebagai konsep kebenaran yang metafisik. Konsep kebenaran yang metafisik disebutnya sebagai konsep kebenaran yang ‘kabur’ di mana tiga klaim validitas belum dibedakan secara substansial. Benar, tepat, dan lengkap atau utuh digabungkan atau disamakan begitu saja. Dalam konsep-konsep pokoknya, aspek-aspek ‘ada’, ‘syarat’, dan ‘rasa’ masih merupakan satu keseluruhan. Dorongan-dorongan subjektif manusia terpangkas dan tereduksi ke dalam rasio melalui syarat-syarat yang ditentukan oleh rasio itu sendiri. Demikian ‘ada’ direduksi menjadi ada menurut rasio. Bagi Habermas,rasio yang berpusat pada subyek ini tersimpan dan terpelihara kekuasaan. Tanpa disadari sang pemikir sendiri, pembersihan dari dorongan-dorongan subjektif manusia, tak lain dari pelaksanaan kepentingannya sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekan kepentingan demi mencapai pengetahuan murni.
Sedangkan konsep kebenaran yang posivistik disebutnya sebagai konsep yang lemah. Konsep kebenaran yang positivistic ini sebetulnya sudah muncul dalam pemikiran Aristiteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Baginya, pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris.Pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsure-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsure-unsur itu sehingga dari yang particular diperoleh yang universal.Untuk melakukan abstraksi ini pun, manusia harus membersihkan diri dari unsure-unsur yang berubah-ubah. Pemikiran seperti ini menampakkan diri kembali dalam filsafat modern yang beraliran empirisme. Penganut-penganut aliran empirisme, seperti Hobbe, Locke, Barkeley, dan Hume, beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya lewat pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori. Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri pada pengalaman. Bagi Habermas, pemikiran empiris analitis ini tidak bisa melepaskan diri ontology karena nampak dalam keyakinan bahwa teori murni diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan manusia. Dari arus filsafat inilah positivisme yang dirintis oleh August Comte itu lahir. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih, yakni pengetahuan yang berdasarkan fakta objektif. Maka, ini pun tak lepas dari ontologi.

Konsep kebenaran positivistic ini tidak mengakui “relasi-kebenaran” (truth-relationship), atau relasi antara rasionalitas normative (etis) dan persoalan-persoalan ekspresif. Konsep kebenaran ini hanya bisa ditetapkan dalam diskursus teoretis, dalam mana hanya mengedepankan debat rasional, argumen-argumen. Konsep positivistis ini sama sekali membatasi jarak rasionalitas. Positivisme menyempitkan dan membatasi wilayah rasional dengan mereduksinya pada deskripsi-deskripsi dan eksplanasi-eksplanasi (Ibid, hlm.91). Akibatnya, pengetahuan yang yang dihasilkan tidak dapat diterapkan pada masalah-masalah yang disebabkan oleh suatu tindakan komunikatif yang terdistorsi. Pola-pola yang ditampilkan secara secara empiris hanya dapat dipakai untuk membuat ramalan-ramalan, melukiskan kondisi-kondisi, karena pola-pola tersebut hanya bisa ditransformasikan ke dalam rekomendasi teknis sehingga mengarah kepada makna-makna rasional-tujuan. Ketika ilmu pengetahuan sosial menganut sikap positivistis ini, ilmu pengetahuan sosial itu akan mengandung tiga pengandaian yang saling berkaitan (Budi Hardiman,F., Op.Cit, hlm.24).Pertama, bahwa prosedure-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat berlangsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusiawi, tidak mengganggu objeck pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini, objeck pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk ‘hukum-hukum’, seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu alam bersifat netral, bebas, dari nilai. Bagi Habermas, hal tersebut membawa konsekuensi bahwa ilmu sosial akhirnya menjadi ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengontrol masyarakat secara rasional, seperti alam. Seperti suatu “Teknologi Sosial”, ilmu pengetahuan sosial itu tidak dapat diharapkan untuk pembaharuan terhadap suatu consensus sosial yang terdistorsi.

Menurut penganut positivisme, kita hanya dapat bertindak secara rasional ketika kita menata masyarakat kita atau instusi-institusi sosial kita dengan berdasar pada rekomendasi teknis. Lebih lanjut, Habermas mengatakan bahwa manusia akan kehilangan kemungkinan untuk mencerahkan dirinya. Mereka akan kehilangan identitasnya, baik kolektif maupun individual. Masalah-masalah sosial tidak dapat dipecahkan dalam suatu cara teknis. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan identitas tidak dapat dijawab atau dicerahkan dengan pendekatan empiris saja. Identitas menunjukkan suatu proses, di mana identitas berkembang, mengalami kekacauan, ‘runtuh’, dan bangkit kembali. Proses itu tidak irasional. Komponen-komponen identitas yang normative (evaluatif) dan ekspresif merupakan “batas-kebenaran” dalam pengertian bahwa klaim-klaim validitasnya dapat dipertanggung-jawabkan dengan pemikiran atau rasio.
Ketiga, konsep kebenaran yang tidak diakui oleh Habermas, yakni konsep postmodernis. Konsep kebenaran yang didasarkan atas suatu paduan yang tidak adequate terhadap dua klaim validitas. Kebenaran (truth) yang dipadukan ke dalam kepenuh-kebenaran (truthfulness). Kebenaran (truth) dipahami sebagai ‘event’, di mana kebenaran menyingkapkan dirinya sendiri kepada subyek yang ‘attentive’ (penuh perhatian). Subyek yang penuh perhatian itu diubah oleh tanggapan kepada suatu “truth-event” yang “menarik” dan “mempesona”.Ketika suatu “event” dialami sebagai suatu revelasi kebenaran, bagaimanapun juga, pengalaman yang otentik bisa terjadi. Itu berarti otentisitas pengalaman tidak berarti sesuatu yang berhubungan denga “the truth-calibre”, “kualitas kebenaran” dari suatu pernyataan yang didasarkan atas pengalaman itu. “Truthfullness” merupakansuatu klaim validitas yang hanya menunjukkan bahwa seseorang sesungguhnya mengartikan apa yang dia nyatakan. Seseorang itu benar (truthfull) ketika tidak menyesatkan dirinya sendiri atau orang lain dengan pernyataannya. Kita tidak dapat memahami “truthfullness” sebagai suatu relasi-kebenaran (truth-relationship), dalam mana pernyataan dihubungkan dengan “inner entity” dari suatu pengalaman. Konsekuensinya, ketika seseorang berada dalam suatu pengalaman, dia tidak dapat membuat pernyataan-pernyataan tentang ‘inner life-nya’, bahwa kita dapat menilai benar atau tidak benar. Kita hanya dapat menilai tindakan-tindakannya, apakah dia secara sungguh-sungguh memaknai apa yang dia katakana. Kalau kebenaran tentang “being” itu memanifestasikan dirinya sendiri, sebagai yang dikatakan Heidegger dan pemikir-pemikir postmodernis, kebenaran itu hanya bisa dinyatakan secara naratif. Ketika seseorang dipikat atau ditawan oleh sesuatu kebenaran seperti itu, dia tidak dapat mengayakan “No” (or Yes) yang didasarkan atas rasio-rasio. Kemungkinan untuk menolak tidak ada. Dengan kata lain, dia telah “dicabut” dari kemungkinan untuk menolak. Semacam ada suatu heteronomy baru merasuki manusia dalam bentuk “being” atau “power” atau apa pun yang menyatakan atau menyingkapkan “kebenaran dalam dirinya”. Kebenaran menjadi esoteris dalam manfaat kepada publik. Alasannya adalah bahwa “truthfulness” yang disamakan dengan kebenaran (truth) membawa konsekuensi mengidentifikasi rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan, rasionalitas teknis (Ibid. hlm 92-93). Postmodernisme memang menentang suatu pembunuhan rasionalitas tujuan dengan “kembali” atau dengan menampakkan pada kekuatan-kekuatan irrasionalitas. Kemudian, ketika rasionalitas dibatasi secara peyoratif pada rasionalitas tujuan, suatu “truth event” mendapatkan elemen-elemen “mistis”. Bagi Habermas, sebagai suatu konsep kebenaran, hal itu diragukan dalam suatu komunitas rasionalitas. Ketika kebenaran diatributkan (disifatkan/dilengkapi) pada suatu pengalaman tentang revelasi, kebenaran tidak mungkin lagi untuk mengkritisi suatu rasional tujuan atau klaim teknis atas kebenaran. Semua pemikir postmodern mengkritisi subject yang dengan pertolongan rasionalitas meyakini dirinya sendiri dalam suatu cara objectif dan instrumentalis atas dunia fenomena. Satu-satunya jalan keluar dari rasionalitas instrumental itu, dengan mana subject mengendalikan dunia, ditemukan dalam “truth events” dari suatu reuni mistis dengan beberapa kekuatan extra-rasional (menurut Habermas, Jacques Derrida juga ingin melepaskan beban berat’subjec phillosopy’. Dia juga menolak kebenaran sebagai ‘truth events’. Akan tetapi analisa Derrida atas retorika mempunyai efek yang subversive dan anarkis. Tulis Habermas: “Derrida stands closer to the anarchist wish to explode the continuum of history than to the authoritarian admonition to bend before destiny”.Lih. De Roest, H., Ibid.hlm.93). Itu berarti para postmodernis tidak bisa meninggalkan rasio (Ibid.hlm 93-94).Pembebasan itu merupakan jalan keluar, meninggalkan rasionalitas teknis disamping rentan pada kritik rasional.Habermas melihat jalan keluar semacam itu hanyalah permulaan ketika kita menggeser paradigma dari subyek sebagai “central point” referensi kepada bahasa sebagai suatu “starting point” untuk suatu teori rasionalitas. Kritik rasional untuk mendapatkan suatu kekuatan argumentative, menemukan suatu “ambang pintu” untuk masuk dalam suatu rasionalitas komunikatif yang memiliki daya potensial kritis.
Keempat, menolak konsep kebenaran yang merupakan hasil paduan dua klaim validitas. Kebenaran dipadukan dengan kebenaran normative. Ini jelas dalam sistem-teoritisian, seperti N. Luhmann. Tindakan-tindakan instrumental atau tujuan, dikendalikan oleh pengharapan-pengharapan teknis dan didasarkan atas peraturan teknis, yang disamakan dengan tindakan-tindakan sosial yang dikendalikan oleh norma-norma yang valid. Pengalaman-pengalaman tentang dunia factual tidak dibedakan dari tindakan-tindakan dalam dunia sosial. Karena itu, kebenaran dari suatu pernyataan atau suatu eksplanasi dan kebenaran suatu norma yang legitim hanya diukur oleh fungsi-fungsi di mana fungsi itu terekomendasi dalam sistem yang kokoh.Tindakan-tindakan yang dikendalikan secara normative dan hal ini tidak lain hanyalah memperkuat sistem yang ada. Bagi Habermas, kebenaran suatu norma menunjukkan bahwa norma harus valid, tetapi seperti suatu validitas yang tidak berhubungan dengan validitas kebenaran. Kebenaran tidak dapat dipahami sebagai suatu hubungan antara, di satu pihak, suatu kekuasaan dan dilain pihak suatu inneridentity, seperti suatu pemenuhan kebutuhan alamiah di mana perlu untuk pemeliharaan sistem biologis.
Kelima, konsep kebenaran yang disamakan dengan klaim validitas tentang “kedapatdimengertian”(understandability). Konsep kebenaran seperti ini disebut konsep kebenaran analitis juga ditolak Habermas.Suatu konsep kebenaran di mana konsep kebenaran disamakan dengan kedapatdimengertian kondisi-kondisi kebenaran suatu pernyataan yang dibatasi oleh kaidah-kaidah aplikasi pernyataan-pernyataan linguistik dalam pernyataan. Ketika seseorang betul-betul memahami, dia menyangka memiliki kompetensi pada bentuk kalimat-kalimat dengan mengikuti kaidah-kaidah yang benar secara gramatikal dan fonetis. Dia menguasai suatu bahasa. Karena itu, kebenaran analitis paling banter dapat dipertimbangkan menjadi suatu jenis khus dari “kedapatdimengertian” yang dihubungkan dengan kalimat-kalimat yang dibangun secara formal (Ibid hlm.94).