BUMI KITA RUMAH KITA
(SEBUAH DUKUNGAN DISELENGGARAKANNYA UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) DI NUSA DUA-BALI 03 S.D. 14 DESEMBER 2007).
Masalah pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), rupanya menjadi sebuah persoalan global yang menghantui masyarakat dunia. Bahkan isu tersebut, menurut pernyataan yang dirilis PBB, telah berkembang menjadi persoalan pembangunan dan ekonomi yang sangat gawat dan tidak berhenti lagi sebatas persoalan lingkungan hidup. Pernyataan yang serupa pernah disampaikan oleh Richard Kinley, wakil Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena alasan inilah, maka PBB menyelenggarakan konferensi internasional ini di Bali yang diharapkan mampu menggalang kesadaran masyarakat global untuk berupaya sedemikian rupa untuk aktif berperan dalam menanggulangi makin meningkatnya pemanasan global dan menyadarkan negara-negara tertentu yang keberadaan hutannya mulai berkurang. Tentunya ini merupakan salah satu upaya dunia internasional yang patut kita beri dukungan.
Dibalik tujuan tegas dari penyelenggaraan konferensi internasional itu sebenarnya juga tersimpan sebuah kesadaran bahwa kesimbangan ekologis sangat diperlukan bila manusia dan anak cucunya ingin hidup dengan layak di dunia ini. Lahirnya kesadaran seperti itu sebenarnya dipicu juga oleh kenyataan bahwa segala daya upaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya, di satu sisi dapat mendongkrak kesejahteraan taraf hidup yang diharapkan, tetapi di sisi lain usaha tersebut justru mengancam kesejahteraan yang sedang atau sudah diperjuangkan.
Dari pengalaman faktual kita tidak memungkiri bahwa kehidupan manusia semakin makmur dan sejahtera. Namun demikian usaha pemakmuran itu justru merongrong mutu lingkungan, tempat manusia hidup.Degradasi kualitas lingkungan hidup itu sudang barang tentu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dan keselamatan kehidupan manusia dan mahluk lainnya dalam banyak sektor dan bentuknya. Pembabatan hutan, eksploitasi mineral dari dalam maupun permukaan bumi merupakan persoalan besar bagi bangsa-bangsa yang menjadikan industrialisasi sebagai cara dalam meningkatkan perekonomian negara. Keperkasaan kapitalisme modern yang menegakkan industrialisasi mengakibatkan kerusakan dan kehancuran aneka sumber hayati, pencemaran udara, suara, air dan darat. Keperkasaan kapitalisme ini dapat kita temukan pada kasus Lapindo Brantas dan penebangan dan pembabatan liar di negara kita tercinta ini.
Berbagai sumber telah mengungkap bahwa unsure kimia karbondioksida (CO2) diudara semakin meningkat, kadar oksigen (O2) makin menurun, lapisan Ozon (O3) semakin rusak, erosi berambah, hutan hujan primer dan hutan tropis mengalami kerusakan dalam skala yang besar. Seiring dengan rusaknya hutan, punah juga jutaan bahkan puluhan juta spesies flora dan fauna. Belum pemakainan senjata nuklir yang juga turut andil dalam memperparah kerusakan lingkungan hidup, disamping racun dan kematian bagi manusia. Sementara di sisi lain, institusi lain yang konsen terhadap isu konservasi alam, tidak mampu menegakkan ketentuan hukum yang seharusnya diberlakukan. Bahkan kita bisa menengok kasus terakhir terkait Adelin Lies yang melibatkan Departemen Kehutanan sebagai institusi yang harus bertanggung-jawab. Dari seluruh urain di atas, akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa manusia dan organisme lainnya terancam. Alasan yang sangat fundamental ini tentu juga menjadi salah satu point yang digaris-bawahi oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa isu global ini tidak hanya bisa/harus ditangani oleh seorang ekolog atau seorang Biolog, tetapi juga harus melibatkan seluruh komponen masyarakat dunia di seputar sektor kehidupan mereka tanpa pandang bulu. Lebih lanjut, konferensi ini tentunya juga diharapkan mampu menghasilkan penggerak-penggerak local yang akan menyadarkan masyarakat setempat pentingnya sebuah kesadaran bahwa industrialisasi dan kapitalisme modern akan berdampak buruk terhadap lingkungan dimana manusia dan mahluk lainnya hidup dan berlindung. Mempertahankan prinsip bumi kita adalah rumah kita dan menghindari kontradiksi “rumah” sekaligus “menyeramkan” dan “membahayakan”.
Beberapa tinjauan/perspektif penting yang memicu terjadinya eksploitasi manusia terhadap alam akan saya sampaikan, berikut sekilas rekonstruksi yang saya tawarkan:
1. Perspektif Antroposentris
Dalam perspektif ini, manusia menempatkan diri sebagai otoritas yang berkuasa untuk membuat statement yang mengatakan bahwa manusia adalah yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Manusia adalah pusan dan tujuan akhir dari alam semesta. Nilai-nilai manusia adalah pusat yang memungkinkan semesta alam menjalankan fungsinya dan alam semesta menopang nilai-nilai manusia itu.
2. Perspektif Antroposentrisme Kristiani-Barat (Religius)
Manusia dijadikan satu-satunya factor paling berkuasa dengan menempatkan diri pada puncak hierarki/piramida ciptaan. Ciptaan lain dipandang tidak berhak sebagai penentu, termasuk semesta seisinya. Manusialah satu-satunya yang memiliki privelege. Di luar manusia akan dilihat sebagai yang tidak bernilai apabila keberadaannya tidak memberi kontribusi bagi manusia. Manusialah sang penentu nilai bagi yang lainnya.Dan dalam hal superioritas manusia terhadap alam semesta ini, kristianitas turut terlibat di dalamnya, terlepas pernyataan Moltmann yang menyatakan bahwa kristianitas adalah pelopor kemajuan dan perkembangan kultur termasuk ilmu pengetahuan.Karena dorongan Kitab Suci, kristianitas berlaku angkuh terhadap semesta alam. Kristianitas mengacu Kej 1:28 “Allah memberkati Adam, dan bersabda, taklukkanlah dan berkuasalah atas ikan, dan semua hewan di bumi”, dan menjadikannya legitimasi religius bagi manusia Kristen untuk menguasai dan menundukkan semesta. Alam menjadi benda asing yang sah untuk dieksploitasi atas nama manusia.Ayat di atas ditrapkan tanpa mempertanyakan validitasnya dan ditrima sebagai “unquestioned truth”.
3. Perspektif Filosofis
Kalo perspektif antroposentrisme Kristiani-Barat legitimasi diterima dari manusia dari Kitab Suci sebagai “unquestioned truth”, tetapi perspektif filosofis lebih memandang akal budi sebagai dasar yang dijadikan legitimasi.Tetapi dalam perjalanan kedua perspektif akan saling menguatkan. Akal budi yang tidak dimiliki mahluk ciptaan lainnya. Konsekuensinya, semesta alam dan mahluk lainnya akan dilihat sebagai benda di luar manusia,sesuatu yang lain (other).Yang lain itu akhirnya harus dikontrol dan ditahlukkan untuk memenuhi hasrat dari nafsu serakah manusia. Sadar akan kekuatan alam yang besar, dan bisa menjadi ancaman manusia, juga menjadi inspirasi bagi manusia untuk menciptakan ilmu dan teknologi untuk menguasai semesta. Di sinilah era kejayaan rasio, jaman ilmiah di mana seluruh pemikiran kita didominasi unsur-unsur rasio. Di luar rasio, primitif, tidak logis, out of date, dan tidak modern.
Usulan Rekonstruksi
Melihat bumi yang adalah “rumah/ tempat tinggal kita” akan hancur berantakan dalam waktu yang singkat, tentu bukanlah hal yang kita harapkan. Bumi tidak akan rusak/hancur mengandaikan kita beritikad baik untuk merubah tingkah laku, pola pandang, pemahaman, orientasi ilmu pengetahuan , teknologi, dan pembangunan ekonomi. Langkah preventif untuk mengurangi kehancuran ekologis yaitu dengan menempuh langkah-langkah teoritis guna merevisi konsep pengetahuan dan teknologi, pemahaman-pemahaman religius, filsafat, teologi, orientasi pembangunan, dan kependudukan.
Manusia harus mengambil bagian dalam eksistensi alam semesta secara keseluruhan.Manusia seharusnya jangan menempatkan/memposisikan dirinya sebagai ‘sentrum’ ciptaan. Tendensi manusia untuk membongkar dan menguasai semesta alam harus dirubah menjadi visi yang merawat dan menyayangi alam semesta. Ini merupakan transformasi manusia dalam menempatan diri dalam tatanan alam. Manusia menempatkan diri berada ‘diantara’ dan bukan di “puncak” ciptaan. Manusia harus menyadari bahwa dia hanyalah satu dimensi dari alam semesta. Manusia tetap memakai alam, tetapi untuk memanfaat dan melestarikannya, bukan untuk merusak dan mengeksploitasinya. Kesadaran bahwa alam juga memiliki nilai instrinsik di dalam dirinya, bisa menggerakkan diri tanpa campur tangan manusia, harus dibangkitkan.
Manusia religius juga harus belajar rendah hati untuk mendapatkan kesalehan batin untuk menghormati alam. Hanya dengan kerendahan hati, manusia akan mampu menerima nilai instrinsik yang ada dalam alam semesta. Akhirnya alam tidak dipandang lagi sebagai object demi kerakusan manusia. Kaum religius harus menemukan ‘mutiara’ yang banyak tersimpan dalam dogma dan doktrin yang mengandung semangat ekologis.Kebajikan religius menerima bahwa Tuhanlah prinsip dasar segala sesuatu. Terdapat energi kreatif yang menggerakkan semesta alam, yang tidak lain Tuhanlah namanya. I a menjadi kekuatan dibalik peristiwa dan proses jagad raya ini. Tuhan bukan pencipta yang kemudian pergi, tetapi Dia pencipta yang akan selalu menyertai. Dia ada dalam kosmos dan kosmos tinggal di dalam Dia (panentheisme). Segala sesuatu bukan Allah, tetapi segala sesuatu ada dalam Allah dan Allah ada dalam segala sesuatu (istilah yang berbeda dengan pantheisme).
Paradigma yang pembangunan yang cenderung mengabaikan lingkungan dirubah menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development),yaitu mencukupi kebutuhan sendiri saat ini tanpa mengurangi generasi yang akan muncul dalam memenuhi kebutuhannya ‘ jo srakah’.Manusia sah memanfaatkan alam untuk kemajuan ekonominya, tetapi harus dibarengi upaya konservasi. Manusia sah membangun sejauh tidak merenggut hak generasi lain. Di sini diperlukan konsep Amdal (Analisis Dampak Lingkungan).
Hal-hal di atas saya sampaikan tentunya tanpa maksud untuk mengabaikan langkah-langkah praktis yang juga dituntut. Tetapi mengatasi langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan, urain-urain di atas kiranya dapat membantu kita memahami dan memungkinkan kita untuk meletakkan persoalan yang ada pada porsi yang semestinya. Akhirnya, masalah ini harus kita lihat sebagai masalah yang pelik dan multidimensional. Studi lintas sektoral, baik budaya, demografis, biologi, sosiologi,ekonomi, psikologi, iptek,hukum, politik, filsafat, etika dan juga agama. Studi ini tentunya bukan hanya sebatas wacana saja yang dimunculkan, tetapi harus mengacu pada praktik konkrit dalam sekup hidup kita. Harapan yang sama pun bagi united nations Framework Convention on Climate change dengan isu pemanasan global (globel warming) dan perubahan iklimnya (climate change) yang sebentar lagi akan di gelar di Bali dengan peserta yang kurang lebih sebanyak 189 negara anggota PBB.