Jumat, 30 November 2007

Isu Ekologi Global


BUMI KITA RUMAH KITA

(SEBUAH DUKUNGAN DISELENGGARAKANNYA UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) DI NUSA DUA-BALI 03 S.D. 14 DESEMBER 2007).

Masalah pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), rupanya menjadi sebuah persoalan global yang menghantui masyarakat dunia. Bahkan isu tersebut, menurut pernyataan yang dirilis PBB, telah berkembang menjadi persoalan pembangunan dan ekonomi yang sangat gawat dan tidak berhenti lagi sebatas persoalan lingkungan hidup. Pernyataan yang serupa pernah disampaikan oleh Richard Kinley, wakil Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena alasan inilah, maka PBB menyelenggarakan konferensi internasional ini di Bali yang diharapkan mampu menggalang kesadaran masyarakat global untuk berupaya sedemikian rupa untuk aktif berperan dalam menanggulangi makin meningkatnya pemanasan global dan menyadarkan negara-negara tertentu yang keberadaan hutannya mulai berkurang. Tentunya ini merupakan salah satu upaya dunia internasional yang patut kita beri dukungan.

Dibalik tujuan tegas dari penyelenggaraan konferensi internasional itu sebenarnya juga tersimpan sebuah kesadaran bahwa kesimbangan ekologis sangat diperlukan bila manusia dan anak cucunya ingin hidup dengan layak di dunia ini. Lahirnya kesadaran seperti itu sebenarnya dipicu juga oleh kenyataan bahwa segala daya upaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya, di satu sisi dapat mendongkrak kesejahteraan taraf hidup yang diharapkan, tetapi di sisi lain usaha tersebut justru mengancam kesejahteraan yang sedang atau sudah diperjuangkan.

Dari pengalaman faktual kita tidak memungkiri bahwa kehidupan manusia semakin makmur dan sejahtera. Namun demikian usaha pemakmuran itu justru merongrong mutu lingkungan, tempat manusia hidup.Degradasi kualitas lingkungan hidup itu sudang barang tentu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dan keselamatan kehidupan manusia dan mahluk lainnya dalam banyak sektor dan bentuknya. Pembabatan hutan, eksploitasi mineral dari dalam maupun permukaan bumi merupakan persoalan besar bagi bangsa-bangsa yang menjadikan industrialisasi sebagai cara dalam meningkatkan perekonomian negara. Keperkasaan kapitalisme modern yang menegakkan industrialisasi mengakibatkan kerusakan dan kehancuran aneka sumber hayati, pencemaran udara, suara, air dan darat. Keperkasaan kapitalisme ini dapat kita temukan pada kasus Lapindo Brantas dan penebangan dan pembabatan liar di negara kita tercinta ini.

Berbagai sumber telah mengungkap bahwa unsure kimia karbondioksida (CO2) diudara semakin meningkat, kadar oksigen (O2) makin menurun, lapisan Ozon (O3) semakin rusak, erosi berambah, hutan hujan primer dan hutan tropis mengalami kerusakan dalam skala yang besar. Seiring dengan rusaknya hutan, punah juga jutaan bahkan puluhan juta spesies flora dan fauna. Belum pemakainan senjata nuklir yang juga turut andil dalam memperparah kerusakan lingkungan hidup, disamping racun dan kematian bagi manusia. Sementara di sisi lain, institusi lain yang konsen terhadap isu konservasi alam, tidak mampu menegakkan ketentuan hukum yang seharusnya diberlakukan. Bahkan kita bisa menengok kasus terakhir terkait Adelin Lies yang melibatkan Departemen Kehutanan sebagai institusi yang harus bertanggung-jawab. Dari seluruh urain di atas, akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa manusia dan organisme lainnya terancam. Alasan yang sangat fundamental ini tentu juga menjadi salah satu point yang digaris-bawahi oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa isu global ini tidak hanya bisa/harus ditangani oleh seorang ekolog atau seorang Biolog, tetapi juga harus melibatkan seluruh komponen masyarakat dunia di seputar sektor kehidupan mereka tanpa pandang bulu. Lebih lanjut, konferensi ini tentunya juga diharapkan mampu menghasilkan penggerak-penggerak local yang akan menyadarkan masyarakat setempat pentingnya sebuah kesadaran bahwa industrialisasi dan kapitalisme modern akan berdampak buruk terhadap lingkungan dimana manusia dan mahluk lainnya hidup dan berlindung. Mempertahankan prinsip bumi kita adalah rumah kita dan menghindari kontradiksi “rumah” sekaligus “menyeramkan” dan “membahayakan”.

Beberapa tinjauan/perspektif penting yang memicu terjadinya eksploitasi manusia terhadap alam akan saya sampaikan, berikut sekilas rekonstruksi yang saya tawarkan:

1. Perspektif Antroposentris

Dalam perspektif ini, manusia menempatkan diri sebagai otoritas yang berkuasa untuk membuat statement yang mengatakan bahwa manusia adalah yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Manusia adalah pusan dan tujuan akhir dari alam semesta. Nilai-nilai manusia adalah pusat yang memungkinkan semesta alam menjalankan fungsinya dan alam semesta menopang nilai-nilai manusia itu.

2. Perspektif Antroposentrisme Kristiani-Barat (Religius)

Manusia dijadikan satu-satunya factor paling berkuasa dengan menempatkan diri pada puncak hierarki/piramida ciptaan. Ciptaan lain dipandang tidak berhak sebagai penentu, termasuk semesta seisinya. Manusialah satu-satunya yang memiliki privelege. Di luar manusia akan dilihat sebagai yang tidak bernilai apabila keberadaannya tidak memberi kontribusi bagi manusia. Manusialah sang penentu nilai bagi yang lainnya.Dan dalam hal superioritas manusia terhadap alam semesta ini, kristianitas turut terlibat di dalamnya, terlepas pernyataan Moltmann yang menyatakan bahwa kristianitas adalah pelopor kemajuan dan perkembangan kultur termasuk ilmu pengetahuan.Karena dorongan Kitab Suci, kristianitas berlaku angkuh terhadap semesta alam. Kristianitas mengacu Kej 1:28 “Allah memberkati Adam, dan bersabda, taklukkanlah dan berkuasalah atas ikan, dan semua hewan di bumi”, dan menjadikannya legitimasi religius bagi manusia Kristen untuk menguasai dan menundukkan semesta. Alam menjadi benda asing yang sah untuk dieksploitasi atas nama manusia.Ayat di atas ditrapkan tanpa mempertanyakan validitasnya dan ditrima sebagai “unquestioned truth”.

3. Perspektif Filosofis

Kalo perspektif antroposentrisme Kristiani-Barat legitimasi diterima dari manusia dari Kitab Suci sebagai “unquestioned truth”, tetapi perspektif filosofis lebih memandang akal budi sebagai dasar yang dijadikan legitimasi.Tetapi dalam perjalanan kedua perspektif akan saling menguatkan. Akal budi yang tidak dimiliki mahluk ciptaan lainnya. Konsekuensinya, semesta alam dan mahluk lainnya akan dilihat sebagai benda di luar manusia,sesuatu yang lain (other).Yang lain itu akhirnya harus dikontrol dan ditahlukkan untuk memenuhi hasrat dari nafsu serakah manusia. Sadar akan kekuatan alam yang besar, dan bisa menjadi ancaman manusia, juga menjadi inspirasi bagi manusia untuk menciptakan ilmu dan teknologi untuk menguasai semesta. Di sinilah era kejayaan rasio, jaman ilmiah di mana seluruh pemikiran kita didominasi unsur-unsur rasio. Di luar rasio, primitif, tidak logis, out of date, dan tidak modern.

Usulan Rekonstruksi

Melihat bumi yang adalah “rumah/ tempat tinggal kita” akan hancur berantakan dalam waktu yang singkat, tentu bukanlah hal yang kita harapkan. Bumi tidak akan rusak/hancur mengandaikan kita beritikad baik untuk merubah tingkah laku, pola pandang, pemahaman, orientasi ilmu pengetahuan , teknologi, dan pembangunan ekonomi. Langkah preventif untuk mengurangi kehancuran ekologis yaitu dengan menempuh langkah-langkah teoritis guna merevisi konsep pengetahuan dan teknologi, pemahaman-pemahaman religius, filsafat, teologi, orientasi pembangunan, dan kependudukan.

Manusia harus mengambil bagian dalam eksistensi alam semesta secara keseluruhan.Manusia seharusnya jangan menempatkan/memposisikan dirinya sebagai ‘sentrum’ ciptaan. Tendensi manusia untuk membongkar dan menguasai semesta alam harus dirubah menjadi visi yang merawat dan menyayangi alam semesta. Ini merupakan transformasi manusia dalam menempatan diri dalam tatanan alam. Manusia menempatkan diri berada ‘diantara’ dan bukan di “puncak” ciptaan. Manusia harus menyadari bahwa dia hanyalah satu dimensi dari alam semesta. Manusia tetap memakai alam, tetapi untuk memanfaat dan melestarikannya, bukan untuk merusak dan mengeksploitasinya. Kesadaran bahwa alam juga memiliki nilai instrinsik di dalam dirinya, bisa menggerakkan diri tanpa campur tangan manusia, harus dibangkitkan.

Manusia religius juga harus belajar rendah hati untuk mendapatkan kesalehan batin untuk menghormati alam. Hanya dengan kerendahan hati, manusia akan mampu menerima nilai instrinsik yang ada dalam alam semesta. Akhirnya alam tidak dipandang lagi sebagai object demi kerakusan manusia. Kaum religius harus menemukan ‘mutiara’ yang banyak tersimpan dalam dogma dan doktrin yang mengandung semangat ekologis.Kebajikan religius menerima bahwa Tuhanlah prinsip dasar segala sesuatu. Terdapat energi kreatif yang menggerakkan semesta alam, yang tidak lain Tuhanlah namanya. I a menjadi kekuatan dibalik peristiwa dan proses jagad raya ini. Tuhan bukan pencipta yang kemudian pergi, tetapi Dia pencipta yang akan selalu menyertai. Dia ada dalam kosmos dan kosmos tinggal di dalam Dia (panentheisme). Segala sesuatu bukan Allah, tetapi segala sesuatu ada dalam Allah dan Allah ada dalam segala sesuatu (istilah yang berbeda dengan pantheisme).

Paradigma yang pembangunan yang cenderung mengabaikan lingkungan dirubah menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development),yaitu mencukupi kebutuhan sendiri saat ini tanpa mengurangi generasi yang akan muncul dalam memenuhi kebutuhannya ‘ jo srakah’.Manusia sah memanfaatkan alam untuk kemajuan ekonominya, tetapi harus dibarengi upaya konservasi. Manusia sah membangun sejauh tidak merenggut hak generasi lain. Di sini diperlukan konsep Amdal (Analisis Dampak Lingkungan).

Hal-hal di atas saya sampaikan tentunya tanpa maksud untuk mengabaikan langkah-langkah praktis yang juga dituntut. Tetapi mengatasi langkah-langkah praktis yang dapat kita lakukan, urain-urain di atas kiranya dapat membantu kita memahami dan memungkinkan kita untuk meletakkan persoalan yang ada pada porsi yang semestinya. Akhirnya, masalah ini harus kita lihat sebagai masalah yang pelik dan multidimensional. Studi lintas sektoral, baik budaya, demografis, biologi, sosiologi,ekonomi, psikologi, iptek,hukum, politik, filsafat, etika dan juga agama. Studi ini tentunya bukan hanya sebatas wacana saja yang dimunculkan, tetapi harus mengacu pada praktik konkrit dalam sekup hidup kita. Harapan yang sama pun bagi united nations Framework Convention on Climate change dengan isu pemanasan global (globel warming) dan perubahan iklimnya (climate change) yang sebentar lagi akan di gelar di Bali dengan peserta yang kurang lebih sebanyak 189 negara anggota PBB.

Kamis, 29 November 2007

Cerpen


SANG JUBAH PUTIH DARI PUNCAK GUNUNG LAWU

Sementara lalu lalang orang disekeliling rumahku mulai berkurang, rembulan malam pun sudah merayap tepat di atas kepalaku. Lambat laun keadaan disekelilingku pun akhirnya berubah menjadi sepi dan sunyi. Sesekali hanyalah kedengaran sayup-sayup gemercik air dan suara hempasan pintu kamar dari tetangga sebelah yang turut membangkitkan kesadaranku bahwa malam makin larut. Namun apalah dayaku, mataku tiada mau terpejamkan kendati kesunyian malam sudah turun menyelimuti muka bumi dan dinginnya udara malam pun semakin dalam menusuk tulang-tulangku. Aku menengadah ke atas memandang rembulan sambil mendesah :’’Oh Tuhan, betapa Engkau Maha Kuasa dan segala sesuatu terjadi seturut kehendakMu”. Sejenak aku sempat kagum, diam dan tertegun betapa Tuhan Maha Kuasa dan kekuasaannya mengatasi segala akal dan pikiran manusia. Berbagai macam peristiwa dan pengalaman masa lalu pun akhirnya menyusul dan bermunculan silih berganti, mondar-madir, lalu lalang seolah menuntut perhatian dariku. Akhirnya pun aku tertarik untuk sejenak mengenang kisah perjumpaanku dengan seorang aki-aki berjubah putih yang misterius.

Waktu itu, kira-kira Februari 2001, aku sedang mengerjakan tugas akhirku di sebuah universitas ternama di Kota Bandung untuk program sarjana. Susah payah, belajar kuat untuk mengumpulkan bahan yang sesuai untuk skripsiku dan bekerja keras untuk mendapatkan suntikan dana buat biaya foto copy, buat bayar rental dan buat cetak hasil akhir sekripsiku.Badanku semakin kurus, wajahku kusut dan pandangan mataku kelihatan sayu. Tetapi aku harus selesai tepat pada waktunya dan mendapatkan nilai A, itu yang menjadi tekatku. Sangat susah aku bayangkan, andaikata aku harus mengulang kuliahku lagi hanya lantaran skripsi yang tidak bisa aku selesaikan. Tidak, aku tidak mau itu terjadi denganku. Aku harus selesai tepat pada waktunya. Kalo perlu, siang akan aku jadikan malam, dan malam pun akan aku jadikan siang. Tetapi syukurlah, aku tidak tinggal sendirian melainkan bertiga dalam bilik sempit rumah kost-kosanku. Kami terpaksa tidur hanya menggelar tikar tipis, ditengah-tengah ketakutan masuk angin dan serangan paru-paru basah. Kami sudah semacam saudara sendiri akhirnya. Suka dialami bersama dan dalam duka pun kami tetap bersatu, seia dan sekata.Keakraban seperti inilah yang akhirnya dapat aku harapkan pada saat-saat aku memerlukan bantuan seperti saat ini. Kalaupun mereka tidak punya ide, mereka bisa ngebantuin saya dalam penerjemahan bahan atau mengetik bahan,misalnya. Singkatnya, ada pertolongan yang bisa aku harap dari mereka. Yah, solidaritas mahasiswa miskin saja sebenarnya.

Di siang hari yang terik, aku pergi ke salah satu rental komputer untuk mengedit seluruh hasil ketikan skripsiku yang keesokan harinya harus disidangkan di kampus. Tetapi malang tidak dapat ditolak, untung pun tidak dapat diraih. Seluruh file skripsiku rupanya telah diacak-acak jenis virus yang ngetren waktu itu: hiden virus dan mr. king of kong. Aku sedemikian rupa berupaya untuk memperbaikinya. Tapi apa boleh buat, lihat komputer saja baru di rental, boro-boro mampu memperbaiki data yang sudah kocar-kacir seperti itu. Ahirnya aku dengan rasa letih diiringi perasaan kuatir dan takut melangkah dengan gontai kembali ke kamar kost. Tidak ada yang menghiburku selain sebatang rokok temanku yang kebetulan tergeletak di atas meja kecil. Tanpa minta ijin sebelumnya, rokok itu pun aku ambil dan aku nyalakan. Aku berharap agar sebatang rokok itu mampu mengusir rasa penat di dalam hati dan pikiranku. Seperti itulah yang akhirnya terjadi. Otot-otot syarafku yang tadinya tegang, seiring dengan tarikan dan kepulan asap dari dalam mulutku akhirnya berhasil mengendur. Dan rasa kantuk pun akhirnya datang menjemputku. Membawaku dalam buaian istirahat siang yang menyegarkan.

Aku menemukan diriku berada di kaki sebuah gunung yang aku sendiri tidak pernah tahu sebelumnya. Gunung itu menjulang tinggi dan menghijau permai dengan puncaknya yang mengeluarkan kepulan asap putih. Terlihat olehku sesosok aki-aki renta dengan postur tubuh yang tampak masih tegak berdiri, berpakaian putih, berjenggot putih, mengenakan ikat kepala berwarna keabu-abuan dan bertongkatkan kayu hutan hitam sedang berjalan dengan enteng menuruni kaki gunung serasa hendak menghampiriku. Tetapi dugaanku meleset karena secara tiba-tiba aki renta itu berbalik menaiki kaki kembali ke arah puncak gunung dengan kecepatan yang mustahil untuk orang sebayanya. Aku terpana memandangnya dan begitu tersentak dari keterpanaanku, aku tergerak untuk mengejarnya. Aku berlarian seolah sedang mengejar seribu bayang di sela-sela lebatnya pepohonan hutan. Aku berlari dan terus berlari sambil memasang mata liar untuk mendeteksi udah sampai di mana dan ke arah mana aki-aki renta itu berjalan. Sejenak aku kehilangan jejak dan sambil terengah-engah kuhampiri sebuah batu hitam besar yang sedang menelungkup tidak jauh dari tempatku berdiri. Aduh, capeknya tidak ketulungan hanya penasaran ingin tahu lebih tentang aki-aki yang pernah aku lihat di kaki gunung tadi. Kini aku terdiam, kehilangan arah dan jejak, aku menyerah dan terasa tidak mungkin lagi untuk melanjutkan pengejaran ini lagi.

Tetapi secara tiba-tiba, aku kaget dan tersentak karena sesosok aki-aki yang sekarang sedang berkecamuk di hati dan pikiranku, yang baru-baru saja aku kejar dan udah raib dari pandanganku, tampak berdiri tidak jauh dari batu tempat aku terduduk kehabisan daya, tenaga dan upaya untuk mengejarnya. “Hai Cucuku, kenapa kamu mengikutiku? Kamu tidak akan mampu”, sapa aki renta itu kepadaku. “Ohhh, Eyang ini siapa?”. Mendengar pertanyaanku aki itu tersenyum, menengadah ke atas ke arah puncak Gunung itu, sambil mengelus jenggotnya yang udah memutih seleher panjangnya. “Aki ini siapa berani-beraninya sendirian di tempat seperti ini?”, aku coba bertanya sekali lagi. Tetapi hanya seulas senyuman yang ramah yang aku dapatkan. Aku bingung dengan sikap aki itu dihadapanku, sementara aku ingin sekali mengetahuinya lebih lanjut. Tetapi tiba-tiba aki itu berkata: “ Cucuku, sekalipun baru pertama kali kita bertemu, jauh hari sebelumnya aku sebenarnya sudah tahu kamu dan sebaliknya jauh hari sebelumnya pun kamu pun juga udah tahu dan kenal sama eyang ini, bahkan hal yang sama pun sudah diketahui para leluhurmu”. “Benarkah apa yang Eyang katakan itu?”, tanyaku lagi. Aki itu hanya tersenyum sambil berjalan mendekatiku dengan sebatang tongkat kayu hutan hitam yang erat dipegang di tangan kanannya. Dan sementara aku melihat dia berjalan menghampiriku, akupun berdiri seolah mau menyambut kedatangannya.

Suasana sekitar pun terasa sunyi , hanya kicauan burung-burung hutan saja yang kedengaran bersahut-sahutan. Kami berdua pun sempat tertegun dan saling pandang seolah kami sibuk dengan pikiran kita masing-masing. Sampai suatu ketika aki-aki itu buka suara : “ Cucuku, tidak usah kuatir. Percaya saja sama Eyang tidak akan pernah terjadi apa-apa denganmu. Kalau pun ada hal yang terjadi, itu semata-mata kehendak Sang Yang Widhi Wasa. Dan apa yang terjadi itu baik adanya buat kamu. Hidup tidak selamanya lancar seperti yang kita harapkan. Kerikil dan bebatuan kerapkali kita temui ditengah-tengah perjalanan kita untuk sampai pada yang kita tuju. Jangan takut, Eyang selalu bersamamu”. Kemudian pandangannya tertuju pada tongkat kayu hitamnya, dan dengan tangan-tangannya yang lembut dia mengangkat tongkat itu tepat di depanku, seolah mau memberikan barang itu kepadaku. “ Cucuku, Eyang hanya memiliki sebuah tongkat kayu hitam yang tidak berharga ini. Terima dan ambillah, siapa tahu bermanfaat buat kamu nantinya”, kata aki itu kepadaku. Tanpa berpikir panjang, aku pun menerimanya.Dan belum habis kebingunganku dengan barang yang sudah saya terima, aku dikejutkan dengan raibnya aki dari hadapan dan pandanganku. Bersamaan dengan itu, aku pun terbangun dari nyenyak tidur siangku.

“Hi, mana tongkat pemberian aki tadi?”, kalimat pertamaku sambil sibuk mengusap kedua mata dengan tanganku. “Ohh, rupaya aku barusan mimpi, mimpi tentang aki-aki berjubah putih”, begitu gumamku. Kemudian aku segera bangkit dan melangkah ke kamar mandi untuk sejenak mencuci mukaku. Sesudahnya aku berniat ke rental lagi dengan maksud untuk berusaha memperbaiki data-data skripsiku yang hancur lebur dan porak poranda itu. Mungkin ini usaha untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya aku menyerah dan angkat tangan. Selang kurang lebih sepuluh menit, aku pun sampai di tempat rental komputer dan mulailah aku mencoba mengutak-atiknya. “Aduh Mas, bagaimana ya, dataku dihancurkan oleh virus. Sudah aku coba dari tadi aku tidak bisa memperbaikinya”, keluhku. “ Ya udah kalo gitu Mas, biar saya coba bantu kalo diijinkan”, kata salah seorang yang mengaku lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komputer terkenal di Bandung itu.. “ Oh, tentu Mas…dengan senang hati”, jawabku. Setelah berkenalan dan ngobrol ke sana ke mari, dia pun sibuk memperbaiki data-dataku yang sudah kocar-kacir. Sementara dia bekerja, saya duduk sedikit di belakangnya dengan pandangan mata takjub melihat kelincahan jari-jarinya yang meliuk-liuk di atas keyboard komputer. Kira-kira waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

“ Oouw…hidden verus, mr. King of kong!”, seru dia setelah mengetahui penyebab hancurnya fail-failku. “Kira-kira bisa diselamatkan tidak, Mas ya?”, tanyaku padanya. “Bisa saja sih, hanya butuh waktu. Ngak apa-apa kan?”, kilahnya. “Ooh, ngak apa-apa Mas. Aku yang seharusnya berterima kasih karena Mas mau meluangkan waktu untuk memperbaiki data-data skripsiku yang sudah porak-poranda itu”. “Yah, ini juga kebetulan saja Mas, saya lagi ada di sini lagian aku lagi ngak ada kerjaan sekarang”, sambungnya. Begitulah kami berdua ngobrol ke sana ke mari tanpa mengurangi kecermatan dan kecepatan jari-jarinya menyusun kalimat per kalimat menjadi seperti semula. Waktu pun terus berjalan dan tanpa kami sadari, arah jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Hingga pada akhirnya seluruh data skripsiku dapat tersusun pulih seperti sedia kala. “Oke terima kasih banyak Mas ya…,ngak tahu jadinyalah kalo Mas tidak menolong saya. Bisa jadi besok aku tidak bisa ikutan sidang”, ucapku. “Ok sama-sama Mas, kudoain dech sidangnya sukses dan dapat nilai yang bagus”, sambungnya. Kemudian aku bermaksud memberikan sebungkus rokok marllboro kepadanya tetapi dia menolak menerimanya.

Kurang lebih waktu itu sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB sewaktu aku tiba kosku. Aduh, syukurlah…perjuanganku akhirnya membuahkan hasil. Besok akhirnya aku siap ikutan sidang skripsi. Hanya satu lagi yang terlintas dalam pikiranku, esok aku harus mendapatkan nilai A agar setimpal dengan perjuangan dan kekuatiranku selama ini. Aku bangga dan aku merasa lega dan akhirnya semuanya bisa berjalan sukses seperti yang aku rencanakan. Begitulah, akhirnya aku semacam terbebas dari himpitan yang selama ini menekanku. Dan rasa bebasku itulah yang waktu itu menghantarku dalam buaian istirahat malamku, sampai mentari esok hari kan datang menjemputku. Sidang skripsiku pun akhirnya berhasil aku lalui dengan baik dan tanpa perlawanan yang berarti dari dosen-dosen pengujiku. Aku hanya pegang satu prinsip saja waktu itu, aku yang buat dan akulah yang tahu, mereka (dosen-dosen) tidak tahu. Dengan prinsip ini aku berhasil membangkitkan rasa optimisme dalam diriku. Setidak-tidaknya rasa optimisme yang muncul itu mampu menghalau rasa grogi/minder pada saat berhadapan dengan dosen-dosen penguji. Alhamdullilah, harapanku tercapai dan mimpiku menjadi kenyataan. Begitu hasil sidang diumumkan, aku mendapatkan diriku memperoleh nilai A.

Pengalaman itu terasa membekas dalam sanubariku. Terutama pada saat-saat tertentu seperti sekarang ini, rasanya kenangan itu tetaplah menjadi sebuah kenangan hidup dan yang terpatri dalam sanubariku. Pengalaman yang susah untuk dilupakan, dan yang manis untuk dikenangkan. Suka dan dukaku, perjuanganku, prestasiku dan petualanganku kehadiran tokoh aki-aki berjubah putih yang turut berperan serta menghidupkan kisahku ini. Pengalaman ini akhirnya akan tetap mewarnai kisah hidupku. Keakrabanku dengan keindahan alam Gunung Lawu berikut kisah dan mitosnya, akhirnya mendorongku untuk selalu mengatakan bahwa aki-aki renta berjubah putih itu adalah Eyang Lawu, Sang Jubah Putih dari Puncak Gunung Lawu.

“cukurukukkkkk….cukurukukkkk, cukurukukkk….”, ayam jantan pun mulai berkokok, sahut menyahut mengidungkan madah pagi bagi semesta alam. Bahkan rembulan di atas kepalaku pun kini telah bergerak menggapai dedaunan pohon pisang di padang dataran sana. Huhahahemmmm, hari rupanya sudah pagi, aku mulai ngantuk. Aku harus cepat pergi tidur, waktu istirahatku tinggal dua jam lagi. Tetapi meskipun begitu, aku akan tetap pergi tidur dan aku akan selalu berharap agar dapat berjumpa kembali dengan Sang Jubah Putih Dari Puncak Gunung Lawu, kendati dalam istirahatku yang sangat singkat sekali pun.

Selasa, 27 November 2007


PANCANAKA SANG BIMA

Oleh: Ant.Dwi Wahyudi

Wujudku hanyalah seonggok mayat beraroma bau busuk dan penuhdengan belatung. Menjadi hancur dan membaur dengan tanah, hanyalah harapan yang sudah terlupakan. Dipungut dari kegelapan, ketersembunyian dan keterasingan adalah hal yang mustahil.Akumayat tetaplah mayat, aku beraroma busuk tetaplah busuk, berbelatung akan tetap berbelatung. Aku mayat yang sudah tidakmampu lagi berbuat, aku mayat yang udah tidak ingin lagi meratap. Aku mayat, hanya boleh kamu lihat dan aku mayat, silahkan sajakamu berbuat tentang apa yang kamu lihat bahwa aku menjadi mayat.

Aku kan bercerita tentang perilakumu dulu kepadaku yang biadab, yang melampaui batas-bata moral-susila dan perikemanusiaan. Kamu yang memperkosa, kamu yang merusak, kamu yang jahat, kamu yang biadab, kamu yang durhaka, penuh tipu-muslihat dan kamu yang khianat. Karena kamu memperkosa jadilah aku mayat, kamu merusak jadilah aku mayat, kamu berbuat jahat jadilah aku mayat, kamu berbuat biadab jadilah aku mayat, kamu menjalankan tipu dan muslihat jadilah aku mayat, kamu durhaka jadilah aku mayat, dan karena kamu berkhianat maka jadilah aku mayat. Kamu, kamu dan karena kamu sehingga aku jadi mayat.

Sementara masa laluku menceritakan bahwa kepadaku diberikan kuku pancanaka. Kuku pancanaka dari Hutan Mandalasara, milik seorang bayi bungkus yang oleh Dewi Kunti diberi nama Bima. Begini dikisahkan kepadaku, putra Dewi Kunti yang merupakan buah cipta Bathara Bhayu dilahirkan dalam wujud bayi bungkus yang sangat liat. Kurang lebih di bulan yang ke delapan, bayi itu diletakkan di Hutan Mandalasara. Para jawara, pendita, brahmana yang sakti mandra guna tidak kuasa untuk membuka bungkusan itu. Alkisah, di kahyangan ada Gajah Setu Seno yang giat ulah tapa dan mati raga agar Dewata mengizinkannya masuk ke dalam surga manusia.Ia adalah anak dari Gajah Setu Bandha hewan tunggangan Bathara Indra. Dewata akan mengabulkan permohonannya dengan satu syarat bahwa ia harus menolong anak bayi bungkus dalam Hutan Mandalasara. Pada saat bungkusan berusia kurang lebih 12 tahun, Gajah Setu Seno datang merobek bungkusan tersebut dengan gadingnya yang kuat dan sakti mandra guna. Di dalam bungkusan itu ternyata ada seorang bocah besar dan sedemikian rupa berusaha untuk mematahkan gading Gajah Setu Seto ketika masuk ke dalam bungkusan. Kejadian ajaib terjadi, kedua gading gajah menyatu dengan kedua jempol dan berubah menjadi kuku yang runcing, tajam dan panjang.Kuku itulah yang tadi aku bilang sebagai kuku pancanaka yang pernah diberikan kepadaku.

Sekarang pancanaka entah kemana. Tak seorang manusia pun yang aku temukan memegang pancanaka.Yah, saya ingat pancanaka sempat aku tarik dan aku lempar sekuat tenagaku. Aku berharap ada manusia yang menemukannya, menggunakannya dan mencintainya. Aku tidak ingin pancanaka aku bawa sampai ajalku tiba; sementara aku lihat kamu mulai memperkosa, mulai merusak,mulai jahat, mulai durhaka, mulai biadab dan khianat. Ooh, pancanaka, mungkinkah ujud asal sudah lenyap-musna dimakan karat dan ngengat. Tidak pancanaka, selagi mayatku tetap utuh, masih tetap beraroma busuk dan tetap dikerubuti belatung, mustahil pancanaka lenyap-musna dimakan karat dan ngengat. Selama manusia tetap saja melakukanpemerkosaan, tetap saja masih hobi merusak kehidupan, tetap saja berbuat jahat dan tidak berlaku adil, tetap saja durhaka, bertindak biadab dan khianat, mustahil pancanaka hilang. Tidak, Oooh tidak! Andai wujud pancanaka harus lenyap-musna dimakan karat dan ngengat, setidaknya sukma pancanaka harus tetap ada.

Hai kamu, dengarkan aku…pancanaka adalah kelima tuntunan. Pancanaka pertama pengendalian nafsu untuk tidak membunuh. Pancanaka kedua pengendalian nafsu serakah/murka. Pancnaka ketiga pengendalian nafsu seks. Pancanaka keempat pengendalian nafsu kesenangan indrawi. Dan pancanaka kelima pengendalian nafsu untuk mencuri/merugikan orang lain. Aku mayat, hanya boleh kamu lihat dan aku mayat, silahkan kamu berbuat tentang apa yang kamu lihat bahwa aku menjadi mayat. Lihatlah aku mayat dan carilah pancanaka, kenakanlah dan sayangilah kalo kamu ingin hidup selamat. Aku terlanjur menjadi mayat, tetapi sekalipun aku mayat, aku tetap berharap kamu mau melihat bahwa aku telah menjadi mayat.


Kamis, 22 November 2007

My transcripts

MENGENAL ANUGERAH TERINDAH BAWAAN LAHIR
Oleh: A. Dwi Wahyudi

“walau masih dalam keadaan terpendam, tersembunyi dan belum berkembang, benih keagungan, kedahsyatan dan keajaiban sudah ditanam dalam diri kita. Ada bakat, ada kemampuan, ada hak istimewa ada kecerdasan serta kesempatan yang kita terima sebagai anugerah menabjubkan yang kita miliki sejak lahir”


Terkait cuplikan kalimat di atas, semua orang tentunya sependapat untuk mengatakan bahwa bayi merupakan ciptaan yang sangat tergantung pada orang lain ‘ibunya’, tetapi keajaiban terjadi dan dalam beberapa tahun saja, sang bayi akan menjelma menjadi mahluk yang kuat dan cerdas. Ini terjadi karena ada anugerah bawaan sejak lahir, yang apabila kita latih dan kita manfaatkan, semakin banyak bakat yang kita dapatkan dan semakin kuatlah kemampuan kita.


Ada 3 (tiga) anugerah yang paling penting, ada yang sudah kita buka, tetapi masih banyak yang belum kita buka, yaitu:


1. Kebebasan dan kemampuan kita untuk memilih

Kita sebagai pribadi adalah hasil dari pilihan-pilihan kita, bukan alam “gen”, atau pola asuhan “didikan,lingkungan”. Memang gen dan didikan kerapkali berpengaruh juga, tetapi tidak menentukan. Yang menentukan adalah pilihan kita sendiri berdasarkan nilai-nilai. Karena hakikat menjadi manusia apabila kita mampu mengarahkan hidup kita sendiri. Ini adalah anugerah yang terbesar yang memungkinkan anugerah-anugerah yang lain dapat kita terima. Ini juga yang memungkinkan kita mengangkat hidup ini ke tingkat yang semakin tinggi.


2. Hukum-hukum alam/prinsip-prinsip universal yang tidak berubah

Hukum alam, seperti rasa hormat,kejujuran, kebaikan hati, integritas, pelayanan dan keadilan, menentukan akibat dari pilihan-pilihan kita.Hukum alam bersifat impersonal, factual, objectif dan tidak dapat diperdebatkan. Berbagai akibat atau konsekuensi ditentukan oleh prinsip; perilaku ditentukan oleh nilai: karena itu hargailah prinsip-prinsip itu.


3. Kecerdasan kita/kemampuan kodrat kita

a. Kecerdasan Fisik ( Physical Quotient)

Tanpa kita perintah, tubuh kita menjalankan sistem pernafasan, sistem syaraf, dan sistem-sistem vital lainnya yang memungkinkan kita bertahan hidup.Tubuh kita laksana tangan-tangan cerdas gurita yang bergerak siang malam tanpa henti dan tiada tertandingi.

b. Kecerdasan Mental (Intelligence Quotient)

Kemampuan untuk menganalisis, berfikir dan menemukan hubungan sebab-akibat, berfikir abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu dan memahami sesuatu.

c. Kecerdasan Emosional ( Emotional Quotient)

Pengetahuan mengenai diri, kepekaan sosial, empati dan berkomunikasi baik dengan orang lain, kepekaan mengenai waktu yang tepat, kepatutan secara sosial, keberanian mengakui kelemahan serta mengakui perbedaan. Kecerdasan emosional dianggap lebih kreatif, tempat intuisi,pengindraan dan bersifat holistic dan menyeluruh. Penggabungan antara kecerdasan mental (IQ)yang lebih logis dengan kecerdasan emosional (EQ) yang lebih bersifat perasaan/penginderaan akan menciptakan keseimbangan,penilaian dan kebijaksanaan yang lebih baik.

d. Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Kecerdasan spiritual adalah pusat dan yang paling fundamental di antara kecerdasan yang lainnya, karena kecerdasan ini menjadi arah ‘kompas’ bagi kecerdasan yang lainnya.Kecerdasan spiritual membantu kita mencerna dan memahami prinsip-prinsip sejati,mewakili kerinduan kita akan makna dan hubungan dengan Yang Tak Terbatas.


Memfokuskan diri dalam upaya memanfaatkan dan melatih anugerah terbesar bawaan lahir itu sedemikian rupa, akan membuat hidup kita amat kuat dan damai sejahtera. Nampak sederhana dan mudah di tangkap akal sehat tentunya. Tetapi apa yang sudah diketahui oleh akal sehat, tentunya bukan jaminan juga bahwa sesuatu itu sudah banyak dipraktikkan. Sementara harus kita sadari, riset telah membuktikan bahwa ketidak-mampuan seseorang mengatur dirinya secara efisien akan menimbulkan penuaan dini, penurunan kecerdasan mental, dan bahkan menutup akses kecerdasan yang ada dalam diri kita. Dan yang sebaliknya juga berlaku, bila secara internal semakin padu, sistem fisiologis seseorang akan semakin efisien dan dia akan semakin kreatif, adaftif, luwes, berkepribadian matang, dan memiliki tingkat spiritual keagaamaan yang baik.


Bibliografi

Covey, Stephen R., The 8th Habit, Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Hall,C.S.,& Lindzey, G.,Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, Kanisius,1993.