Jumat, 25 Januari 2008

MEMILIH UNTUK TIDAK MENJADI PEMARAH



Amarah tidak dapat disangkal merupakan masalah bagi semua orang. Kapanpun dan di manapun dia siap datang dan menyergap. Wajah kita merah tegang, kening mengernyit, mata melotot, mulut berteriak dan berceracau, jantung berdetak, tangan gemetar dan telapak tangan mengepal, saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Saat kita bekerja di perusahaan pun, kita kerap kali mendengarkan bagaimana bos mencaci dan mengumpat ‘tai-lah, anjing-lah, keparat-lah, goblok-lah, tolol-lah’. Juga diantara karyawan pun kerap terjadi saling gesek dan gosok, yang kemudian berakhir saling tendang, adu tonjok dan adu jotos. Bahkan melampaui dua kondisi di atas, beberapa peristiwa tragis yang pernah terjadi dapat kita sebutkan di sini, diantaranya: seorang pemuda menghabisi nyawa sebuah keluarga, ibu tega membunuh tiga anaknya, ibu menikam suaminya, suami membunuh istrinya, anak didik menikam gurunya, dan masih banyak kasus tragis lainnya, yang kesemuanya tentu kita sepakat bahwa amarah-lah yang menjadi biang keladinya. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang lain yang dapat kita buat selain melampiaskan kemarahan kita dengan mengumpat, memukul, melempar benda, membanting pintu, berdiam diri,merasa jengkel, dendam, benci dan kecewa saat terjadi sesuatu yang menyulut amarah? Memang, amarah adalah sebuah pilihan, pilihan yang buruk, sementara banyak pilihan baik yang ditawarkan kepada kita.

Beberapa teks Kitab Suci dapat kita jadikan refrensi untuk memahami amarah, sebelum kita sampai pada beberapa alternatif preventif yang dapat kita kerjakan:

Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh (Pengkhotbah 37:8).

Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan (Amsal 15:18)

Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan pemarah, supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri (Amsal 22:24-25).

Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran (Amsal 10:12).

Hai Saudara-Saudari yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1:19-20).

Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu (Kolose 3:8).

Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa mengumpat adalah orang bebal (Amsal 16:32).

Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketentraman, daripada makan daging serumah disertai dengan perbantahan (Amsal 17:1)

Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu (Mazmur 37:8).

Orang yang tidak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya (Amsal 25:28).

Teks-teks di atas lebih mengacu pada kemarahan manusiawi; yang tidak terkendali dan raibnya kesabaran, yang bersumber dari kebencian, kedengkian dan kejengkelan, sebagai pengugkapan kekecewaan dan untuk membinasakan orang lain, egois dan berperilaku destruktif, bermaksud untuk memutus hubungan dan melukai, pelanggaran terhadap diri sendiri dan pada mereka yang menentang kehendak kita. Kemarahan manusiawi semacam itulah yang berbanding terbalik dengan kemarahan Allah; terkendali dan bertujuan, tanpa kebencian, tanpa kedengkian atau tanpa kejengkelan, tidak egois, sebagai ungkapan kepedulian, untuk memperbaiki atau membatasi, terhadap ketidak adilan dan bukan untuk memutuskan serta mengacu pada setiap ketidak-patuhan yang disengaja. Dengan demikian, dalam konteks inilah kita diajar untuk tidak gampang mengatakan bahwa kemarahan kita adalah kemarahan yang membangun. Kita mesti berhati-hati jangan sampai istilah ‘kemarahan yang membangun’ justru akan menjadi ladang subur bagi nafsu egoisme dan amarah kita.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah alternatif preventif semacam apa yang dapat menguatkan kehendak kita untuk memilih tidak menjadi pemarah, sehingga kita tidak setiap kali harus jatuh ke dalam lembah amarah yang tidak berujung. Ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian serius kita semua:

  1. Belajar menertibkan pikiran kita

Amzal 10:19 mengatakan: “ makin banyak berbicara, makin banyak kemungkinan berdosa; orang yang dapat mengendalikan lidahnya adalah bijaksana”. Orang Jawa bilang: “Ojo waton njeplak”. Artinya jangan asal bunyi “asbun”. Mempertimbangkan segala sesuatunya, dampak dari omongan kita, menjadi factor penting yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum berbicara. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk, yang kurang enak, yang akhirnya kita sesali, lantaran perkataan yang kita keluarkan tampa pemikiran yang matang.

  1. Belajar mengutarakan ‘ganjalan’ yang masih tertinggal kepada orang yang tepat dan jangan menundanya lebih lama.

Bahwa celakalah apabila kanker ganas yang kita derita, kita biarkan dan tidak kunjung kita obati. Sama halnya dengan kemarahan, semakin kita timbun, maka akan semakin berpotensi menimbulkan letupan yang lebih jahat dan ganas. Maka melatih diri untuk tidak menarik diri dan menutup mulut dari persoalan yang kita hadapi jauh lebih bijaksana. Dengan menutup mulut dan menarik diri dari masalah yang kita hadapi, bukanlah jaminan bahwa masalah itu akan keluar dari diri kita.” Kalau kalian marah janganlah kemarahan itu menyebabkan kalian berdosa . Jangan marah sepanjang hari, supaya Iblis tidak mendapat kesempatan” (Efesus 4:26-27).

  1. Belajar menerima teguran,cacian dan tamparan daripada dihancurkan oleh pujian.

‘Orang yang tidak mau dididik menjadi miskin dan hina; orang yang mengindahkan nasihat akan dihormati (Amsal 13:18). ABS ‘Asal Bapak Senang’ menjadi sebuah istilah yang popular di kalangan kita yang sebenarnya mencerminkan bahwa ada kecenderungan untuk mengemas sesuatu yang sebenarnya tidak/kurang layak biar seolah-olah menjadi layak sehingga menyenangkan atasan. Budaya ‘membungkus’, budaya ‘seolah-olah’, adalah tipuan yang sangat menghancurkan. Ok beres, oke aman dan terkendali, sementara kenyataannya kacau dan semrawut. Dalam konteks ini, akan jauh lebih baik kalo kondisi sebenarnya yang kacau dan semrawut disampaikan apa adanya sehingga dapat dicari alternatif solusi untuk mengatasinya. Maka, di sinilah perlunya kita terbuka pada teguran, dan tidak melulu berharap pada pujian terus menerus yang dalam batas-batas tertentu justru dapat menghancurkan kita. “Teguran orang arif kepada orang yang mau mendengarnya, seperti cincin emas atau perhiasan kencana (Amsal 25:12).

  1. Belajar mengungkapkan harapan-harapan yang ingin orang lain lakukan

Dalam hal ini, sandi tidak cukup, bahasa verbal yang dituntut. “Ngomong dong, siapa yang tahu kalo ngak ngomong?”, begitu kurang lebih kalimat yang sering kita dengar. Bicara bahwa saya tidak suka orang lain membicarakan topik tertetu yang saya tidak mau, itu jauh lebih baik dibandingkan kita memaksakan diri untuk mendengarkan sementara hati kita sebenarnya tak mau. Terus terang akan apa yang kita harapkan orang lain mengerjakannya, itu intinya. Berbagilah perihal masalah kita dengan orang yang kita rasa tepat, sehingga kasusnya tidak kronis dan berubah menjadi letupan-letupan emosional.

  1. Belajar menghadapi masalah yang muncul dan lupakan masa lalu.

Kerapkali penyakit yang muncul ‘mengungkit-ungkit masa lalu’. ‘Wah, dulu dia begitu, sekarang dia berbuat begitu lagi’, keluh seseorang. Yang dulu lupakan, dan hadapi masalah yang sekarang saja. Kita focus pada masalah sekarang yang kita hadapi, masa lalu hanya akan mengaburkan persoalan yang sekarang dan masa lalu hanya akan menjadi pertanda bahwa persoalan yang sekarang kurang kuat.

  1. Hindari situasi menang dan kalah.

Dalam banyak kasus, kita tidak selalu dihadapkan pada kenyataan kalah atau menang. Misalnya dalam dunia olah raga, kadang hanya kita temukan istilah kedudukan seimbang. Atau dalam sebuah perkara di pengadilan, tidak ada yang kalah dan juga tidak ada yang menang, dg kata lain mereka menemuh jalur kompromi. Demikian untuk persoalan yang kita hadapi, bukan soal kalah atau menang pertama-tama, tetapi solusi atas masalah yang kita hadapi itu yang perlu dipecahkan bersama.

  1. Belajar menyadari bahwa ini persoalan yang serius

Hilangkan kecenderungan untuk bergurau tidak pada tempatnya. Bergurau pada saat yang tepat akan tampak jenaka, tetapi bergurau tidak pada tempatnya bisa berakibat bencana. Kita banyak belajar dari kasus yang ada, bahwa bergurau yang berlebihan justru membuat persoalan meruncing. Kita maunya bergurau, tetapi apakah orang lain mau kita ajak bergurau. Mau atau tidaknya bukan tergantung dari kwalitas guraan saja, tetapi juga akan ditentukan oleh karakter seseorang, situasi dan kondisi yang juga akan turut mempengaruhi.

  1. Jangan membesar-besarkan masalah yang ada

Melihat dan membahas masalah yang ada secara proporsional, ini kuncinya. Tindakan membesar-besarkan masalah hanya akan membuat persoalan semakin bias dan hanya akan meninggalkan benang kusut yang tidak akan pernah terurai. Mengetahui kasus secara persis akan sangat membantu kita untuk menyampaikan suatu persoalan secara porposional. Belum tentu apa yang kita dengar, seperti itu kebenaran kasus yang terjadi. “Ojo antem kromo”, kata orang Jawa.

  1. Belajar mengemukakan keluhan seobyektif mungkin

Jangan membiasakan diri untuk langsung datang dan memaki-maki. Belajar menginventaris rasa kecewa, kepedihan dan keluhan lebih bijaksana. Baru kemudian sampaikanlah dengan tetap memegang itikad yang baik. Inventarisasi apa yang harus kita sampaikan pun akan membantu kita focus pada persoalan yang ada.

  1. Carilah jalan keluar yang terbaik

Berkutat terus menerus dengan perasaan tidak enak, tertekan dan kecewa tanpa ada upaya untuk mencari solusinya sebenarnya hanyalah membuang-buang energi yang besar. Sayang, energi harus kita buang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menghasilkan seseatu pun bagi kita selain kehancuran. Adalah lebih baik, energi yang ada kita pergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat; bermanfaat untuk kita, masyarakat, dan dalam konteks besar bangsa dan negara ini.

  1. Belajar mendengar dan beri kesempatan lawan untuk berbicara

Penyakit yang sering menghinggapi kita sering kali ketidak-mauan kita untuk sejenak mendengarkan orang lain. Ironisnya, kita cenderung memaksa orang lain untuk mengikuti perkataan dan harapan kita. Sungguh kecenderungan yang sangat tidak terpuji. Padahal, hanya dengan mendengarkan orang lain bicara, di situ kita akan mengetahui kenapa dia berbuat seperti itu sehingga menjadikan kita paham dengan kasus yang ada. Dengan mendengar mungkin kita juga akan sampai pada kesadaran bahwa ternyata dalam kasus ini hayalah salah pengertian.

Dengan alternatif-preventif seperti di atas, kita akan mampu menempatkan sebuah persoalan pada tempatnya dengan ukuran yang proporsional dan dari sudut pandang yang obyektif. Dalam terang keseluruhan bahwa menjadi panggilan kita untuk mencintai sesama sebagaimana Tuhan mencintai kita.

Tidak ada komentar: