Kamis, 09 Oktober 2008

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman tentang Kebenaran


1.3 Teori tentang Kebenaran

Sebelum kita sampai pada teori kebenarannya, terlebih dahulu kita menelusuri klaim-klaim validitas kebenaran yang ditolak oleh Habermas.
1.3.1 Klaim-klaim Validitas yang Tidak Adequat
Berkaitan dengan klaim-klaim validitas Habermas dengan gigih menolak konsep kebenaran yang metafisik maupun konsep kebenaran yang positivistic. Konsep kebenaran metafisik berawal dari munculnya pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani yang menimbulkan demitologi pemikiran mitis. Melalui ungkapan-ungkapan filosofis, sang filsuf selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan tentang keapaan realitas. Dan apa yang disebut realitas itu tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Apa yang dilakukannya adalah dengan cara kembali kepada dirinya yang memandang kosmos tersebut melalui cara ‘kontemplasi’. Di sana diharapkan ditemukan kepastian mendasar atau kesesuaian dirinya dengan tertib alam semesta itu.Kemudian apa yang disebut teori dalam pemikiran filosofis adalah suatu ‘kontemplasi atas kosmos’.Dengan mengartikan teori seperti itu, Filsafat telah menarik batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang menyebabkan lahirnya ontology dalam sejarah pemikiran manusia(Budi Harddiman,F.Kritik Ideologi.Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,Yogyakarta,Kanisius,1990,hlm.21). Melalui teori, filsuf menyusun konsep-konsep tentang apa-nya realitas dan apa yang disebut hakikat realitas tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan-rumusan yang tak berubah-ubah,yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio sendiri. Maka tugas manusia hanyalah mengingat kembali apa-apa yang menjadi apriori di dalam rasionya, yakni idea-idea. Bagi Habermas, pemikiran seperti ini semakin menjadi ‘dimutlakkan’ dalam filsafat kesadaran, yakni dalam filsafat modern maupun ilmu-ilmu sosial yang diturunkannya; di mana telah dirintis oleh Rene Descartes.Dalam filsafat kesadaran, pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu disebut pengetahuan transcendental karena mengatasi pengetahuan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistoris. Filsafat kesadaran ini bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objectivitas murni. Tugas pokok filsafat di sini adalahmencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme) dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (representasionalisme). Filsafat kesadaran ini, bagi Habermas, merupakan filsafat yang berpusat pada subjek atau rasio yang berpusat pada subject.Dasar segala pengetahuan diperoleh dengan cara kembali kepada subject yang mengetahui itu sendiri yang dipahami secara psikologis maupun transcendental. Itu berarti bahwa realitas dibayangkan sebagai “realitas luar”. Bagi Habermas,pemikiran seperti ini menyempitkan dan membatasi rasionalitas dlam pernyataan logis atau tidak logis, sfisien atau inefisien. Konsep tentang kebenaran pun akhirnya hanya terbatas pada pernyataan logis-tidak logisnya. Konsep kebenaran semacam itu, bagi Habermas sebagai konsep kebenaran yang metafisik. Konsep kebenaran yang metafisik disebutnya sebagai konsep kebenaran yang ‘kabur’ di mana tiga klaim validitas belum dibedakan secara substansial. Benar, tepat, dan lengkap atau utuh digabungkan atau disamakan begitu saja. Dalam konsep-konsep pokoknya, aspek-aspek ‘ada’, ‘syarat’, dan ‘rasa’ masih merupakan satu keseluruhan. Dorongan-dorongan subjektif manusia terpangkas dan tereduksi ke dalam rasio melalui syarat-syarat yang ditentukan oleh rasio itu sendiri. Demikian ‘ada’ direduksi menjadi ada menurut rasio. Bagi Habermas,rasio yang berpusat pada subyek ini tersimpan dan terpelihara kekuasaan. Tanpa disadari sang pemikir sendiri, pembersihan dari dorongan-dorongan subjektif manusia, tak lain dari pelaksanaan kepentingannya sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekan kepentingan demi mencapai pengetahuan murni.
Sedangkan konsep kebenaran yang posivistik disebutnya sebagai konsep yang lemah. Konsep kebenaran yang positivistic ini sebetulnya sudah muncul dalam pemikiran Aristiteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Baginya, pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris.Pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsure-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsure-unsur itu sehingga dari yang particular diperoleh yang universal.Untuk melakukan abstraksi ini pun, manusia harus membersihkan diri dari unsure-unsur yang berubah-ubah. Pemikiran seperti ini menampakkan diri kembali dalam filsafat modern yang beraliran empirisme. Penganut-penganut aliran empirisme, seperti Hobbe, Locke, Barkeley, dan Hume, beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya lewat pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori. Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri pada pengalaman. Bagi Habermas, pemikiran empiris analitis ini tidak bisa melepaskan diri ontology karena nampak dalam keyakinan bahwa teori murni diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan manusia. Dari arus filsafat inilah positivisme yang dirintis oleh August Comte itu lahir. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih, yakni pengetahuan yang berdasarkan fakta objektif. Maka, ini pun tak lepas dari ontologi.

Konsep kebenaran positivistic ini tidak mengakui “relasi-kebenaran” (truth-relationship), atau relasi antara rasionalitas normative (etis) dan persoalan-persoalan ekspresif. Konsep kebenaran ini hanya bisa ditetapkan dalam diskursus teoretis, dalam mana hanya mengedepankan debat rasional, argumen-argumen. Konsep positivistis ini sama sekali membatasi jarak rasionalitas. Positivisme menyempitkan dan membatasi wilayah rasional dengan mereduksinya pada deskripsi-deskripsi dan eksplanasi-eksplanasi (Ibid, hlm.91). Akibatnya, pengetahuan yang yang dihasilkan tidak dapat diterapkan pada masalah-masalah yang disebabkan oleh suatu tindakan komunikatif yang terdistorsi. Pola-pola yang ditampilkan secara secara empiris hanya dapat dipakai untuk membuat ramalan-ramalan, melukiskan kondisi-kondisi, karena pola-pola tersebut hanya bisa ditransformasikan ke dalam rekomendasi teknis sehingga mengarah kepada makna-makna rasional-tujuan. Ketika ilmu pengetahuan sosial menganut sikap positivistis ini, ilmu pengetahuan sosial itu akan mengandung tiga pengandaian yang saling berkaitan (Budi Hardiman,F., Op.Cit, hlm.24).Pertama, bahwa prosedure-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat berlangsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusiawi, tidak mengganggu objeck pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini, objeck pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk ‘hukum-hukum’, seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu alam bersifat netral, bebas, dari nilai. Bagi Habermas, hal tersebut membawa konsekuensi bahwa ilmu sosial akhirnya menjadi ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengontrol masyarakat secara rasional, seperti alam. Seperti suatu “Teknologi Sosial”, ilmu pengetahuan sosial itu tidak dapat diharapkan untuk pembaharuan terhadap suatu consensus sosial yang terdistorsi.

Menurut penganut positivisme, kita hanya dapat bertindak secara rasional ketika kita menata masyarakat kita atau instusi-institusi sosial kita dengan berdasar pada rekomendasi teknis. Lebih lanjut, Habermas mengatakan bahwa manusia akan kehilangan kemungkinan untuk mencerahkan dirinya. Mereka akan kehilangan identitasnya, baik kolektif maupun individual. Masalah-masalah sosial tidak dapat dipecahkan dalam suatu cara teknis. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan identitas tidak dapat dijawab atau dicerahkan dengan pendekatan empiris saja. Identitas menunjukkan suatu proses, di mana identitas berkembang, mengalami kekacauan, ‘runtuh’, dan bangkit kembali. Proses itu tidak irasional. Komponen-komponen identitas yang normative (evaluatif) dan ekspresif merupakan “batas-kebenaran” dalam pengertian bahwa klaim-klaim validitasnya dapat dipertanggung-jawabkan dengan pemikiran atau rasio.
Ketiga, konsep kebenaran yang tidak diakui oleh Habermas, yakni konsep postmodernis. Konsep kebenaran yang didasarkan atas suatu paduan yang tidak adequate terhadap dua klaim validitas. Kebenaran (truth) yang dipadukan ke dalam kepenuh-kebenaran (truthfulness). Kebenaran (truth) dipahami sebagai ‘event’, di mana kebenaran menyingkapkan dirinya sendiri kepada subyek yang ‘attentive’ (penuh perhatian). Subyek yang penuh perhatian itu diubah oleh tanggapan kepada suatu “truth-event” yang “menarik” dan “mempesona”.Ketika suatu “event” dialami sebagai suatu revelasi kebenaran, bagaimanapun juga, pengalaman yang otentik bisa terjadi. Itu berarti otentisitas pengalaman tidak berarti sesuatu yang berhubungan denga “the truth-calibre”, “kualitas kebenaran” dari suatu pernyataan yang didasarkan atas pengalaman itu. “Truthfullness” merupakansuatu klaim validitas yang hanya menunjukkan bahwa seseorang sesungguhnya mengartikan apa yang dia nyatakan. Seseorang itu benar (truthfull) ketika tidak menyesatkan dirinya sendiri atau orang lain dengan pernyataannya. Kita tidak dapat memahami “truthfullness” sebagai suatu relasi-kebenaran (truth-relationship), dalam mana pernyataan dihubungkan dengan “inner entity” dari suatu pengalaman. Konsekuensinya, ketika seseorang berada dalam suatu pengalaman, dia tidak dapat membuat pernyataan-pernyataan tentang ‘inner life-nya’, bahwa kita dapat menilai benar atau tidak benar. Kita hanya dapat menilai tindakan-tindakannya, apakah dia secara sungguh-sungguh memaknai apa yang dia katakana. Kalau kebenaran tentang “being” itu memanifestasikan dirinya sendiri, sebagai yang dikatakan Heidegger dan pemikir-pemikir postmodernis, kebenaran itu hanya bisa dinyatakan secara naratif. Ketika seseorang dipikat atau ditawan oleh sesuatu kebenaran seperti itu, dia tidak dapat mengayakan “No” (or Yes) yang didasarkan atas rasio-rasio. Kemungkinan untuk menolak tidak ada. Dengan kata lain, dia telah “dicabut” dari kemungkinan untuk menolak. Semacam ada suatu heteronomy baru merasuki manusia dalam bentuk “being” atau “power” atau apa pun yang menyatakan atau menyingkapkan “kebenaran dalam dirinya”. Kebenaran menjadi esoteris dalam manfaat kepada publik. Alasannya adalah bahwa “truthfulness” yang disamakan dengan kebenaran (truth) membawa konsekuensi mengidentifikasi rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan, rasionalitas teknis (Ibid. hlm 92-93). Postmodernisme memang menentang suatu pembunuhan rasionalitas tujuan dengan “kembali” atau dengan menampakkan pada kekuatan-kekuatan irrasionalitas. Kemudian, ketika rasionalitas dibatasi secara peyoratif pada rasionalitas tujuan, suatu “truth event” mendapatkan elemen-elemen “mistis”. Bagi Habermas, sebagai suatu konsep kebenaran, hal itu diragukan dalam suatu komunitas rasionalitas. Ketika kebenaran diatributkan (disifatkan/dilengkapi) pada suatu pengalaman tentang revelasi, kebenaran tidak mungkin lagi untuk mengkritisi suatu rasional tujuan atau klaim teknis atas kebenaran. Semua pemikir postmodern mengkritisi subject yang dengan pertolongan rasionalitas meyakini dirinya sendiri dalam suatu cara objectif dan instrumentalis atas dunia fenomena. Satu-satunya jalan keluar dari rasionalitas instrumental itu, dengan mana subject mengendalikan dunia, ditemukan dalam “truth events” dari suatu reuni mistis dengan beberapa kekuatan extra-rasional (menurut Habermas, Jacques Derrida juga ingin melepaskan beban berat’subjec phillosopy’. Dia juga menolak kebenaran sebagai ‘truth events’. Akan tetapi analisa Derrida atas retorika mempunyai efek yang subversive dan anarkis. Tulis Habermas: “Derrida stands closer to the anarchist wish to explode the continuum of history than to the authoritarian admonition to bend before destiny”.Lih. De Roest, H., Ibid.hlm.93). Itu berarti para postmodernis tidak bisa meninggalkan rasio (Ibid.hlm 93-94).Pembebasan itu merupakan jalan keluar, meninggalkan rasionalitas teknis disamping rentan pada kritik rasional.Habermas melihat jalan keluar semacam itu hanyalah permulaan ketika kita menggeser paradigma dari subyek sebagai “central point” referensi kepada bahasa sebagai suatu “starting point” untuk suatu teori rasionalitas. Kritik rasional untuk mendapatkan suatu kekuatan argumentative, menemukan suatu “ambang pintu” untuk masuk dalam suatu rasionalitas komunikatif yang memiliki daya potensial kritis.
Keempat, menolak konsep kebenaran yang merupakan hasil paduan dua klaim validitas. Kebenaran dipadukan dengan kebenaran normative. Ini jelas dalam sistem-teoritisian, seperti N. Luhmann. Tindakan-tindakan instrumental atau tujuan, dikendalikan oleh pengharapan-pengharapan teknis dan didasarkan atas peraturan teknis, yang disamakan dengan tindakan-tindakan sosial yang dikendalikan oleh norma-norma yang valid. Pengalaman-pengalaman tentang dunia factual tidak dibedakan dari tindakan-tindakan dalam dunia sosial. Karena itu, kebenaran dari suatu pernyataan atau suatu eksplanasi dan kebenaran suatu norma yang legitim hanya diukur oleh fungsi-fungsi di mana fungsi itu terekomendasi dalam sistem yang kokoh.Tindakan-tindakan yang dikendalikan secara normative dan hal ini tidak lain hanyalah memperkuat sistem yang ada. Bagi Habermas, kebenaran suatu norma menunjukkan bahwa norma harus valid, tetapi seperti suatu validitas yang tidak berhubungan dengan validitas kebenaran. Kebenaran tidak dapat dipahami sebagai suatu hubungan antara, di satu pihak, suatu kekuasaan dan dilain pihak suatu inneridentity, seperti suatu pemenuhan kebutuhan alamiah di mana perlu untuk pemeliharaan sistem biologis.
Kelima, konsep kebenaran yang disamakan dengan klaim validitas tentang “kedapatdimengertian”(understandability). Konsep kebenaran seperti ini disebut konsep kebenaran analitis juga ditolak Habermas.Suatu konsep kebenaran di mana konsep kebenaran disamakan dengan kedapatdimengertian kondisi-kondisi kebenaran suatu pernyataan yang dibatasi oleh kaidah-kaidah aplikasi pernyataan-pernyataan linguistik dalam pernyataan. Ketika seseorang betul-betul memahami, dia menyangka memiliki kompetensi pada bentuk kalimat-kalimat dengan mengikuti kaidah-kaidah yang benar secara gramatikal dan fonetis. Dia menguasai suatu bahasa. Karena itu, kebenaran analitis paling banter dapat dipertimbangkan menjadi suatu jenis khus dari “kedapatdimengertian” yang dihubungkan dengan kalimat-kalimat yang dibangun secara formal (Ibid hlm.94).


Tidak ada komentar: