Kamis, 09 Oktober 2008

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman Tentang Kebenaran dan Rasionalitas


1.3.2. Pembedaan yang Tidak Adequat antara Pengalaman dan Interpretasi
Dua yang laian dari konsep kebenaran yang ditolak dapat dikelompokkan sekitar persoalan bagaimana konsep-konsep kebenaran itu berhubungan dengan pembedaan antara pengalaman dan interpretasi. Pertama, Habermas menolak konsep kebenaran objektivistik. Konsep kebenaran ini berhubungan dengan kebiasaan kita yang melihat bahwa observasi-observasi objektif yang diambil merupakan kebenaran. Habermas menyatakan bahwa kebenaran termasuk dunia pemikiran-pemikiran . Observasi tidak dapat jadi “benar” atau “tidak benar”. Kebenaran ada bukan ketika keraguan menolak secara langsung suatu observasi (untuk keraguan seperti itu, dapat digerakkan kembali oleh observasi yang diulang), tetapi ketika ada keraguan atas pernyataan dalam mana observasi diinterpretasi. Observasi-observasi (atau pengalaman-pengalaman) mengklaim diri memiliki objektivitas, tetapi bahwa objektivitas tidak identik dengan kebenaran suatu pernyataan yang menyertainya. Objektivitas dijamin oleh keberhasilan yang dapat dikontrol pada tindakan-tindakan yang dibangun atas suatu pengalaman. Pengalaman tentang struktur kategorial objek-objek menentukan objektivitas pengalaman kita. Kebenaran, bagaimanapun, tidak dapat menyatakan dirinya sendiri dalam tindakan-tindakan yang dikontrol dengan penuh keberhasilan, tetapi dalam rasio yang berhasil. Selain itu, kekuatan gambaran atas suatu pengalaman atau eksperimen-eksperimen hanya dapat membenarkan klaim kebenaran dari pernyataan proposisional dalam suatu kenyataan. Kita berpegang pada suatu pernyataan sejauh tidak ada pengalaman-pengalaman yang tidak sesuai, tetapi validasi suatu klaim kebenaran hanya mungkin dengan mengerti arti-arti rasio. Suatu pengalaman yang didasarkan atas suatu pengalaman tidak ekuivalen dengan suatu pernyataan-pernyataan yang didasarkan atas argumen-argumen. Saya hanya dapat menganggap suatu predikat yang benar berasal dari suatu objek, jika dan hanya jika setiap manusia yang lain yang akan terlibat dalam suatu debat dengan saya, akan menganggap suatu predikat yang sama berasal dari suatu objek yang sama. Ketika kebenaran suatu deskripsi atau suatu eksplanasi ada atau mungkin, semua yang lain, secara potensial, harus atau ada kemungkinan untuk menyetujuinya. Saya harus meyakinkan mereka, tidak dengan paksaan, bukan dengan menunjuk pada suatu eksperimen, tetapi dengan argumen-argumen. Dengan cara itu, mereka menjadi yakin secara rasional tentang kebenaran (Habermas menanyakan bagaimanakah kenyataan-kenyataan dihubungkan dengan objek-objek pengalaman kita. Objek-objek pengalaman- benda-benda, peristiwa-peristiwa, manusia, ucapan-ucapan- adalah mengenai di mana kita membuat pernyataan-pernyataan dan dari mana kita menyatakan pernyataan dijustifikasi suatu kenyataan. Objek-objek berhubungan dengan “mengalami”, sedangkan kenyataan-kenyataan berhubungan dengan “dinyatakan”. Saya tidak dapat mengalami kenyataan-kenyataan atau menyatakan objek-objek pengalaman. Ketika saya menyatakan suatu kenyataan, saya dapat percaya atas pengalaman-pengalaman dan hubungan diri saya sendiri dengan objek pengalaman. Objek-objek pengalaman adalah sesuatu dalam dunia, kenyataan-kenyataan tidak. Ibid hlm95).

Konsep kebenaran objektivitas berhubungan juga dengan suatu teori korespondensi. Suatu teori korespondensi tentang kebenaran menyatakan bahwa pernyataan harus sesuai dengan kenyataan.Pernyataan ini hanya mempunyai makna kalau pernyataan-pernyataan merepresentasikan objek pengalaman yang adalah sesuatu yang ada dalam dunia. Suatu teori korespondensi menyangkal dirinya sendiri. Jika kita tidak dapat menganggap arti-arti yang lain dari term tentang “realitas”, maka kita berhubungan dengan pernyataan tentang kenyataan-kenyataan, dan jika kemudian melihat dunia sebagai totalitas fakta, maka korespondensi antara pernyataan-pernyataan dengan realitas pada gilirannya hanya dibatasi oleh pernyataan-pernyataan.
Kenyataan-kenyataan dikemukakan dalam bidang diskursus hanya ketika suatu klaim validitas dihubungkan dengan suatu pernyataan menjadi topik pemikiran (reasoning). Dalam konteks tindakan-tindakan, kita memahami objek-objek pengalaman kita dan dalam konteks tindakan itu suatu pernyataan berfungsi sebagai suatu informasi tentang suatu pengalaman akan objek-objek apakah objektif atau subjektif. Dalam diskursus, suatu pernyataan berfungsi sebagai suatu ‘statement’ dengan suatu klaim validitas yang problematic, apakah benar atau tidak benar. Dalam konteks-konteks tindakan, saya bisa jadi keliru dalam pengalaman saya akan objek-objek. Dalam diskursus, saya benar atau salah berhubungan dengan klaim validitas yang dinyatakan.
Fakta-fakta adalah pernyataan-pernyataan proporsional. Pemikiran tentang objek-objek tidak sama dengan pengalaman-pengalaman atau observasi atas objek-objek. Bagaimanapun juga, seseorang mengacu pada pengalaman dalam konteks argumentasi. Tetapi, acuan pada pengalaman yang metodologis, misalnya dalam suatu eksperimen tetap tergantung pada interpretasi-interpretasi, hanya kelihatan jadi valid dalam diskursus. Pengalaman hanya dapat menyokong klaim kebenaran dari suatu pernyataan dalam diskursus. Kita bergantung pada pernyataan sejauh tidak ada pengalaman-pengalaman paksaan. Tetapi, suatu klaim kebenaran hanya dapat divalidasi oleh argumen-argumen. Suatu klim yang didasarkan atas pengalaman adalah dengan tidak mengartikan sebagai suatu klaim yang ditemukan dalam argumen-argumen. Kita mengatakan bahwa informasi dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya. Kita dapat mengukur realibilitas (hal dapat dipercaya) dengan probabilitas keyakinan-keyakinan atau pengharapan-pengharapan ketika hal itu terpenuhi. Tetapi, kebenaran tidak berkarakter informatikal, tetapi suatu pernyataan. Suatu pernyataan itu benar ketika pernyataan itu didasarkan atas pemikiran (reason) yang meyakinkan. Kondisi yang ditemukan adalah persetujuan yang potensial terhadap semua yang lain. Kebenaran suatu proposisi menunjukkan “janji” untuk mencapai consensus rasional.
Habermas juga menolak suatu konsep yang subjektivistik. Suatu konsep kebenaran dalam mana kepastian personal terhadap suatu pengalaman langsung dikatakan sebagai kebenaran. Sebagai suatu pengalaman tentang kepastian bisa didasarkan atas pemikiran (sense), tetapi ketika saya menggunakan pikiran-pikiran saya, perasaan, penciuman, pendengaran, atau penglihatan, persepsi tidak dapat, dalam dirinya sendiri dipandang sebagai suatu validitas.Bagi Habermas, klaim validitas itu hanya ketika saya membuat suatu tentang persepsi-persepsi saya bahwa saya membuat suatu klaim validitas. Saya tidak mengklaim bahwa sensasi memberikan saya kepastian. Karena itu, ada banyak klaim validitas yang tidak disertai oleh persepsi-persepsi saya bahwa saya membuat suatu klaim validitas. Saya tidak mengklaim bahwa sensasi memberikan saya kepastian. Karena itu, ada banyak klaim validitas yang tidak disertai oleh persepsi-persepsi sensoris tentang kepastian. Ketika saya mengetahui sesuatu atau ketika saya yakin tentang sesuatu, kepastian saya tidak harus didasarkan atas persepsi. Pengetahuan yang pasti dan suatu keyakinan yang solid hanya dapat didasarkan atas pemikiran-pemikiran yang dapat saya tawarkan pada counter-argumen yang lemah. Kepastian-kepastian hanya dapat didasarkan atas argumen-argumen, meskipun tentunya pendapat atau keputusan didasarkan atas persepsi-persepsi yang dapat dipakai dalam suatu argumen yang khusus. Pengetahuan hanya dapat didasarkan secara tak langsung atas persepsi-persepsi sensoris.
Kepastian juga dapat didasarkan atas suatu kepercayaan atau keyakinan. Kepastian kemudian didasarkan atas suatu interaksi dalam mana orang yang dipercayai telah terbukti benar. Suatu kepastian “keyakinan” tergantung atas suatu pengalaman dalam komunikasi. Bagi Habermas, kebenaran hanya dapat dihubungkan dengan rasio, bukan dengan kepercayaan atau keyakinan.Kebenaran (truth) dan ketepatan (rightness) tidak perlu didasarkan atas sensoris langsung atau kepercayaan begitu saja. Seseorang mengetahui sesuatu tentang suatu objek pengalaman hanya ketikadia menerima klaim kebenaran dari suatu pernyataan. Pengetahuan hanya mungkin ketika keputusan-keputusan (kritisisme atau justifikasi) itu mungkin. Seseorang yakin akan kebenaran sebagai suatu norma hanya ketika dia menerima klaim validitas dari kaidah-kaidah yang relevan.Seseorang percaya orang lain ketika dia melihat ketulusan hati orang tersebut. Ketika saya mengerti, mengetahui, percaya, kemudian saya pastikan, tetapi “kepastian-kepastian” itu berbeda dari kepastian-kepastian yang dilukiskan dengan jelas. Klaim-klaim validitas adalah intersubjektif. Suatu pengalaman konvidensi (kepercayaan) bukan pengalaman yang menetapkan basis kebenaran, kemudian suatu pernyataan bisa jadi benar untuk satu orang. Kepastian tentang sesuatu juga mungkin ada hanya bersifat subjektif. Tentu beberapa subjek telah membagikan kepastian sesuatu yang diobservasi, tetapi kemudian mereka akan harus mengatakannya dan membuat suatu pernyataan. Karena itu, mereka akan membuat suatu klaim tentang validitas, untuk ‘dicek’ secara intersubjektif. Kepastian akan selalu tetap suatu ekspresi subjektif, meskipun hal itu bisa jadi bahwa suatu pengalaman membangkitkan suatu persoalan tentang suatu klaim yang dipaksakan khusus atas validitas.

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman tentang Kebenaran


1.3 Teori tentang Kebenaran

Sebelum kita sampai pada teori kebenarannya, terlebih dahulu kita menelusuri klaim-klaim validitas kebenaran yang ditolak oleh Habermas.
1.3.1 Klaim-klaim Validitas yang Tidak Adequat
Berkaitan dengan klaim-klaim validitas Habermas dengan gigih menolak konsep kebenaran yang metafisik maupun konsep kebenaran yang positivistic. Konsep kebenaran metafisik berawal dari munculnya pemikiran filosofis dalam masyarakat Yunani yang menimbulkan demitologi pemikiran mitis. Melalui ungkapan-ungkapan filosofis, sang filsuf selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan tentang keapaan realitas. Dan apa yang disebut realitas itu tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Apa yang dilakukannya adalah dengan cara kembali kepada dirinya yang memandang kosmos tersebut melalui cara ‘kontemplasi’. Di sana diharapkan ditemukan kepastian mendasar atau kesesuaian dirinya dengan tertib alam semesta itu.Kemudian apa yang disebut teori dalam pemikiran filosofis adalah suatu ‘kontemplasi atas kosmos’.Dengan mengartikan teori seperti itu, Filsafat telah menarik batas antara Ada dan Waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Inilah bibit cara berpikir yang menyebabkan lahirnya ontology dalam sejarah pemikiran manusia(Budi Harddiman,F.Kritik Ideologi.Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,Yogyakarta,Kanisius,1990,hlm.21). Melalui teori, filsuf menyusun konsep-konsep tentang apa-nya realitas dan apa yang disebut hakikat realitas tak lain dari inti kenyataan yang tak berubah-ubah.Dengan berusaha mengangkat pemahamannya ke dalam rumusan-rumusan yang tak berubah-ubah,yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada rasio sendiri. Maka tugas manusia hanyalah mengingat kembali apa-apa yang menjadi apriori di dalam rasionya, yakni idea-idea. Bagi Habermas, pemikiran seperti ini semakin menjadi ‘dimutlakkan’ dalam filsafat kesadaran, yakni dalam filsafat modern maupun ilmu-ilmu sosial yang diturunkannya; di mana telah dirintis oleh Rene Descartes.Dalam filsafat kesadaran, pengetahuan sejati dapat diperoleh dalam rasio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu disebut pengetahuan transcendental karena mengatasi pengetahuan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistoris. Filsafat kesadaran ini bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objectivitas murni. Tugas pokok filsafat di sini adalahmencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme) dan tugas pokok subjek adalah merepresentasikan kenyataan objektif (representasionalisme). Filsafat kesadaran ini, bagi Habermas, merupakan filsafat yang berpusat pada subjek atau rasio yang berpusat pada subject.Dasar segala pengetahuan diperoleh dengan cara kembali kepada subject yang mengetahui itu sendiri yang dipahami secara psikologis maupun transcendental. Itu berarti bahwa realitas dibayangkan sebagai “realitas luar”. Bagi Habermas,pemikiran seperti ini menyempitkan dan membatasi rasionalitas dlam pernyataan logis atau tidak logis, sfisien atau inefisien. Konsep tentang kebenaran pun akhirnya hanya terbatas pada pernyataan logis-tidak logisnya. Konsep kebenaran semacam itu, bagi Habermas sebagai konsep kebenaran yang metafisik. Konsep kebenaran yang metafisik disebutnya sebagai konsep kebenaran yang ‘kabur’ di mana tiga klaim validitas belum dibedakan secara substansial. Benar, tepat, dan lengkap atau utuh digabungkan atau disamakan begitu saja. Dalam konsep-konsep pokoknya, aspek-aspek ‘ada’, ‘syarat’, dan ‘rasa’ masih merupakan satu keseluruhan. Dorongan-dorongan subjektif manusia terpangkas dan tereduksi ke dalam rasio melalui syarat-syarat yang ditentukan oleh rasio itu sendiri. Demikian ‘ada’ direduksi menjadi ada menurut rasio. Bagi Habermas,rasio yang berpusat pada subyek ini tersimpan dan terpelihara kekuasaan. Tanpa disadari sang pemikir sendiri, pembersihan dari dorongan-dorongan subjektif manusia, tak lain dari pelaksanaan kepentingannya sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekan kepentingan demi mencapai pengetahuan murni.
Sedangkan konsep kebenaran yang posivistik disebutnya sebagai konsep yang lemah. Konsep kebenaran yang positivistic ini sebetulnya sudah muncul dalam pemikiran Aristiteles yang mengutamakan peranan abstraksi. Baginya, pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan empiris.Pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsure-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsure-unsur itu sehingga dari yang particular diperoleh yang universal.Untuk melakukan abstraksi ini pun, manusia harus membersihkan diri dari unsure-unsur yang berubah-ubah. Pemikiran seperti ini menampakkan diri kembali dalam filsafat modern yang beraliran empirisme. Penganut-penganut aliran empirisme, seperti Hobbe, Locke, Barkeley, dan Hume, beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya lewat pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori. Pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri pada pengalaman. Bagi Habermas, pemikiran empiris analitis ini tidak bisa melepaskan diri ontology karena nampak dalam keyakinan bahwa teori murni diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan manusia. Dari arus filsafat inilah positivisme yang dirintis oleh August Comte itu lahir. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih, yakni pengetahuan yang berdasarkan fakta objektif. Maka, ini pun tak lepas dari ontologi.

Konsep kebenaran positivistic ini tidak mengakui “relasi-kebenaran” (truth-relationship), atau relasi antara rasionalitas normative (etis) dan persoalan-persoalan ekspresif. Konsep kebenaran ini hanya bisa ditetapkan dalam diskursus teoretis, dalam mana hanya mengedepankan debat rasional, argumen-argumen. Konsep positivistis ini sama sekali membatasi jarak rasionalitas. Positivisme menyempitkan dan membatasi wilayah rasional dengan mereduksinya pada deskripsi-deskripsi dan eksplanasi-eksplanasi (Ibid, hlm.91). Akibatnya, pengetahuan yang yang dihasilkan tidak dapat diterapkan pada masalah-masalah yang disebabkan oleh suatu tindakan komunikatif yang terdistorsi. Pola-pola yang ditampilkan secara secara empiris hanya dapat dipakai untuk membuat ramalan-ramalan, melukiskan kondisi-kondisi, karena pola-pola tersebut hanya bisa ditransformasikan ke dalam rekomendasi teknis sehingga mengarah kepada makna-makna rasional-tujuan. Ketika ilmu pengetahuan sosial menganut sikap positivistis ini, ilmu pengetahuan sosial itu akan mengandung tiga pengandaian yang saling berkaitan (Budi Hardiman,F., Op.Cit, hlm.24).Pertama, bahwa prosedure-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat berlangsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial itu. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak manusiawi, tidak mengganggu objeck pengamatan, yaitu tingkah laku sosial manusia. Dengan cara ini, objeck pengamatan disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil penelitian itu dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk ‘hukum-hukum’, seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu alam bersifat netral, bebas, dari nilai. Bagi Habermas, hal tersebut membawa konsekuensi bahwa ilmu sosial akhirnya menjadi ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengontrol masyarakat secara rasional, seperti alam. Seperti suatu “Teknologi Sosial”, ilmu pengetahuan sosial itu tidak dapat diharapkan untuk pembaharuan terhadap suatu consensus sosial yang terdistorsi.

Menurut penganut positivisme, kita hanya dapat bertindak secara rasional ketika kita menata masyarakat kita atau instusi-institusi sosial kita dengan berdasar pada rekomendasi teknis. Lebih lanjut, Habermas mengatakan bahwa manusia akan kehilangan kemungkinan untuk mencerahkan dirinya. Mereka akan kehilangan identitasnya, baik kolektif maupun individual. Masalah-masalah sosial tidak dapat dipecahkan dalam suatu cara teknis. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan identitas tidak dapat dijawab atau dicerahkan dengan pendekatan empiris saja. Identitas menunjukkan suatu proses, di mana identitas berkembang, mengalami kekacauan, ‘runtuh’, dan bangkit kembali. Proses itu tidak irasional. Komponen-komponen identitas yang normative (evaluatif) dan ekspresif merupakan “batas-kebenaran” dalam pengertian bahwa klaim-klaim validitasnya dapat dipertanggung-jawabkan dengan pemikiran atau rasio.
Ketiga, konsep kebenaran yang tidak diakui oleh Habermas, yakni konsep postmodernis. Konsep kebenaran yang didasarkan atas suatu paduan yang tidak adequate terhadap dua klaim validitas. Kebenaran (truth) yang dipadukan ke dalam kepenuh-kebenaran (truthfulness). Kebenaran (truth) dipahami sebagai ‘event’, di mana kebenaran menyingkapkan dirinya sendiri kepada subyek yang ‘attentive’ (penuh perhatian). Subyek yang penuh perhatian itu diubah oleh tanggapan kepada suatu “truth-event” yang “menarik” dan “mempesona”.Ketika suatu “event” dialami sebagai suatu revelasi kebenaran, bagaimanapun juga, pengalaman yang otentik bisa terjadi. Itu berarti otentisitas pengalaman tidak berarti sesuatu yang berhubungan denga “the truth-calibre”, “kualitas kebenaran” dari suatu pernyataan yang didasarkan atas pengalaman itu. “Truthfullness” merupakansuatu klaim validitas yang hanya menunjukkan bahwa seseorang sesungguhnya mengartikan apa yang dia nyatakan. Seseorang itu benar (truthfull) ketika tidak menyesatkan dirinya sendiri atau orang lain dengan pernyataannya. Kita tidak dapat memahami “truthfullness” sebagai suatu relasi-kebenaran (truth-relationship), dalam mana pernyataan dihubungkan dengan “inner entity” dari suatu pengalaman. Konsekuensinya, ketika seseorang berada dalam suatu pengalaman, dia tidak dapat membuat pernyataan-pernyataan tentang ‘inner life-nya’, bahwa kita dapat menilai benar atau tidak benar. Kita hanya dapat menilai tindakan-tindakannya, apakah dia secara sungguh-sungguh memaknai apa yang dia katakana. Kalau kebenaran tentang “being” itu memanifestasikan dirinya sendiri, sebagai yang dikatakan Heidegger dan pemikir-pemikir postmodernis, kebenaran itu hanya bisa dinyatakan secara naratif. Ketika seseorang dipikat atau ditawan oleh sesuatu kebenaran seperti itu, dia tidak dapat mengayakan “No” (or Yes) yang didasarkan atas rasio-rasio. Kemungkinan untuk menolak tidak ada. Dengan kata lain, dia telah “dicabut” dari kemungkinan untuk menolak. Semacam ada suatu heteronomy baru merasuki manusia dalam bentuk “being” atau “power” atau apa pun yang menyatakan atau menyingkapkan “kebenaran dalam dirinya”. Kebenaran menjadi esoteris dalam manfaat kepada publik. Alasannya adalah bahwa “truthfulness” yang disamakan dengan kebenaran (truth) membawa konsekuensi mengidentifikasi rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan, rasionalitas teknis (Ibid. hlm 92-93). Postmodernisme memang menentang suatu pembunuhan rasionalitas tujuan dengan “kembali” atau dengan menampakkan pada kekuatan-kekuatan irrasionalitas. Kemudian, ketika rasionalitas dibatasi secara peyoratif pada rasionalitas tujuan, suatu “truth event” mendapatkan elemen-elemen “mistis”. Bagi Habermas, sebagai suatu konsep kebenaran, hal itu diragukan dalam suatu komunitas rasionalitas. Ketika kebenaran diatributkan (disifatkan/dilengkapi) pada suatu pengalaman tentang revelasi, kebenaran tidak mungkin lagi untuk mengkritisi suatu rasional tujuan atau klaim teknis atas kebenaran. Semua pemikir postmodern mengkritisi subject yang dengan pertolongan rasionalitas meyakini dirinya sendiri dalam suatu cara objectif dan instrumentalis atas dunia fenomena. Satu-satunya jalan keluar dari rasionalitas instrumental itu, dengan mana subject mengendalikan dunia, ditemukan dalam “truth events” dari suatu reuni mistis dengan beberapa kekuatan extra-rasional (menurut Habermas, Jacques Derrida juga ingin melepaskan beban berat’subjec phillosopy’. Dia juga menolak kebenaran sebagai ‘truth events’. Akan tetapi analisa Derrida atas retorika mempunyai efek yang subversive dan anarkis. Tulis Habermas: “Derrida stands closer to the anarchist wish to explode the continuum of history than to the authoritarian admonition to bend before destiny”.Lih. De Roest, H., Ibid.hlm.93). Itu berarti para postmodernis tidak bisa meninggalkan rasio (Ibid.hlm 93-94).Pembebasan itu merupakan jalan keluar, meninggalkan rasionalitas teknis disamping rentan pada kritik rasional.Habermas melihat jalan keluar semacam itu hanyalah permulaan ketika kita menggeser paradigma dari subyek sebagai “central point” referensi kepada bahasa sebagai suatu “starting point” untuk suatu teori rasionalitas. Kritik rasional untuk mendapatkan suatu kekuatan argumentative, menemukan suatu “ambang pintu” untuk masuk dalam suatu rasionalitas komunikatif yang memiliki daya potensial kritis.
Keempat, menolak konsep kebenaran yang merupakan hasil paduan dua klaim validitas. Kebenaran dipadukan dengan kebenaran normative. Ini jelas dalam sistem-teoritisian, seperti N. Luhmann. Tindakan-tindakan instrumental atau tujuan, dikendalikan oleh pengharapan-pengharapan teknis dan didasarkan atas peraturan teknis, yang disamakan dengan tindakan-tindakan sosial yang dikendalikan oleh norma-norma yang valid. Pengalaman-pengalaman tentang dunia factual tidak dibedakan dari tindakan-tindakan dalam dunia sosial. Karena itu, kebenaran dari suatu pernyataan atau suatu eksplanasi dan kebenaran suatu norma yang legitim hanya diukur oleh fungsi-fungsi di mana fungsi itu terekomendasi dalam sistem yang kokoh.Tindakan-tindakan yang dikendalikan secara normative dan hal ini tidak lain hanyalah memperkuat sistem yang ada. Bagi Habermas, kebenaran suatu norma menunjukkan bahwa norma harus valid, tetapi seperti suatu validitas yang tidak berhubungan dengan validitas kebenaran. Kebenaran tidak dapat dipahami sebagai suatu hubungan antara, di satu pihak, suatu kekuasaan dan dilain pihak suatu inneridentity, seperti suatu pemenuhan kebutuhan alamiah di mana perlu untuk pemeliharaan sistem biologis.
Kelima, konsep kebenaran yang disamakan dengan klaim validitas tentang “kedapatdimengertian”(understandability). Konsep kebenaran seperti ini disebut konsep kebenaran analitis juga ditolak Habermas.Suatu konsep kebenaran di mana konsep kebenaran disamakan dengan kedapatdimengertian kondisi-kondisi kebenaran suatu pernyataan yang dibatasi oleh kaidah-kaidah aplikasi pernyataan-pernyataan linguistik dalam pernyataan. Ketika seseorang betul-betul memahami, dia menyangka memiliki kompetensi pada bentuk kalimat-kalimat dengan mengikuti kaidah-kaidah yang benar secara gramatikal dan fonetis. Dia menguasai suatu bahasa. Karena itu, kebenaran analitis paling banter dapat dipertimbangkan menjadi suatu jenis khus dari “kedapatdimengertian” yang dihubungkan dengan kalimat-kalimat yang dibangun secara formal (Ibid hlm.94).


Senin, 29 September 2008

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman Tentang Kebenaran

1.2 Posisi Habermas dalam Dunia Filsafat

Jurgen Habermas sering dikenal sebagai pembaru Teori Kritis para pendahulunya, yakni Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Maka, kita tak bisa melihat posisi Habermas dalam konteks Filsafat terlepas dari Teori Kritis para pendahulunya tersebut. Ia adalah generasi muda yang bergabung dengan Mazhab Frankfurt. Filsafat yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt dikenal sebagai Teori Kritis. Teori Kritis ini merupakan salah satu aliran utama Filsafat Abad ke-20, di samping fenomenologi dan Filsafat Analitis.
Teori Kritis sebagai salah satu aliran Filsafat Abad XX, pada awalnya belum berhasil menarik perhatian di kalangan Filsafat Umum. Teori Kritis ini baru betul-betul menjadi bahan diskusi di kalangan Filsafat dan Sosiologi pada tahun 1961 dan tentu Jurgen Habermas memainkan peranan yang besar di dalamnya bahkan tokoh inilah yang membuat Teori Kritis itu membetot perhatian di kalangan filsuf-filsuf konteporer.
Kalau kita ingin menentukan kedudukan Teori Kritis dalam rangka Sejarah Filsafat khususnya dan Filsafat pada umumnya, maka terutama tiga factor harus dikemukakan, yakni Teori Kritis yang secara khusus dipengaruhi oleh Hegel, Marx, dan Freud. Yang dikenal agak umum adalah peranan Filsafat Karl Marx dalam pemikiran para anggota Mazhab Frankfurt termasuk Habermas sampa-sampai ajaran mereka tidak jarang ditunjukkan dengan nama “neomarxisme”. Tetapi oleh pengikut-pengikut Mazhab Frankfurt , Marx dipandang lain daripada yang lazim dibuat pada waktu itu ( Mereka menolak suatu interpretasi terhadap Marxisme yang agak lazim pada waktu itu, yaitu pandangan tentang Marxisme sebagai suatu ajaran matrialisme vulgar. Sehubungan dengan intepretasi Hegelian tentang Marxisme ini, perlu dicatat bahwa pada waktu itu belum dikenal apa yang disebut “karangan – karangan Marx muda” atau dengan nama lain “naskah-naskah dari paris” (The Paris Manuscripts). Karangan-karangan Marx muda barus diterbitkan pada tahun 1932 dan dengan jelas memperlihatkanhubungan antara Marx dan Hegel. Lih. Magnis-Suseno, F., Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius, 1992, hlm.178). Karya Karl Korsch “Marximus and Philosophie” (1923) memainkan peranan penting untuk interpretasi baru Mazhab Frankfurt atas Marx. Antara lain berdasarkan karya Korsch ini, kemudian Mazhab Frankfurt mengerti Marx dalam hubungan erat dengan Filsafat Hegel.Mereka terutama menekankan latar belakang Hegelian dari pemikiran Marx. Dalam hal ini, konsep dialektika sangat dipentingkan. Di samping itu, sudah sejak tahun-tahun pertama berdirinya lembaga penelitian , Horkheimer dan rekan-rekannya menaruh minat akan psikoanalisa Freud, sebab dari psikoanalisa mereka harapkan banyak penyelidikan masalah sosial manusia khususnya dan masalah hidup manusia pada umumnya.
Meskipun Habermas termasuk dalam Mazhab Frankfurt, tidak serta merta ia mengadopsi Teori Kritis para pendahulunya begitu saja. Meskipun Teori Kritisnya masih dalam arah yang sama, itu hanya dalam hal keprihatinan yang sama untuk melanjutkan proyek pencerahan (Aufklarung). Berbeda dari para pendahulunya, Habermas tidak menjalankan proyek pencerahan secara pesimis, tetapi dia tetap optimis dalam menghadapinya. Teori Kritisnya melampaui Teori Kritis para pendahulunya karena ia memberi landasan epistemologis yang baru dalam Teori Kritis. Habermas sendiri melukiskan Teori Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara Filsafat dan ilmu pengetahuan (Sosiologi). Dialektika Filsafat dan Sains ini, bagi Habermas adalah suatu konstelasi baru sebagai alternatif baru untuk keluar dari kemelut Filsafat tradisional yang telah berakhir (Habermas,J. The theory of Communicative Action Vol I ,terjemahan Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press,1984,hlm.1-2).
Bahkan Teori Kritis sebetulnya mau menyingkapkan kegagalan Filsafat kesadaran.Bahkan dalan bukunya “The Philosopichal Discourse of Modernity”, Habermas mengungkapkan dengan jelas tentang tekadnya untuk mengatasi Filsafat Kesadaran (Filsafat Modern dan ilmu-ilmu sosial yang diturunkannya). Sebagai seorang “post-rasionalis modernitas”, ia menggrogoti landasan Filsafat Modern dan memberi pandangan baru , yakni paradigma rasio komunikatif.Paradigma rasio komunikatif ini tidak hanya mau memperbaharui Teori Kritis Generasi Pertama yang mengalami jalan buntu, tetapi juga mau mengatasi Filsafat Kesadaran atau Filsafat Subyek. Filsafat harus mengarah kepada praksis dan tidak berkutat pada tataran teori belaka (Nagl,L.Habermas and Derrida on Reflexivity dalam Enlightenments: between Critical Theory and Contemporary French Thougt oleh Harry Kunneman and Hent de Vries (eds), Kampen-The Netherlands, Kok Pharos Publising House, 1993,hlm61-65).

Minggu, 28 September 2008

Rekonstruksi Habermas atas Pemahaman tentang Kebenaran dan Rasionalitas


Teori Habermas tentang kebenaran dan rasionalitas memperlihatkan suatu perubahan mendasar di bidang Epistemologi, terutama dalam hal kita memahami hakikat pengetahuan. Pemahaman Habermas tentang kebenaran dan rasionalitas menawarkan sebuah pemahaman baru atau filsafat-rasio baru. Habermas tidak bermaksud mendekonstruksi Epistemologi, tetapi merekonstruksi Epistemologi secara baru. Dengan perkataan lain, teori kebenaran dan rasionalitas mau meletakkan fondasi baru tentang hubungan antara subyek dan dunia karena persoalan epistemologis adalah persoalan posisi subyek dalam hubungannya dengan dunia. Habermas bermaksud merekonstruksi karakter fondasional Epistemologi tradisional secara baru.Rekonstruksi tersebut sebetulnya juga mau menunjukkan bahwa Habermas mau mengatasi 'cacat-cacat' modernitas. Dan 'cacat-cacat' modernitas tersebut menurutnya disebabkan oleh Filsafat-subyek yang telah berawal sejak kemunculan filsafat. Itu berarti bahwa konstruksi Habermas tersebut mau mengatasi Filsafat Modern yang disebutnya sebagai 'rasio yang berpusat pada subyek'.
1.1 Riwayat Hidup dan Karya
Jurgen Habermas adalah seorang teoritikus sosial dan filsuf Jerman yang dewasa ini sangat disegani.Ia dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di Gummersbach, sebuah kota kecil di Jerman. Di Universitas kota Gottingen, ia belajar kesusasteraan Jerman, Sejarah, Filsafat dan juga mengikuti kuliah di bidang Psikologi dan Ekonomi. Setelah beberapa waktu di Zurich, ia meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn di mana ia meraih gelar doktor Filsafat pada tahun 1954, bedasarkan sebuah disertasi tentang ' Das Absolute und die Gerchichte' (Yang Absolut dan Sejarah), suatu karya yang masih secara mendalam dipengaruhi oleh Filsafat Heidegger. Pada waktu itu juga ia berkecimpung lebih intens dalam bidang politik, terutama sehubungan dengan diskusi yang sangat hangat di Jerman pada saat itu tentang pesenjataan kembali (rearmament) di Jerman.
Pada tahun 1956, Habermas berkenalan dengan Lembaga Penelitian Sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Adorno. Bersama denga sebuah team (von Friedburg, Oehleer, dan Weltz), ia mengambil bagian dalam suatu proyek riset mengenai sikap politik mahasiswa-mahasiswa di Universitas Frankfurt. Habermas terutama mengerjakan segi teoritisnya. Hasil penelitian itu terdapat dalam buku 'Student und Politic' (Mahasiswa dan Politik), tahun 1964.
Sekitar waktu itu juga Habermas mempersiapkan Habilitationschrift-nya. Karangan ini berjudul 'Structur Wndel der Deffentlichkeit' (Perubahan dalam Struktur Pendapat Umum), suatu studi yang mempelajari sejauh manakah demokrasi masih mungkin dalam masyarakat modern. Perhatian khusus diberikan kepada berfungsi atau tidaknya pendapat umum dalam masyarakat Modern. Karena alasan tertentu Habilitation ini tidak dapat dilanjutkan di Frankfurt; Habermas terpaksa mencari seorang promotor di tempat lain dan akhirnya berhasil di Marburg. Tetapi, sebelumnya ia sudah diundang menjadi professor filsafat di Heidelberg (1961-1964).
Pada awal tahun 1960-an, Habermas sangat populer dalam kalangan mahasiswa di Jerman. Akan tetapi, sikapnya yang kritis terhadap gerakan protes para mahasiswa membuatnya makin dibenci oleh para mahasiswa kiri. Acara-acara seminarnya di Frankfurt sering diganggu. Rupanya inilah satu alasan mengapa Habermas meninggalkan Frankfurt tahun 1970. Pada tahun 1971, Habermas menerima tawaran pekerjaan pada Institut Max-Plank (sebuah institut yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan dalam dunia) di Starnberg dan ketika itu juga ia menghentikan kegiatannya sebagai professor.
Sebagai seorang pemikir yang bergerak dalam suatu wilayah ilmiah yang sangat luas, Habermas banyak menyumbangkan karya-karya besar lainnya: Theory und Praxis, 1961 (Teori dan Praksis); Zur Logic der Sozialwissenchaften, 1967 (Tentang Logika Ilmu Pengetahuan Sosial); Technik und Wissenschaft als Ideologie (Teknik dan Ilmu Pengetahuan sebagai Ideologi), 1968 : mengumpulkan pelbagai karangan, antara lain 'Erkenntnis Und Interesse' yang merupakan pidato Habermas ketika dikukuhkan sebagai professor di Frankfurt yang kemudian program yang dirancang dalam pidato ini sebagian direalisasikan dalam buku berikut dengan judul yang sama, yakni " Erkenntnis Und Interesse" (Pengenalan dan Kepentingan Manusiawi), 1968. Kemudian muncul juga karya-karyanya yang lain, yaitu sebagai berikut: Theorie der Gesseischaft oder Sozialtechnologie ( Teori Masyarakat atau Teknologi Sosial), 1971; Philosophish-Politische Profile (Profilprofil Filosofis-Politis), 1971; Legitimations Probleme im Spatkapitalismus ( Masalah Legitimasi dalam Kapitalisme Lanjut), 1973; Kultur und Kritik (Kebudayaan dan Kritik); 1973; Zur Rekonstruction des Historischean Materialismeus (Rekonstruksi Materialisme Historis), 1976; Politik, Kunst, Religion. Esseys Uber Zeitgenossischen Philosophen (Politik, Kesenian, dan Agama. Esei-Esei tentang beberapa filsuf dewasa ini), 1978; The Philosophical Discourse of Modernity. Kemudian pada tahun 1981, terbitlah karya besarnya The Theory of Communicative Action, sebuah usaha untuk mendialogkan Teori Kritisnya yang disebut "Teori Tindakan Komunikatif" dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.

Rabu, 30 Januari 2008

Komentar Kritis atas Pemikiran Ibnu Rusyd (3)

KEAZALIAN TUHAN DAN ALAM

(Pemikiran Ibnu Rusyd dalam Rentang Sejarah)

3.3. Visi Etis Pemikiran Ibnu Rusyd

Keseluruhan pemikiran Ibnu Rusyd sebagaimana pernah saya sampaikan di atas, tidak hanya sebatas debat berkepanjangan mengenai bernalar, akan tetapi produk seorang pemikir besar yang mampu melahirkan dan menjadikan bagian sistem pemikirannya tetap memiliki relevansi untuk kehidupan manusia dewasa ini. Pemikiran Ibnu Rusyd, bagaimanapun bisa menjadi salah satu landasan pemikiran manusia masa kini dalam rangka memecahkan persoalan kehidupan sekarang dan memiliki ‘daya raba’ bagi kemungkinan-kemungkinan masa depan.

Hal yang patut diberi aksentuasi dalam kaitannya dengan praktik hidup manusia bahwa dalam seluruh struktur ciptaan, manusia merasa diri berada di puncak ciptaan atau lebih tepatnya, manusia menganggap diri sebagai mahkota ciptaan. Untuk itu, pemahaman realitas secara tuntas pun mengandaikan pengetahuan yang mendalam atas manusia terlebih dahulu. Hal itu didasarkan pada pemahaman juga bahwa rumitnya struktur ini tercermin secara adequate dalam diri manusia. Kesadaran semacam inilah yang memicu munculnya pemahaman bahwa manusia harus ditempatkan sebagai pusat dan tujuan akhir hidup manusia (B. Wiliam L., Dictionary of Philosophy and Religion: Estern and Western Thought, Humanities Press Inc, New Jersey England, 1980,hlm.17).

Pola pandang seperti di atas, sebenarnya pola pandang antroposentrisme yang membuat manusia cenderung bersikap mensubordinasikan alam semesta. Manusia semacam memperoleh “mandat” religius untuk menahklukkan alam semesta. Lebih parah, mandat seperti itu, kemudian dilegitimasi oleh refleksi filosofis yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat jagat raya. Kata antroposentrisme diturunkan dari kata Yunani, yaitu antropos (manusia) dan kentron(pusat). Jika kita bertolak dari arti kedua kata di atas, kita akan mengolaborasi beberapa kontruksi pengertian terminology antroposentrisme. Pertama, antroposentrisme dipahami sebagai pandangan yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya pusat dan merupakan muara/tujuan akhir alam semesta. Kedua, antroposentrisme diartikan sebagai pandangan yang menilai bahwa nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang nilai-nilai manusia itu. Antroposentrisme sendiri berakar dalam tradisi filsafat maupun religius. Antrposentrisme filosofis memperoleh justifikasi dari akal budi manusia (lih. Lorens Bagus,Op.Cit.,hlm.60).

Lebih lanjut, ilmu dan teknologi tampaknya mengafirmasi visi religius danfilosofis dengan menekankan kapasitas rasio manusia untuk mengontrol alam melalui eksplorasi ilmiah guna menguak semua misteri dan merenggut semua sakralitas alam semesta. Dari fenomena kecenderungan di atas, alam semesta teramcam ‘luluh-lantak’, jika manusia tidak mengubah tingkah-laku dan pola pandangnya terhadap semesta alam. Bertolak dari tuntutan semacam itu, maka pemikiran Ibnu Rusyd atas keazalian alam dan Tuhan memunculkan kesadaran baru bagi manusia dewasa ini. Kesadaran baru ini serentak menjadi dasar langkah preventif dalam rangka mengganti visi yang bertendensi menahklukkan alam semesta menjadi visi yang lebih bertendensi memelihara dan melestarikan alam semesta. Menurut hemat saya, kesadaran baru yang muncul dari pemikiran Ibnu Rusyd antara lain sebagai berikut:

1. Kalau Ibnu Rusyd melihat alam semesta bersifat azali, maka sikap hormat, cinta, dan kagum pada Tuhan mengandaikan sikap hormat, cinta, dan kagum juga tehadap alam semesta. Alam itu sakral. Kesakralannya terletak pada fakta bahwa alam semesta memiliki dinamika internal, bisa beroperasi tanpa intervensi pihak eksternal. Tanpa intervensi manusia, alam semesta mampu mengembangkan dirinya, sehingga segala sesuatu yang ‘melekat’ padanya tetap eksis. Berkat dinamika itu pula, manusia bisa menimba nafas dan mempertahankan kehidupannya. Visi Ibnu Rusyd semacam itu berdampak positif terhadap penempatan diri manusia terhadap alam semesta. Alam bukanlah bagian yang terpisah dengan manusia, tetapi menjadi bagian yang integral dari eksistensinya, bahkan menjadi faktor penentu utama eksistensinya. Tanpa daya dukung alam semesta, manusia sendiri terancam punah. Karena itu, alam semesta tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernyawa karenanya alam semesta juga tidak boleh dirusak dan dikuasai. Sebaliknya, alam semesta harus dihormati dan manusia mesti menyatu dengan alam semesta. Keyakinan dasar seperti ini sebenarnya dapat kita temukan dan saksikan dalam cara hidup masyarakat suku tertentu. Lebih dari sekedar perasaan , bahwa mereka merupakan bagian dari alam bahkan alam dipandang sebagai tempat berlindung sekaligus sebagai tempat yang menjamin kehidupan, sebab alam adalah ibu yang mengayomi dan memberi rasa aman kepada anak manusia. Misalnya, dalam pola pandang suku-suku Irian Jaya. Mereka melihat bahwa tanah mempunyai beberapa segi. Tanah itu sakral, tempat hidup manusia. Karena itu mereka sangat menghormati tanah.( Lihat Erari, Karel P., Our Land In Irian Jaya as Theologi Problem, Sout is Asia Graduate School of Theology, Singapore, 1997,hlm.373-388).

2. Ibnu Rusyd dalam teori emanasinya menyatakan bahwa alam semesta ini melimpah dari Tuhan sejak keazalian. Alam semesta melimpah dari Tuhan dengan disertakan padanya creative power yang memampukan alam semesta memiliki potensi di dalam dirinya. Creative Power dipahami sebagai kekuatan Tuhan yang mendasari alam semesta. Dengan demikian, Tuhan harus dilihat sebagai prinsip dasar dari segala sesuatu. Kebijaksanaan religius pun menerima bahwa Tuhan adalah prinsip dasar segala sesuatu. Di balik tatanan kosmos yang megah ini diyakini tersembunyi kekuatan atau energi kreatif yang mengoperasikan totalitas aktivitas alam semesta ( bdk. Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor, Orbis Books, Maryknoll, New York,1997,hlm.142.146). Makna asumsi di atas menyiratkan imanensi(kehadiran Tuhan) dalam dunia. Tuhan hadir untuk menata semesta ini. Dia bukan sekedar figure pencipta, lalu pergi, tetapi sebagai roh dunia ini. Itu berarti, Tuhan hadir (ada) dalam kosmos lewat creative power yang disertaka_Nya dalam alam semesta dan alam semesta ada bersama Tuhan juga lewat creative power. Ini adalah visi Ibnu Rusyd. Visi Ibnu Rusyd ini harus dibedakan dari visi panteisme yang menandaskan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Dalam Phanteisme, Tuhan identik dengan segala sesuatu. Tuhan tidak ada bedanya dengan kuda, batu, tanah, udara dan lain-lainnya. Dengan kata lain, Tuhan adalah kuda, batu, tanah dan udara. Konsekuensinya, alam semesta bukan lagi ciptaan, tetapi Tuhan itu sendiri. Pantheisme sangat berbeda dengan Ibnu Rusyd. Dalam perspektif Ibnu Rusyd, Tuhan dan alam semesta sama-sama independen. Kehadiran Tuhan dalam alam semesta hanya dapat dipahami lewat creative power. Sebaliknya, alam semesta yang imanen mempunyai makna transenden karena ia melimpah dari Tuhan yang azali dengan creative power yang disertakan padanya. Bagi kita, yang hidup bermandikan berbagai macam pandangan yang cenderung menjustivikasi penghancuran alam semesta, visi Ibnu Rusyd itu bisa menjadi undangan untuk mengusahakan keselamatan alam semesta, sebab dalam alam semesta tersimpan creative power Tuhan sendiri sebagai tanda kehadiran-Nya di alam semesta ini. Jika Tuhanhadir dalam alam semesta lewat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia mengabaikan begitu saja alam semesta.

3. Kalau Ibnu Rusyd memahami alam semesta sebagai tanda kehadiran Tuhan lewat creative power, maka dalam konteks kehidupan religius, menjadi panggilan tersendiri bagi institusi religius untuk menggali secara bijaksana seluruh nilai fundamental yang tersembunyi di balik dogma serta doktrin-doktrinnya, sehingga mampu memperbesar apresiasi manusia akan alam semesta. Misalnya, Agama Kristen sendiri memiliki konsep sakramen. Sakramen adalah tanda dan kehadiran rahmat Allah bagi manusia, tanda konkrit berupa obyek material bahkan event yang memungkinkan manusia bersentuhan dengan dengan realitas Ilahi. Pemikiran Ibnu Rusyd, bila ditinjau dengan standard logika religius kristiani, maka segala sesuatu yang ada di alam semesta ini harus dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mengagumkan dan membahagiakan, karena alam semesta memberi kehidupan yang berasal dari Tuhan. Visi Ibnu Rusyd mengakui perbedaan antara pencipta dengan ciptaannya. Tuhan yang transenden dapat dipahami berkat creative power, maka manusia tidak mungkin menghampiri dan memahami Tuhan, jika manusia tidak dengan perantaraan alam semesta. Bumi dan segala potensi yang ada di alam semesta ini harus kita lestarikan. Memporak-porandakan alam semesta sama artinya dengan memporak-porandakan Tuhan. Sebaliknya, merawat dan melestarikan alam semesta merupakan perwujudan bakti sejati kepada Tuhan.

Semoga dengan visi etis pemikiran Ibnu Rusyd ini membantu sikap dasar manusia dalam rangka menempatkan dirinya dalam alam semesta ini, yaitu mengambil bagian dalam totalitas eksistensi alam semesta. Manusia bukan lagi ‘yang berada di puncak’ melainkan ‘yang berdiri di antara’. Karena menurut Ibnu Rusyd, manusia tidak akan pernah dapat berdistansi dengan alam semesta, karena manusia merupakan bagian dari alam semesta yang bersifat azali, sebagaimana Tuhan adalah Azali.

Senin, 28 Januari 2008

Selamat Jalan Jenderal Besar


”Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri

Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati

Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh sribu
Tanah air jaya sakti”

Minggu, 27 Januari 2008, tepatnya di Bulan Suro dalam penanggalan Jawa, masyarakat dikejutkan sebuah berita perihal wafatnya Bapak Soeharto, mantan presiden ke-2 Republik Indonesia. Sudah barang tentu berita yang dilansir oleh media cetak dan elektronik tentang tokoh controversial tersebut mengundang tanggapan beragam di tengah kalangan masyarakat. Sebagian merasa sedih dan bermuram durja seraya berdoa atas kepergiannya, tetapi sebagian lagi (terutama lawan-lawan politiknya) bersorak-sorai sambil berkata: “Selamat jalan bapak koruptor!”.

Terlepas bagaimana masyarakat menanggapi kepergian Pak Harto, saya tertarik dengan sebuah artikel yang saya baca dari Ensiklopedi Tokoh Indonesia tentang Pak Harto. Mudah-mudahan dengan artikel di bawah ini mampu membantu kita semua mendudukkan kepemimpinan Pak Soeharto secara proporsional, sehingga kita secara pribadi tetap memiliki itikad baik untuk membuka pintu maaf bagi Pak Soeharto.

Haji Muhammad Soeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah sosok nama besar yang memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.

Namun, akhirnya ia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik.

Saat ia baru meletakkan jabatan, ada rumor yang berkembang. Seandainya Pak Harto mendengar hati nurani isteri yang dicintainya, Ibu Tien Soeharto, yang konon, sudah menyarankannya berhenti sepuluh tahun sebelumnya, pasti kepemimpinnya tidak berakhir dengan berbagai hujatan yang memojokkannya seolah-olah ia tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.

Ia memang seperti kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto meninggal dunia(Minggu 28 April 1996). Pak Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan hal seperti ini. Banyak pria (pemimpin) yang justru ‘kuat’ didukung keberadaan isterinya. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.

Pak Harto tidak segera mencari pengganti isterinya. Kesepiannya seperti teratasi atas dorongan pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Ia menghabiskan waktunya dalam mengemban tugas beratnya sebagai presiden. Apalagi beberapa pembantunya memberinya laporan dan harapan yang mendorongnya untuk tetap bertahan sebagai presiden. Bahkan, bersama pembantunya (menterinya) BJ Habibie, ia bisa berjam-jam berbicara. Tak jarang para staf harus menyediakan mie instan jika menunggui pertemuan mereka itu.

Rakyat bangsa ini tentu masih ingat. Seusai Pemilu 1997 dan sebelum Sidang Umum MPR, Maret 1998, para pembantunya, di antaranya Harmoko, selaku Ketua Umum DPP Golkar, menyatakan akan tetap mencalonkan Soeharto sebagai presiden 1998-2003. Tapi, justeru pada HUT Golkar ke-33, Oktober 1997 itu, HM Soeharto mengembalikan pernyataan itu untuk dicek ulang: Apakah rakyat sungguh-sungguh masih menginginkannya menjadi presiden?

Setelah berselang beberapa bulan, tepatnya tanggal 20 Januari 1998, tiga pimpinan Keluarga Besar Golkar atau yang lazim disebut Tiga Jalur Golkar, yakni jalur Golkar/Beringin (Harmoko), jalur ABRI (Feisal Tanjung) dan jalur birokrasi (Yogie SM), datang ke Bina Graha menyampaikan hasil pengecekan ulang keinginan rakyat dalam pencalonan HM Soeharto sebagai Presiden RI.

Saat itu mereka melaporkan bahwa “ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko mengumumkan kepada pers usai melapor kepada Pak Harto. "Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.

Menurut Harmoko, Jenderal TNI (Purn) H Muhammad Soeharto, setelah menerima hasil pengecekan itu, menyatakan bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden RI masa bhakti 1998-2003. Selain mengumumkan kesediaan Pak Harto dipilih kembali sebagai Presiden RI, menurut Harmoko, Keluarga Besar Golkar juga membuat kriteria untuk calon Wakil Presiden, antara lain memahami ilmu pengetahuan dan industri. Pernyataan ini mengarah kepada BJ Habibie.

Dari hasil pengecekan yang dilakukan oleh keluarga besar Golkar itu, masih menurut Harmoko, Soeharto menghargai kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut walaupun harus ada pengorbanan bagi kepentingan keluarga. Tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara, Haji Muhammad Soeharto tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sebagai patriot dan pejuang bangsa.

"Dengan adanya kepercayaan rakyat ini tidak membuat Bapak Haji Muhammad Soeharto bersikap 'tinggi glanggang colong playu.' Itu istilah Pak Harto yang artinya tidak meninggalkan tanggung jawab dan mengelak dari kepercayaan rakyat tersebut demi kepentingan negara dan bangsa," tegas Harmoko.

Tapi, ternyata itulah awal sebuah tragedi pengkhianatan digulirkan. HM Soeharto memang terpilih kembali menjadi Presiden periode 1998-2003 pada Sidang Umum MPR, 1-11 Maret 1998. Didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.

Namun, komponen mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat terus melancarkan demonstrasi meminta Presiden Soeharto dan Wapres BJ Habibie turun serta Golkar dibubarkan. Saat itu, Pak Harto masih terlihat yakin bahwa demonstrasi itu akan surut dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Maka pada awal Mei 1998, ia berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Saat berangkat, di bandara Halim Perdanakusuma, ia dilepas Wakil Presiden BJ Habibie, Fangab Feisal Tanjung, juga Ketua Harian ICMI Tirto Sudiro dan sejumlah menteri lainnya yang sebagian diantaranya kemudian mengkhianatinya.

Sementara, sepeninggal Soeharto, dalam beberapa hari kemudian, suasana Jakarta semakin mencekam. Selain akibat demonstrasi mahasiswa makin marak, juga tersiar isu terjadi sesuatu misteri dalam tubuh ABRI. Misteri itu diwarnai arah pengelompokan dalam tubuh militer itu. Selain banyak aktivis pro demikrasi ‘hilang’ entah kemana, juga diisukan ribuan anggota militer ‘menghilang’ dari kesatuannya memembawa persenjataan lengkap dan amunisi cadangan.

“Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, adalah suatu tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabannya. Apakah suatu power game sedang dimainkan di Indonesia? Siapa yang bermain dengan kelompok bersenjata, serta bagaimana peta kekuatan gerakan sipil? Adalah sesuatu yang harus kita analisa bersama,” tulis sebuah majalah ketika itu. Beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tetap misterius.

Suasana makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas Trisakti.

Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya. Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya. Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam suasana berkabung.

Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu, Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiawa datang!”

Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan.

Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir. Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.

Setiba di Jakarta, HM Soeharto kemudian mengundang beberapa tokoh masyarakat, di antaranya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, tanpa Amien Rais dan Adi Sasono, untuk membicarakan pembentukan Komite Reformasi. Ia juga berencana merombak kabinetnya menjadi Kabinet Reformasi. Ia menawarkan reformasi secara gradual untuk mencegah terjadinya keguncangan.

Ia juga menerima rombongan rektor Universitas Indonesia. Mereka ini datang untuk meminta Presiden Soeharto berhenti dengan hormat. HM Soeharto mempersilahkan mereka menyampaikan aspirasi itu melalui MPR. Demonstrasi mahasiswa pun akhirnya terpusat ke gedung MPR/DPR. Mereka menduduki gedung legislatif itu.

Harmoko, yang menjabat Ketua MPR dan pimpinan MPR lainnya menampung desakan mahasiswa yang meminta Pak Harto turun. Di hadapan para mahasiswa itu, Harmoko menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Harmoko seperti tak terpengaruh atas pernyataannya saat meminta kesediaan Pak Harto untuk dicalonkan kembali menjadi presiden jauh hari sebelum SU MPR.

Pernyataan Harmoko ini kemudian dijelaskan (dibantah) Pangab Jenderal Wiranto sebagai bukan pernyataan institusi tapi lebih merupakan pernyataan pribadi.

HM Soeharto tentu dengan cermat terus mengikuti perkembangan itu. Sampai sore tanggal 20 Mei 1998, tampaknya ia masih yakin akan bisa mengatasi keadaan secara damai dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet menjadi Kabinet Reformasi. Tapi keinginan baik Pak Harto ini disambut dingin berbagai kalangan bahkan tragisnya ditolak sebagian pembantunya (menteri) yang dibesarkannya.

Rupanya inilah detik-detik terakhir ia menjabat presiden. Hari itu, Rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19:30, Pak Harto menerima Mantan Wakil Presiden Sudharmono di kediaman Jalan Cendana 8 Jakarta. Saat itu, menurut Sudharmono, Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII.

Sekitar setengah jam berikutnya, pukul 20.00, Wakil Presiden B.J. Habibie menghadap Pak Harto. Lalu sekitar pukul 20:30, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto yang sedang bersama Wakil Presiden B.J. Habibie di ruang tamu kediaman Jalan Cendana 8 itu. Di hadapan Wakil Presiden BJ Habibie, Presiden Soeharto meminta Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final: Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi.

Saat itu, Presiden Soeharto menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya besok hari, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden Soeharto juga minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan.

Kemudian Wakil Presiden B.J Habibie pulang. Sementara itu, sebanyak empat belas orang menteri membuat pernyataan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang direncanakan Pak Harto. Mereka itu adalah para menteri yang sebelumnya dibesarkan Pak Harto.

Lalu, sekitar pukul 21:00, setelah BJ Habibie pulang itu, Saadillah Mursyid mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Pak Harto. Dalam kesempatan itu, Saadillah Mursyid melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Saadillah juga melaporkan adanya informasi bahwa empat belas orang menteri yang direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet. Setelah itu, Saadillah pulang.

Tapi sekitar pukul 21:40, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto lagi. Saadillah bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para menteri. Saadillah terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika ditanyakan, barulah ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto menunggu di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi.

Sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998 itu, HM Soeharto mempersilakan Saadillah duduk di sebelahnya. Kursi hanya ada satu, di situ HM Soeharto duduk. Lalu Saadillah dipersilahkan menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi, agar bisa lebih dekat.

Setelah hening sejenak, kemudian HM Soeharto mengatakan: “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.“

Lalu, kepada Saadillah sebagai Menteri Sekretaris Negara, diminta untuk mempersiapkan empat hal. Pertama, konsep ‘Pernyataan Berhenti dari jabatan Presiden RI’; Kedua, memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi dengan Presiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana Merdeka; Ketiga, memberitahu Wakil Presiden BJ Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung; Keempat, memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998 pukul 09:00.

Saadillah pun segera memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua Mahkamah Agung melalui telepon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Lalu, bersama-sama staf, Saadillah segera mulai melakukan penyusunan naskah Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan, Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Soenarto Soedharmo, ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal. Sementara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri Sekretaris Negara, memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata negara.

Konsep disusun secara bersama-sama, sebagaimana layaknya suatu pekerjaan staf. Bukan hasil kerja orang perorangan. Setelah konsep diteliti dan dikoreksi beberapa kali, pada pukul 03:00 menjelang subuh tanggal 21 Mei 1998 naskah Pernyataan telah siap untuk diajukan kepada Presiden.

Naskah diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Ajudan menaruh naskah itu di meja kerja Presiden.

Pagi harinya, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”

“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“

Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.

Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.

Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu.

HM Soeharto pun ‘diasingkan’ dari Golkar yang dibesarkannya. Elit-elit Golkar malah yang duluan teriak agar Soeharto ditahan karena kejahatan-kejahatan yang dituduhkan kepadanya selama memerintah. Golkar yang sebelumnya lebih didonimasi pengaruh ABRI tampak bergeser lebih didominasi elit-elit ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”

Penyebutan nama orang secara eksplisit – mantan Presiden Soeharto – dalam pasal ini tampak tendensius, absurd dan sangat diwarnai sifat subjektivitas politik serta di luar kelaziman sistem ketatanegaraan Indonesia. Bukankah sebaiknya format suatu Tap MPR merupakan garis-garis umum dari suatu kebijakan negara? Jadinya, pasal ini seperti hendak diposisikan hanya berlaku kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi tidak berlaku bagi mantan presiden yang lainnya.

Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Kendati Pak Harto tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa mereka ini mengkhianatinya. Tapi sikapnya yang sampai hari ini belum bersedia menerima kunjungan BJ Habibie dan beberapa mantan menteri dan elit Golkar lainnya bisa dipahami berbagai pihak sebagai indikasi ke arah itu.

Pak Harto pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Ia pun akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Ia menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan.

Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianat, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justeru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa. Satu di antaranya adalah Saadillah Mursyid, mantan Menteri Sekretaris Negara. Saadillah menyatakan: “Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Qur‘an, Surah Ar Ra’ad ayat 25).”

Selamat jalan Jenderal Besar, selamat jalan Bapak Pembangunan. Sebagai bangsa yang besar, pantang bagi kami untuk melupakan semangat perjuanganmu, jasa serta pengabdianmu bagi negeri tercinta ini, Republik Indonesia. Dan Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memperhitungkan amal serta kebaikanmu.Amin

Jumat, 25 Januari 2008

MEMILIH UNTUK TIDAK MENJADI PEMARAH



Amarah tidak dapat disangkal merupakan masalah bagi semua orang. Kapanpun dan di manapun dia siap datang dan menyergap. Wajah kita merah tegang, kening mengernyit, mata melotot, mulut berteriak dan berceracau, jantung berdetak, tangan gemetar dan telapak tangan mengepal, saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Saat kita bekerja di perusahaan pun, kita kerap kali mendengarkan bagaimana bos mencaci dan mengumpat ‘tai-lah, anjing-lah, keparat-lah, goblok-lah, tolol-lah’. Juga diantara karyawan pun kerap terjadi saling gesek dan gosok, yang kemudian berakhir saling tendang, adu tonjok dan adu jotos. Bahkan melampaui dua kondisi di atas, beberapa peristiwa tragis yang pernah terjadi dapat kita sebutkan di sini, diantaranya: seorang pemuda menghabisi nyawa sebuah keluarga, ibu tega membunuh tiga anaknya, ibu menikam suaminya, suami membunuh istrinya, anak didik menikam gurunya, dan masih banyak kasus tragis lainnya, yang kesemuanya tentu kita sepakat bahwa amarah-lah yang menjadi biang keladinya. Pertanyaannya, adakah sesuatu yang lain yang dapat kita buat selain melampiaskan kemarahan kita dengan mengumpat, memukul, melempar benda, membanting pintu, berdiam diri,merasa jengkel, dendam, benci dan kecewa saat terjadi sesuatu yang menyulut amarah? Memang, amarah adalah sebuah pilihan, pilihan yang buruk, sementara banyak pilihan baik yang ditawarkan kepada kita.

Beberapa teks Kitab Suci dapat kita jadikan refrensi untuk memahami amarah, sebelum kita sampai pada beberapa alternatif preventif yang dapat kita kerjakan:

Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh (Pengkhotbah 37:8).

Si pemarah membangkitkan pertengkaran, tetapi orang yang sabar memadamkan perbantahan (Amsal 15:18)

Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan pemarah, supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri (Amsal 22:24-25).

Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran (Amsal 10:12).

Hai Saudara-Saudari yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1:19-20).

Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu (Kolose 3:8).

Siapa menyembunyikan kebencian, dusta bibirnya; siapa mengumpat adalah orang bebal (Amsal 16:32).

Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketentraman, daripada makan daging serumah disertai dengan perbantahan (Amsal 17:1)

Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu (Mazmur 37:8).

Orang yang tidak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya (Amsal 25:28).

Teks-teks di atas lebih mengacu pada kemarahan manusiawi; yang tidak terkendali dan raibnya kesabaran, yang bersumber dari kebencian, kedengkian dan kejengkelan, sebagai pengugkapan kekecewaan dan untuk membinasakan orang lain, egois dan berperilaku destruktif, bermaksud untuk memutus hubungan dan melukai, pelanggaran terhadap diri sendiri dan pada mereka yang menentang kehendak kita. Kemarahan manusiawi semacam itulah yang berbanding terbalik dengan kemarahan Allah; terkendali dan bertujuan, tanpa kebencian, tanpa kedengkian atau tanpa kejengkelan, tidak egois, sebagai ungkapan kepedulian, untuk memperbaiki atau membatasi, terhadap ketidak adilan dan bukan untuk memutuskan serta mengacu pada setiap ketidak-patuhan yang disengaja. Dengan demikian, dalam konteks inilah kita diajar untuk tidak gampang mengatakan bahwa kemarahan kita adalah kemarahan yang membangun. Kita mesti berhati-hati jangan sampai istilah ‘kemarahan yang membangun’ justru akan menjadi ladang subur bagi nafsu egoisme dan amarah kita.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah alternatif preventif semacam apa yang dapat menguatkan kehendak kita untuk memilih tidak menjadi pemarah, sehingga kita tidak setiap kali harus jatuh ke dalam lembah amarah yang tidak berujung. Ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian serius kita semua:

  1. Belajar menertibkan pikiran kita

Amzal 10:19 mengatakan: “ makin banyak berbicara, makin banyak kemungkinan berdosa; orang yang dapat mengendalikan lidahnya adalah bijaksana”. Orang Jawa bilang: “Ojo waton njeplak”. Artinya jangan asal bunyi “asbun”. Mempertimbangkan segala sesuatunya, dampak dari omongan kita, menjadi factor penting yang harus dipikirkan terlebih dahulu sebelum berbicara. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk, yang kurang enak, yang akhirnya kita sesali, lantaran perkataan yang kita keluarkan tampa pemikiran yang matang.

  1. Belajar mengutarakan ‘ganjalan’ yang masih tertinggal kepada orang yang tepat dan jangan menundanya lebih lama.

Bahwa celakalah apabila kanker ganas yang kita derita, kita biarkan dan tidak kunjung kita obati. Sama halnya dengan kemarahan, semakin kita timbun, maka akan semakin berpotensi menimbulkan letupan yang lebih jahat dan ganas. Maka melatih diri untuk tidak menarik diri dan menutup mulut dari persoalan yang kita hadapi jauh lebih bijaksana. Dengan menutup mulut dan menarik diri dari masalah yang kita hadapi, bukanlah jaminan bahwa masalah itu akan keluar dari diri kita.” Kalau kalian marah janganlah kemarahan itu menyebabkan kalian berdosa . Jangan marah sepanjang hari, supaya Iblis tidak mendapat kesempatan” (Efesus 4:26-27).

  1. Belajar menerima teguran,cacian dan tamparan daripada dihancurkan oleh pujian.

‘Orang yang tidak mau dididik menjadi miskin dan hina; orang yang mengindahkan nasihat akan dihormati (Amsal 13:18). ABS ‘Asal Bapak Senang’ menjadi sebuah istilah yang popular di kalangan kita yang sebenarnya mencerminkan bahwa ada kecenderungan untuk mengemas sesuatu yang sebenarnya tidak/kurang layak biar seolah-olah menjadi layak sehingga menyenangkan atasan. Budaya ‘membungkus’, budaya ‘seolah-olah’, adalah tipuan yang sangat menghancurkan. Ok beres, oke aman dan terkendali, sementara kenyataannya kacau dan semrawut. Dalam konteks ini, akan jauh lebih baik kalo kondisi sebenarnya yang kacau dan semrawut disampaikan apa adanya sehingga dapat dicari alternatif solusi untuk mengatasinya. Maka, di sinilah perlunya kita terbuka pada teguran, dan tidak melulu berharap pada pujian terus menerus yang dalam batas-batas tertentu justru dapat menghancurkan kita. “Teguran orang arif kepada orang yang mau mendengarnya, seperti cincin emas atau perhiasan kencana (Amsal 25:12).

  1. Belajar mengungkapkan harapan-harapan yang ingin orang lain lakukan

Dalam hal ini, sandi tidak cukup, bahasa verbal yang dituntut. “Ngomong dong, siapa yang tahu kalo ngak ngomong?”, begitu kurang lebih kalimat yang sering kita dengar. Bicara bahwa saya tidak suka orang lain membicarakan topik tertetu yang saya tidak mau, itu jauh lebih baik dibandingkan kita memaksakan diri untuk mendengarkan sementara hati kita sebenarnya tak mau. Terus terang akan apa yang kita harapkan orang lain mengerjakannya, itu intinya. Berbagilah perihal masalah kita dengan orang yang kita rasa tepat, sehingga kasusnya tidak kronis dan berubah menjadi letupan-letupan emosional.

  1. Belajar menghadapi masalah yang muncul dan lupakan masa lalu.

Kerapkali penyakit yang muncul ‘mengungkit-ungkit masa lalu’. ‘Wah, dulu dia begitu, sekarang dia berbuat begitu lagi’, keluh seseorang. Yang dulu lupakan, dan hadapi masalah yang sekarang saja. Kita focus pada masalah sekarang yang kita hadapi, masa lalu hanya akan mengaburkan persoalan yang sekarang dan masa lalu hanya akan menjadi pertanda bahwa persoalan yang sekarang kurang kuat.

  1. Hindari situasi menang dan kalah.

Dalam banyak kasus, kita tidak selalu dihadapkan pada kenyataan kalah atau menang. Misalnya dalam dunia olah raga, kadang hanya kita temukan istilah kedudukan seimbang. Atau dalam sebuah perkara di pengadilan, tidak ada yang kalah dan juga tidak ada yang menang, dg kata lain mereka menemuh jalur kompromi. Demikian untuk persoalan yang kita hadapi, bukan soal kalah atau menang pertama-tama, tetapi solusi atas masalah yang kita hadapi itu yang perlu dipecahkan bersama.

  1. Belajar menyadari bahwa ini persoalan yang serius

Hilangkan kecenderungan untuk bergurau tidak pada tempatnya. Bergurau pada saat yang tepat akan tampak jenaka, tetapi bergurau tidak pada tempatnya bisa berakibat bencana. Kita banyak belajar dari kasus yang ada, bahwa bergurau yang berlebihan justru membuat persoalan meruncing. Kita maunya bergurau, tetapi apakah orang lain mau kita ajak bergurau. Mau atau tidaknya bukan tergantung dari kwalitas guraan saja, tetapi juga akan ditentukan oleh karakter seseorang, situasi dan kondisi yang juga akan turut mempengaruhi.

  1. Jangan membesar-besarkan masalah yang ada

Melihat dan membahas masalah yang ada secara proporsional, ini kuncinya. Tindakan membesar-besarkan masalah hanya akan membuat persoalan semakin bias dan hanya akan meninggalkan benang kusut yang tidak akan pernah terurai. Mengetahui kasus secara persis akan sangat membantu kita untuk menyampaikan suatu persoalan secara porposional. Belum tentu apa yang kita dengar, seperti itu kebenaran kasus yang terjadi. “Ojo antem kromo”, kata orang Jawa.

  1. Belajar mengemukakan keluhan seobyektif mungkin

Jangan membiasakan diri untuk langsung datang dan memaki-maki. Belajar menginventaris rasa kecewa, kepedihan dan keluhan lebih bijaksana. Baru kemudian sampaikanlah dengan tetap memegang itikad yang baik. Inventarisasi apa yang harus kita sampaikan pun akan membantu kita focus pada persoalan yang ada.

  1. Carilah jalan keluar yang terbaik

Berkutat terus menerus dengan perasaan tidak enak, tertekan dan kecewa tanpa ada upaya untuk mencari solusinya sebenarnya hanyalah membuang-buang energi yang besar. Sayang, energi harus kita buang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menghasilkan seseatu pun bagi kita selain kehancuran. Adalah lebih baik, energi yang ada kita pergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat; bermanfaat untuk kita, masyarakat, dan dalam konteks besar bangsa dan negara ini.

  1. Belajar mendengar dan beri kesempatan lawan untuk berbicara

Penyakit yang sering menghinggapi kita sering kali ketidak-mauan kita untuk sejenak mendengarkan orang lain. Ironisnya, kita cenderung memaksa orang lain untuk mengikuti perkataan dan harapan kita. Sungguh kecenderungan yang sangat tidak terpuji. Padahal, hanya dengan mendengarkan orang lain bicara, di situ kita akan mengetahui kenapa dia berbuat seperti itu sehingga menjadikan kita paham dengan kasus yang ada. Dengan mendengar mungkin kita juga akan sampai pada kesadaran bahwa ternyata dalam kasus ini hayalah salah pengertian.

Dengan alternatif-preventif seperti di atas, kita akan mampu menempatkan sebuah persoalan pada tempatnya dengan ukuran yang proporsional dan dari sudut pandang yang obyektif. Dalam terang keseluruhan bahwa menjadi panggilan kita untuk mencintai sesama sebagaimana Tuhan mencintai kita.